Tenangnya Hidup Offline
Azrul Ananda
; Dirut Jawa
Pos Koran
|
JAWA
POS, 08 April 2015
Saya punya akun Facebook, tapi sudah
tidak aktif. Saya tidak punya akunTwitter.
Saya tidak pakai WA, Line, dan lain-lain.
Merdeka!
Kita yang lahir pada 1970-an (Generation X?) tergolong
generasi ’’transisi’’. Dari generasi surat manual menuju surel. Dari telepon landline menuju segala alat komunikasi yang
ada sekarang.
Pada 1993–1994, waktu SMA,
saya pernah merasakan serunya surat-menyurat manual dengan ’’teman perempuan
khusus’’. Saya menulis surat panjang, dikirim pakai pos dari Kansas, dua
minggu kemudian sampai ke Indonesia. Dia membalas, kirim pakai pos lagi, dua
minggu kemudian saya terima.
Telepon pun benar-benar harus limited dan emergency
only, karena tarif telepon internasional waktu itu dari Amerika
sampai USD 2 per menit.
Tidak ada yang instan. Seru dan berdebar-debarnya lebih lama.
Kemudian, waktu awal kuliah, mulai muncul e-mail.
Pakai komputer kecepatan terdahsyat waktu itu, dengan modem yang lebih dulu
bunyi tulat-tulit-ngiiiiiiikkk sebelum nyambung.
Pakai America Online (AOL), kalau ada e-mail masuk, ada bunyi yang sangat
menyenangkan: ’’You’ve got
mail!’’
Bersama roommate saya waktu kuliah, kami juga suka chatting
online. Di AOL juga, di ’’Indonesian Room’’. Saya pakai nama
Bemoturbo, yang kemudian ngobrol dengan BajajV12 dan nama-nama aneh lain.
Jadul abis, ya?
Hebatnya zaman itu, dan ini baru saya sadari ketika ngobrol
dengan teman kuliah dulu, kita kalau janjian tidak pernah meleset. Besok
janji ketemu jam 12, ya ketemu jam 12. Tidak ada SMS atau BBM atau pesan
singkat lain untuk memastikan. Kalau janji, tak bisa atau sangat sulit untuk
di-cancel.
Telepon pun tidak bisa menyaring siapa yang menelepon. Kecuali
di rumah beli servis khusus caller ID. Ada alat tambahan yang bisa
membantu melihat nomor penelepon.
Sangat seru ketika pukul 3
pagi, ada telepon masuk, tulisannya ’’Sacramento Jail’’ alias penjara di Kota Sacramento, kota tempat saya kuliah
dulu.
Hehehe… Itu telepon dari teman
saya (yang hanya dapat kesempatan menelepon satu kali), yang minta dijemput
di penjara gara-gara tertangkap polisi sedang nyetir dalam kondisi habis
minum-minum.
Padahal, waktu itu orang tua
saya sedang berkunjung. Melihat saya keluar apartemen pukul 3 pagi, tentu ibu
saya bertanya mau pergi ke mana. Saya jawab: ’’Jemput teman, mobilnya
mogok.’’
Wkwkwkwkwkwkk…
Hidup di zaman itu begitu
sederhana…
***
Saya sempat punya akun Friendster. Saya juga
masih punya akun Facebook, walau
nonaktif. Dulu, itu alat komunikasi saya dengan teman-teman sekolah, yang
sekarang tinggal tersebar di berbagai negara.
Lalu, pada suatu hari, beberapa tahun yang lalu, ketika buka
akun Facebook itu, ada lebih
dari 3.000 request. Hari itu juga
saya memutuskan untuk nonaktif. Hari itu juga saya memutuskan untuk offline.
Atau minimal-line…
Saya meminimalkan alat komunikasi dengan hanya satu HP. Itu
pun selalu silent dan tak ada push
e-mail. Bukannya antiteknologi. Saya hanya menjaga kemerdekaan
saya untuk memilih dan menerima.
Old school. Tapi tidak
kuno. Toh,
orang tidak perlu tahu saya sedang makan di mana, sedang ngapain, sedang
mengomentari apa, dan lain sebagainya.
Dan saya kadang juga tidak
mau tahu orang lain sedang makan di mana, pakai baju apa, atau mengomentari
apa. Dan orang lain silakan habis-habisan mengkritik atau mengomeli saya,
karena saya akan tetap hidup tenang karena tidak memedulikannya…
Lagi pula, luar biasa waktu yang bisa kita habiskan untuk
memegang dan memelototi itu layar. Kadang sedih juga melihat banyak orang tua
(termasuk saya dan istri), kadang sibuk lihat HP, padahal sedang ’’quality time’’ bersama
anak.
Dan sekarang, begitu mudahnya
memutus janji lewat beberapa tekanan jempol atau jari lain. Bahkan memutus
hubungan dan lain sebagainya…
Yang saya ngeri, skill berkomunikasi via jempol itu sangat
variatif. Ada yang pemahaman dan kemampuan ejanya buruk, sehingga gampang
sekali miskom dan emosional. Kadang ada keterlambatan sedikit, berakibat
salah urut jawaban dan bikin emosional.
Jangan salah. Saya sangat
proteknologi. Alasannya sangat klise: Hidup kita jadi jauh lebih mudah, lebih
praktis. Dan anak-anak harus terus diajari sedini mungkin tentang pemakaian
teknologi.
Di sisi lain, jangan-jangan live communication skill-nya
terlupakan. Jago ngetik 140 karakter, tapi sama sekali tidak bisa menulis
esai (yang butuh kemampuan logika dan penataan penyampaian dengan cara lebih
kompleks). Jago menulis status, tapi tidak jago memenuhi komitmen atau janji.
Jago berkomentar via media sosial, tapi tidak mampu berbicara langsung
terang-terangan di depan orang.
Karena saya di dunia media,
saya merasa perlu menyampaikan ini: Saya paling kurang sreg melihat wartawan
wawancara sambil mencatat/mengetik pakai HP.
Dalam wawancara, kita harus
bisa menatap mata narasumber dan berkomunikasi secara utuh. Kalau mencatat
pakai HP, mata kita selalu ke layar sementara sang narasumber berbicara. Saya
merasa ini kok kurang sopan ya?
***
Waktu mengunjungi sebuah SMA
canggih di Amerika tahun lalu, kami kagum melihat sekolah itu menggunakan
tablet/iPad untuk sistem mengajar dan mengerjakan tugas. Tidak ada kertas,
tidak ada papan tulis. Semua digital.
Keren? Ya. Semua pekerjaan
anak terpantau. Semua progres terlihat mendetail.
Tapi, teman saya yang bule tiba-tiba nyeletuk: ’’Wah, sekolah sekarang
tidak asyik. Tidak bisa lagi cari-cari alasan tidak mengerjakan tugas. Tidak
ada lagi alasan ’PR saya dimakan anjing’.’’
Dan kami berdua sepakat, berbohong dan cari-cari alasan kepada
guru dan orang tua itu termasuk skill penting hidup. Itu termasuk social
skill yang juga
kita dapat di sekolah. Anak-anak di sekolah itu mungkin tidak bisa merasakan
betapa bangganya perasaan ketika berhasil mengelabui guru. Yang penting
niatnya tidak jahat, hahahaha…
Anyway… Sebagai penutup, tidak
berarti saya antiteknologi dan anti-social
media. Mereka tetap alat luar biasa yang telah terbukti bisa
mengubah dunia. Tapi, apakah kita benar-benar butuh semuanya?
Kadang, kangen juga menulis
di selembar kertas, beli prangko, dan menunggu beberapa hari sebelum yang
disurati membacanya… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar