Konspirasi Politik Yasonna Laoly
Bambang Soesatyo
; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 06 April 2015
Beruntun dalam rentang waktu sangat singkat, pemerintahan
Presiden Joko Widodo dua kali dipermalukan.
Pasalnya, dua surat keputusan penyelesaian konflik internal dua
partai politik yang diterbitkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly
dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Masalah kompetensi dan
kapabilitas sang menteri? Atau, karena Yasonna berpolitik dengan mengelola
konflik internal dua partai itu agar terus berlarut-larut?
Kalau Menteri Hukum saja tidak mengerti hukum dan tidak taat
hukum, ya celakalah bangsa ini. Jujur, saya curiga Yasonna menjadi bagian
dari gerakan kelompok tertentu yang tengah menjalankan skenario busuk
menjatuhkan presiden di tengah jalan. Saya mengendus ada skenario besar yang
terorganisasi menyerang Presiden Jokowi melalui orang-orang dekatnya dari
dalam.
Serangan dilakukan serentak melalui empat penjuru angin. Pertama,
dari sisi ekonomi. Yakni menciptakan instabilitas ekonomi melalui kenaikan
harga kebutuhan pokok rakyat seperti BBM, gas elpiji, listrik, beras,
transportasi. Kedua, dari sisi hukum. Yakni gerakan sistematis pelemahan
upaya pemberantasan korupsi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan lain-lain.
Ketiga, dari sisi kehidupan sosial masyarakat. Yakni menciptakan
rasa ketakutan dan ketidaknyamanan rakyat dengan meningkatnya tindakan
kekerasan. Dari fenomena para begal motor, terorisme ISIS, hingga bentuk kriminal
lainnya. Keempat, dari sisi politik.
Yakni menciptakan turbulensi politik di parlemen melalui
pertikaian partai politik agar menimbulkan kegaduhan terus-menerus yang
diharapkan melahirkan kebencian serta antipati partai politik kepada
pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi. Dan, Yasonna diduga menjadi
bagian dari skenario itu yang bertugas menciptakan turbulensi politik untuk
menggoyang Jokowi tersebut.
Jadi, wajar kalau Yasonna bersikap tidak menghormati keputusan
hukum PTUN. Baik terhadap keputusan PTUN terhadap Golkar maupun keputusan
PTUN terhadap PPP. Tujuannya sangat jelas. Ya itu tadi, agar instabilitas
politik tetap terjaga, dan Jokowi tidak bisa bekerja.
Seperti diketahui, penetapan penundaan diputuskan oleh majelis
hakim PTUN atas dasar permohonan dari kubu ARB sebagai penggugat sampai ada
keputusan berkekuatan hukum tetap. Alasan utama dikabulkannya penetapan
penundaan adalah keadaan mendesak yang jika tidak dikabulkan, akan merugikan
kepentingan penggugat.
Atau akan menimbulkan suatu akibat yang tidak dapat dipulihkan
kembali. Logikanya sederhana. Dengan ditunda keberlakuannya maka SK tersebut
dengan sendirinya menjadi tidak berlaku secara efektif sejak SK tersebut
diterbitkan (ex tunc). Maka keadaan
kembali ke keadaan semula seperti pada saat sebelum SK tersebut diterbitkan.
Karena itu adalah putusan sela, tidak ada sesuatu apa pun yang
harus dilakukan Menkumham. Pasalnya, putusan sela yang berisi penundaan
berlakunya SK tersebut berlaku efektif dan mengikat secara hukum sejak
putusan dibacakan majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pertanyaannya, apakah SK Menkumham tentang Kepengurusan Agung
Laksono tadi sah? Jawabnya sah. Namun, SK tersebut belum berlaku sehingga
tidak membawa akibat hukum apa pun.
Permalukan Presiden
Di luar dugaan terjadinya konspirasi Yasonna sebagaimana
diuraikan di atas. Apa pun yang dituju atau ingin dicapai Yasonna, dua kali
sudah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menampilkan wajah tidak
kapabel, pun tidak kredibel.
Tak hanya dikecam, perilaku Menkumham Laoly bahkan jadi bahan
olok-olok publik, khususnya para politisi, karena sang menteri menerbitkan
dua surat keputusan (SK) yang ujung-ujungnya bermasalah.
Benar-benar merasa tak nyaman karena pemerintahannya
dipermalukan seperti itu, Presiden Jokowi pun meminta hasil kajian Menteri
Laoly terkait penyelesaian dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Golkar. Kalau Presiden sampai harus meminta hal itu, pasti
ada yang diragukan atau ingin dipertanyakan oleh Presiden.
Persoalan internal yang membelit Partai Golkar dan PPP tampaknya
akan terus tereskalasi karena Menteri Laoly sedang menjalankan misi politik
melanggengkan konflik internal yang sudah melanda dua partai ini. Karena misi
politik itu harus dituntaskan dengan cara instan, sepak terjang Laoly pun
tampak menjadi serba terburu- buru dan amatiran.
Tak peduli dengan fakta-fakta tentang keabsahan dan proses hukum
yang sedang ditempuh ARB dkk maupun Djan Faridz-SDA, Laoly nekat mengeluarkan
surat keputusan pengesahan untuk kepengurusan kubu Agung Laksono dkk dan
kepengurusan Romy dkk.
Dan, karena baik kubu Agung Laksono di Golkar dan kubu Romy di
PPP sudah mempertontonkan pilihan mereka untuk mendukung pemerintah, tidak
salah juga kalau banyak kalangan menuduh Menteri Laoly berpihak alias tidak
independen. Memahami posisi Menteri Laoly seperti itu, ARB dan Djan Faridz
pun tidak tinggal diam. Keduanya menempuh cara-cara legal.
Laoly-Agung
Hasil perlawanan gigih ARB dkk serta Djan Faridz dkk akhirnya
sudah mempermalukan pemerintah. Sebaliknya, PPP dan Golkar pun sesungguhnya
tidak nyaman dengan situasi seperti itu. Elite kedua partai pada dasarnya
tidak ingin persoalan internal itu menjadi berkepanjangan dan berlarut-larut.
Dampaknya bukan hanya
pada dinamika politik dalam negeri yang kurang sehat, tetapi juga bisa
mengganggu kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Baik soliditas Fraksi
Partai Golkar (FPG) maupun Fraksi PPP di DPR pasti terganggu. Lebih dari itu,
kedua partai jelas tidak diuntungkan.
Utamanya kalau dikaitkan dengan persiapan untuk mengikuti
pemilihan kepala daerah (pilkada). Bukan tidak mungkin persiapan Golkar dan
PPP tidak berjalan mulus akibat konflik internal yang berlarut-larut itu. Ada
kemiripan perilaku terburu- buru antara Menteri Laoly dan Agung Laksono dkk.
Kalau Menteri Laoly nekat bertindak cepat mengesahkan
kepengurusan DPP Golkar produk Munas Ancol dan DPP PPP produk Muktamar
Surabaya, Agung Laksono dkk pun bertindak cepat ingin segera menguasai FPG.
Padahal, dari aspek legal, tindakan terburu buru Agung Laksono dkk justru
menjadi ilegal.
Masalahnya, belum ada ketetapan hukum mengikat yang melegalkan
aksi Agung Laksono dkk menggeruduk ruang rapat FPG di lingkungan DPR,
Senayan. Kalau aksi geruduk itu hanya berlandaskan SK Menkumham, jelas sangat
lemah. Utamanya karena DPP Partai Golkar produk Munas Bali sedang melayangkan
gugatan hukum atas SK Menkumham itu.
Perilaku terburu-buru itu pun masih coba dilanjutkan Agung
Laksono dkk kendati PTUN memerintahkan penundaan pelaksanaan SK Menkumham
itu. Agung Laksono dkk menerbitkan surat peringatan pertama untuk kader
Golkar di DPR, meliputi Setya Novanto, Ade Komarudin, dan Bambang Soesatyo.
Tindakan serba terburu-buru ini jelas memperlihatkan iktikad tidak baik.
Sama artinya Agung Laksono dkk tidak menghormati keputusan PTUN.
Menteri Laoly pun sama dengan Agung dkk, yaitu tidak menghormati proses
hukum. Menteri Laoly tetap nekat mengesahkan kepengurusan Agung dkk, meski
kubu ARB sudah melayangkan gugatan ke pengadilan dan melaporkan kasus
pemalsuan mandat DPD I-II Partai Golkar dalam Munas Ancol.
Bukan faktor kebetulan jika terjadi kemiripan perilaku Menteri
Laoly serta Agung Laksono dkk. Kemiripan aksi ini pasti sudah dirancang untuk
menciptakan dinamika politik tidak sehat. Kalau kemudian Agung dkk serta
Menteri Laoly tampak begitu berani bermanuver, pasti karena ada dukungan
sangat kuat dari unsur-unsur kekuasaan saat ini.
Namun, sesuatu yang busuk pada akhirnya akan tercium juga. Dalam
kasus Partai Golkar, baik Agung dkk maupun Menteri Laoly ceroboh. Dari segi
kelengkapan dokumen misalnya, Munas Ancol yang diselenggarakan Agung dkk itu
jelas tidak legitimate. Akibatnya, pijakan hukum Menteri Laoly dalam
menetapkan kepengurusan Agung dkk pun sangat lemah.
Itu sebabnya, PTUN menetapkan DPP Partai Golkar produk Munas
Riau tahun 2009 sebagai kepengurusan Golkar yang sah, dengan ARB sebagai
ketua umum. Karena kecerobohan Menteri Laoly, Presiden Jokowi harus
menanggung malu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar