Fenomena Begal, Salah Siapa?
Jamal Wiwoho
; Dosen
Fakultas Hukum; Wakil Rektor II Universitas Sebelas Maret
|
KORAN
SINDO, 07 April 2015
Awal 2015 antara medio Januari-Februari masyarakat dikejutkan
dengan ada gangguan keamanan ketertiban masyarakat yang melanda di sekitar
Jabodetabek dan diikuti dengan beberapa daerah di Jawa serta daerah lain di
Indonesia.
Gangguan kantibmas itu disebabkan ada begal. Istilah ”begal”
penulis ketahui sejak kecil. Kala itu begal diartikan seorang atau sekelompok
orang yang melakukan ”pencegatan” kepada seseorang yang melakukan perjalanan
malam (baik jalan kaki, sepeda, maupun sepeda motor) di antara satu desa dan
desa lain, di mana jarak desa yang satu ke desa lain cukup jauh.
Fenomena begal waktu itu tidaklah terlalu menakutkan karena
biasa hanya bermaksud mengambil harta dari korban tanpa mencederainya. Kini
fenomena begal yang saya ketahui dahulu itu sudah sangat jauh berbeda karena
pada zaman yang sudah modern ini begal telah berubah menjadi sosok yang amat
menakutkan.
Begal merupakan upaya disertai paksaan/kekerasan seseorang atau
sekelompok orang untuk menguasai harta orang lain (korban). Kekerasan yang
dilakukan para begal memang sudah keterlaluan karena tidak hanya dengan
kekerasan psikis, tapi juga kekerasan fisik sehingga para pembegal tidak
menginginkan harta semata.
Menyeruaknya masalah sosial ”begal” akhir-akhir ini sepanjang
cacatan penulis dimulai ada balapan motor liar yang dilakukan oleh anak muda
yang hampir ada di setiap daerah. Para ”pembalap” liar itu tidak sekadar adu
cepat tujuannya, tetapi mereka juga sering melakukan teror di tengah-tengah
masyarakat dengan merusak fasilitas umum (public facility) dan menggasak
harta milik masyarakat sekitar yang dilewati oleh aksi kebut-kebutan liar
mereka.
Kini setelah aktivitas balapan liar itu meredup di tengah
masyarakat, fenomena begal yang tidak sekadar menginginkan motor dari korban,
tetapi kalau perlu dilakukan dengan mencederai korban atau bahkan membunuh
korbannya.
Apa Penyebabnya?
Kini begal menjadi fenomena baru dalam masyarakat. Keberadaannya
tidak datang dengan tiba-tiba dan banyak faktor yang menjadi pendorong
lahirnya ”algojo- algojo” jalanan dan ”penyerobot” sepeda motor di jalan
tersebut. Penyebabnya antara lain: Pertama, budaya konsumerisme dan gaya
hidup materialis memasyarakat.
Seperti kita ketahui bahwa budaya ini sudah menjangkiti para
remaja kita dengan ditandai sangat cepat berubahnya model/tampilan dalam
dunia gadget dan automotif. Banyak model telepon seluler yang silih berganti
setiap saat dengan fitur dan aplikasi yang amat memanjakan konsumen sehingga konsumen
berniat untuk membeli/menggantinya setiap ada model baru.
Dalam dunia automotif,
kehadiran model baru sepeda motor dari berbagai merek dengan segala
kecanggihan dan keindahannya menjadikan konsumen anak muda ”menelan ludah”
untuk segera memilikinya. Kedua, faktor pandangan sosial masyarakat. Saat ini
tengah terjadi perubahan yang sangat drastis pandangan sosial masyarakat
karena masyarakat cenderung permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan hukum.
Sebagian masyarakat
beranggapan bahwa ketidaktaatan kepada hukum merupakan hal yang biasa, pelaku
dianggap mengalami nasib sial kalau tertangkap dan merasa bangga manakala
bisa keluar dari jeratan hukum aparat penegak hukum.
Ketiga, dampak berita/tontonan film, game pada media massa dan
media elektronik. Salah satu yang menonjol pada abad digital ini adalah
mudahnya masyarakat mendapatkan dan menikmati sajian hiburan kekerasan yang
dapat digunakan sebagai inspirasi untuk melakukan kejahatan dan kekerasan serta
menaburkan sifat antiperikemanusiaan. Budaya kekerasan dalam media tersebut
menjadi tren anak muda untuk mengekspresikan kemauannya.
Keempat, cara berpikir serbainstan. Anak muda kadang lupa atau
tidak mengerti bahwa hidup itu kadang banyak dihiasi dan diselingi dengan
penderitaan, kekurangan, serta keterbatasan. Mereka tidak sabar sehingga
memilih cara-cara cepat mendapatkan sesuatu tanpa mempertimbangkan apakah
perbuatan itu melanggar aturan atau tidak, menyengsarakan orang lain atau
tidak.
Kelima, keluarga yang broken
home. Sebuah fenomena yang menyeruak di permukaan ternyata para pelaku
kebanyakan berasal dari keluarga broken
home. Sebuah keluarga yang tidak kuat tiang-tiang penyangganya melahirkan
generasi yang tidak kerasan di rumah dan akhirnya suka mengganggu orang di
jalanan agar diakui eksistensinya. Cukup banyak cerita yang memperkuat asumsi
bahwa perceraian orang tua menjadi pemicu utama broken home tersebut.
Keenam, ada bullying,
suatu tindakan kasar serta kekerasan terhadap seseorang manakala menginginkan
sesuatu. Bullying ini baik secara
psikis maupun verbal sangat mengganggu dan cukup mendominasi pemikiran anak
muda karena pengaruh emosi yang tidak terkontrol.
Ketujuh, kondisi perekonomian yang kurang baik karena harus
diakui semakin miskin seseorang, peluang untuk melakukan kejahatan dan
kekerasan akan semakin besar.
Kedelapan, lemahnya pengawasan sosial. Harus diakui bahwa di
tengah masyarakat tengah terjadi perubahan atau pergeseran yang besar karena
ada budaya hedonistis. Orang tidak perlu berpikir kepentingan orang lain dan
yang penting diri sendiri ”happy” dan puas tanpa mempertimbangkan sesama,
orang tidak lagi ”mengawasi” dan peduli terhadap orang lain hingga seolaholah
hidup ini hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri semata-mata.
Kesembilan, fenomena begal disebabkan banyak pengangguran. Saat
ini mencari sekolah atau kuliah sulit. Jika sudah lulus juga, tidak mudah
mendapatkan pekerjaan atau bahkan yang sudah bekerja di-PHK sehingga
meningkatkan pengangguran. Jika dalam masyarakat banyak terjadi pengangguran,
amat berpotensi begallah yang merupakan jalan keluarnya.
Pendekatan Hukum Pidana
Secara umum konstruksi hukum yang berkait dengan begal adalah
pencurian. Pencurian dalam KUHP ada 6 Pasal yang dimulai Pasal 362 hingga
367. Pasal 362 sebagai dasar pencurian biasa diartikan sebagai mengambil
barang milik orang lain baik sebagian maupun seluruhnya untuk dimiliki
sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum.
Secara khusus Pasal 365 KUHP memberikan batasan pendekatan atas
”begal” dari pencurian karena pada pembegalan sebelum mengambil harta orang
lain, begal memberikan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan
maksud mempermudah atau mempersiapkan pencurian itu.
Sanksi atas pembegalan dalam Pasal 365 adalah pidana penjara
selama sembilan tahun dan paling lama 12 tahun manakala dilakukan pada waktu
malam atau dijalan umum. Sebagai konsekuensi jika korban pembegalan sampai
meninggal dunia, begal dapat diancam dengan hukuman pidana paling lama 15
tahun hingga pidana mati atau seumur hidup.
Hukuman ini hampir sama manakala begal yang di dalam hukum Islam
termasuk hirabah itu hukumannya bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan
kaki. Harus diakui bahwa fenomena begal yang marak akhirakhir ini juga
disebabkan banyak putusan pengadilan yang ringan terhadap pelaku walaupun
landasan normatifnya amat kuat dan jelas dalam KUHP.
Karena ketidakpuasan atas putusan hakim tersebut, kita masih
sering melihat tindakan main hakim sendiri (eigen rechting) yang dilakukan oleh masyarakat dengan melakukan
pembakaran dan penyiksaan secara beramai-ramai hingga meninggal bagi
pelakunya.
Penulis berpendapat bahwa pemberian sanksi hukum atas pelaku
begal belum memberikan efek jera karena efek jera bukan bergantung pada
berat-ringan hukuman, melainkan pelaku begal banyak dijatuhi hukuman pidana
masih jauh dari kehendak pembuat undang-undang.
Fenomena begal yang menyebabkan hampir setiap lapisan waswas
bila pulang malam tidak bisa dicegah dengan hanya menggunakan pendekatan
tunggal misalnya hukum atau ekonomi atau budaya atau pendidikan semata-mata,
namun secara utuh harus dicari faktor pemicunya.
Misalnya pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan memberdayakan keluarga, bukan hanya dari aspek ekonomi, melainkan juga
pola pengasuhan anak yang ramah dan berkarakter. Harus diakui bahwa keluarga
merupakan tempat bersemai anak bangsa yang akan datang.
Selain itu, masyarakat secara umum, tenaga pendidik dan
kependidikan, bersatu padu dan mencegah kekerasan dengan keyakinan bahwa
tidak ada masalah yang selesai dengan baik manakala diselesaikan dengan
kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar