Kongres PDI-P dan Kekuasaan
Daniel Dhakidae
; Pemimpin Umum
dan Pemimpin Redaksi Jurnal ”Prisma”
|
KOMPAS,
07 April 2015
Kongres ”partai tua”—partai-partai yang
didirikan pada masa Orde Baru—berakhir dalam kericuhan besar yang sungguh
tragis. Tidak ada kericuhan lebih besar dalam suatu partai daripada ketika
salah satu unsur atau lebih menolak mengakui ketua umum terpilih dalam suatu
kongres dan menghancurkan legitimasinya.
Menolak mengakui hasil puncak suatu kongres
partai tidak lain dari menolak raison d’Être partai itu. Sangat
menarik bahwa kecelakaan ini menyangkut partai-partai tua yang dengan
pengalaman berdasawarsa seharusnya menunjukkan kestabilan, kematangan, dan
pengalaman savoir faire dalam suatu politik kepartaian.
Pertama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
sampai saat menjelang kongres adalah partai yang sangat berhasil
mempertahankan tradisi tua kepartaian nasional dalam arti suatu ”partai
total”, dalam pengertian suatu partai yang siap di dalam dirinya menjalankan
suatu metode kerja dan perlengkapan kelembagaan dalam rangka mini state.
Kongres PPP yang diwarnai skandal besar yang melibatkan calon/ketua umum
partainya dengan sendirinya menjadi ramalan seperti apa nanti kongres yang
dijalankan. Hasilnya membuktikan itu ketika terjadi perpecahan partai yang
sulit didamaikan.
Kedua, Golkar menyelenggarakan kongres setelah
mengalami frustrasi politik besar-besaran dalam Pemilihan Umum 2014 dalam dua
dimensi penting. Sebagai pemenang nomor dua, Golkar sama sekali tidak mampu
mencalonkan salah seorang anggotanya, termasuk ketua umumnya sendiri, untuk
bertarung sebagai calon presiden. Ini untuk pertama kalinya sejak sistem
politik bangsa ini masuk ke dalam sistem persaingan, termasuk persaingan
”semu” sepanjang masaOrde Baru.
Dimensi penting lainnya adalah ketika Golkar
sendiri tidak mampu juga menjadi pemimpin koalisi, coalition leader, dalam usaha peningkatan posisi partai dalam
suatu persaingan menuju posisi tertinggi negara. Pemimpin koalisi mungkin
tidak penting dalam dirinya, tetapi ia penting sebagai dasar pengakuan dalam
kontestasi bebas di kalangan partai. Akibat dari dua hal di atas partai
tersebut limbung sampai hari ini.
Politik menuju kongres
PDI-P Bali
Sebentar lagi,9 April, akan ada kongres Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P) di Bali, ”partai tua” ketiga yang
dalam urutan di atas menjalankan kongres. PDI-P berbeda dalam arti ia tidak
mengalami frustrasi seperti Golkar karena menjadi pemenang pemilihan
umum—meski kemenangan tersebut tidak menjadi cukup alasan untuk menikmati
euforia bermewah-mewah seperti ditunjukkan pada masapenyusunan kabinet dan
sesudahnya.
Kemampuan mengusung calon presiden dan
memenangi pemilihan kepresidenan menjadi alasan lain untuk membedakan dirinya
dari dua partai tua di atas. Namun, kemenangan pemilihan kepresidenan pun
tidak memberikan alasan untuk merayakan euforia bermewah-mewah. Dua
kemenangan berlangsung tanpa euforia karena ketiadaan political
euphorigenic, yaitu hal-hal yang memungkinkan euforia politik tersebut.
Euforigenik pada pemilihan umum baru ditemukan
kalau kemenangan mayoritas bisa dicapai. Dalam empat kali pemilu nasional
setelah kejatuhan Orde Baru, tidak pernah satu partai pun mencapai mayoritas
mutlak. Karena itu, meski memenangi Pemilihan Umum 2014, PDI-P dengan susah
payah mencari dan menemukan koalisi efektif meskipun Partai Nasional Demokrat
(Nasdem) tanpa ragu-ragu menjadi peserta pertama dan utama. Dengan latar
belakang seperti itulah PDI-P akan menjalankan kongres di Bali.
Meski demikian, kongres Bali 2015 berlangsung
dalam suasana kemenangan. Di sisi lain, kemenangan tanpa euforia diam-diam
mengangkat soal-soal pelik yang berada di balik semuanya, seperti soal
kepresidenan—sejauh mana seorang presiden dari suatu partai, PDI-P, menjadi
”utusan” dan ”petugas” partai; kapan kesetiaan kepada partai berhenti dan
kesetiaan kepada bangsa dimulai. Soal pencalonan Kepala Polri yang didukung
penuh oleh partai dan ujungnya adalah suatu fiasko: calon partai, menjadi
calon tunggal Presiden, diterima pleno DPR, kemudian ditolak oleh Presiden
sendiri sebagai pengusung calon tunggal. Tidak pernah terjadi kontradiksi
politik kepresidenan sebesar itu dalam kepresidenan siapa pun pada masa lalu.
Semuanya dibuat semakin pelik lagi,
yaituseolah-olah menjadi ”teka-teki” apakah pencalonan tunggal adalah servis
atau jerat, treat or trick?
Kalau itu berarti treat, semestinya persetujuan parlemen diterima
dengan ”senyum simpul” Presiden. Alternatifnya itu
adalah trick sehingga diterima dengan penolakan getir dengan
konsekuensi politik panjang berbelit-belit. Semuanya mengandung konsekuensi
kepartaian sehingga kemenangan tanpa euforia di depan publik memberi kesan
hubungan Presiden sebagai ”petugas” partai semakin luntur. Akibatnya, partai
pendukung berubah menjadi ”semi-oposisi” dalam tindak politik parlementer.
Kontradiksi demi kontradiksi berlangsung
tumpuk-menumpuk tanpa pemecahan, sekurang-kurangnya sampai tulisan ini
dibuat.
Kongres PDI-P dan
ketua umum partai
Pemilihan ketua umum adalah pet
agenda dalam setiap kongres kepartaian nasional, agenda induk dan agenda
timangan. Tanpa itu, setiap kongres menjadi cair, hambar, atau sebaliknya
penuh ketegangan, kisruh, dan kacau dari ujung ke ujung. Karena itu,
pemilihan ketua umum adalah acara yang dinanti-nantikan oleh anggota partai
sendiri dan ditunggu-tunggu publik pada umumnya.
Partai dalam tradisi bangsa ini selalu
berambisi menjadi suatu mini-state, baik dalam kekuasaan sesungguhnya
maupun dalam kelakuan sehari-hari para anggota terhadap ketua partainya
masing-masing dan kelakuan para ketuanya sendiri. Dalam hubungan itu, ketua
partai besar pada dasarnya menjadi kepala suatu mini-state. Karena itu,
pemilihan ketua partai, terutama partai-partai besar, hanya bisa dibandingkan
dengan pemilihan ketua partai di negeri-negeri sosialis dalam arti Feierlichkeit,
suasanakegemilangan perayaan, yang diawali oleh ketegangan dan sikut-menyikut
dalam persaingan.
Untuk kepentingan itu mari kita berguru kepada
Niccolo Machiavelli, 1469-1527, seorang pendasar politologi, ilmu politik,
sesungguhnya, yang melepaskan dirinya dari agama dan studi-studi agama,
teologi, sebagai dasar analisis politik. Dalam hubungan dengan kekuasaan,
Machiavelli mengatakan bahwa sudah banyak yang memberi nasihat macam-macam,
tetapi dia tidak akan mengikuti pendapat-pendapat itu: ”Rasanya lebih
bijaksana bagi saya mengikuti the
real truth of the matter rather than what we imagine it to be.”
Ada dua hal di sini yang mau dikatakannya yang
dibahas penulis dalam urutan terbalik. Pertama, adalah what we imagine to be, apa yang kita
bayangkan, apa yang kita cita-citakan yang boleh jadi sesuatu yang sangat
ideal, akan tetapi tidak bisa dikerjakan. Kenyataan dalam kehidupan politik
kepartaian sesungguhnya yang ideal seperti ideologi bertempat dalam urutan
terakhir dari hal-hal penting kepartaian.
Kedua, kenyataan utama yang sebenarnya adalah
dalam bahasa Italia disebut verita
effetuale della cosa yang lebih tepat diterjemahkan sebagai the effective truth, yaitu kebenaran
efektif—kebenaran yang bukan hanya bisa diolah dan dikerjakan, melainkan juga
yang ketika diolah akan menghasilkan dasar-dasar baru yang kuat bagi
kepentingan kekuasaan politik (il
principe).
Dalam hubungan itu, kebenaran efektif dalam
kehidupan kepartaian adalah menampilkan tokoh dan ketokohan yang terutama
menjadi hitungan; baru sesudah itu muncul modal dan ideologi. Ketika kita
berbicara tentang ketua partai, kita berbicara tentang ketokohan, penguasa
partai, dan bukan yang lain.
Ada tiga hal dasar, katanya, yang memungkinkan
seorang penguasa berkuasa. Ini seolah-olah menjadi tritunggal Machiavellian,
yaitu fortuna, virtu,
dan necessita. Fortuna lebih
berurusan dengan suratan takdir, garis tangan, sesuatu yang diatur dari
langit, karena itu tidak bisa dikontrol manusia, liar tak terbendung—unsur
irasional dalam memperoleh kekuasaan.
Virtu, bukan kebajikan dalam pengertian
klasik kristen, berarti pengetahuan, pengorganisasian, rencana, strategi,
siasat, dan lain-lain untuk mengatasi suatu keadaan demi mencapai
kekuasaan—unsur rasional dalam kekuasaan.
Necessita, keniscayaan sejarah, yang didukung
penuh oleh fortuna dengan sendirinya melancarkan jalan ke arah
kekuasaan dan menjadi penguasa.
Fortuna tanpa virtu membuat
kekuasaan tidak langgeng; demikian juga
sebaliknya, virtu tanpa fortuna suatu kekuasaan itu
kering dan akan meranggas dengan
sendirinya. Fortuna, virtu, tanpa necessitahanya membuat
suatu kekuasaan tidak terwujud. Dengan kata lain, tiga-tiganya menjadi unsur
konstitutif kekuasaan yang langgeng.
Dalam hubungan dengan kongres PDI-P, hampir
tidak ada berita tentang calon ketua umum yang bocor ke publik, selain
konsensus bahwa Megawati Soekarnoputri sudah ditawarkan menjadi ketua umum
dalam rakernas PDI-P terakhir. Salah satu yang bocor ke media sosial adalah
bahwa Joko Widodo akan menjadi pesaing keras Megawati Soekarnoputri dengan
dukungan sejumlah pemodal.
Tentang Jokowi bisa dikatakan bahwa mungkin
ada fortuna yang mendukungnya. Namun, akan berlangsung
tanpa virtu karena dukungan internal partai tidak pernah dirancang
dan dikerjakan—sekurang-kurangnya berdasarkan informasi publik; dalam arti
itu, kalau benar dia memasuki arena persaingan, hanya keniscayaan sejarah
mungkin satu-satunya yang akan menjadi taruhannya.
Fortuna dan virtu berada di
sisi Megawati Soekarnoputri dan sambil melihat perpecahan demi perpecahan di
kalangan ”partai tua” yang menakutkan, sangat besar kemungkinan necessita, keniscayaan
sejarah—sebagaimana pernah berlangsung pada kongres Surabaya yang dramatik
pada 1993—berada lagi di pundaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar