Ofensif Arab Saudi terhadap Houthi di Yaman
Ibnu Burdah ; Pemerhati masalah Timur Tengah dan Dunia
Islam
|
MEDIA
INDONESIA, 08 April 2015
SUDAH lebih dua pekan, koalisi
negara-negara Arab Teluk pimpinan Arab Saudi melancarkan rangkaian serangan
udara besar-besaran ke Yaman. Koalisi itu terdiri dari Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Yordania (semua negara Arab Teluk minus
Oman plus Yordania). Enam negara itu semuanya berbentuk kerajaan dan kaya
raya, kecuali Yordania. Empat negara lain ialah Maroko, negara yang jauh dari
`arena', Mesir, Sudan, dan Pakistan sebagai satu-satunya negara non Arab.
Mereka menyebut operasi itu dengan ``Ashifatul Hazm' (kurang lebihnya berarti
badai keteguhan atau penentuan).
Skala operasi militer ini luar
biasa besar, yakni hampir dua ratus pesawat tempur supermahal terlibat dalam
operasi ini. Sasarannya ialah kelompok bersenjata Houthi dan militer
pendukung Ali Abdullah Saleh (Presiden Yaman terguling). Serangan itu menarget
basis-basis kekuatan kelompok Houthi di Yaman, baik di Shan'a (lebih tepat
daripada Sana'a), Adn, dan beberapa wilayah Selatan lain, serta di Yaman
Utara yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi, terutama di Sha'dah yang
juga basis tradisional kaum Syiah Houtsi. Kekuatan darat Arab Saudi juga
terlibat pertempuran di perbatasan Yaman.
Mengapa Arab Saudi tak mau
berhenti menyerang Yaman, pada hal korban sudah banyak berjatuhan? Rakyat
sipil yang meninggal mendekati 100 orang, termasuk puluhan anak-anak tak
berdosa. Keterpecahan sosial menjadi bencana tak kalah seriusnya. Yaman
dikhawatirkan terjebak perang sangat panjang dalam skala luas seperti di
Suriah. Namun, sudah sekitar lebih dari dua pekan, Arab Saudi dan koalisi
justru menambah kekuatannya untuk menghancurkan Houthi di Yaman, termasuk
dengan mengirim senjata secara besar-besaran untuk para kabilah pendukung
Presiden Hadi. Mereka sepertinya all
out menyiapkan perang dalam jangka panjang.
Padahal, kebiasaan yang terjadi
selama ini, Arab Saudi condong memberikan dukungan finansial besar besaran
pada kelompok kekuatan di suatu negara, untuk menghadapi ke lompok yang
didukung Iran. Mereka berteriak keras untuk mendesak negara-negara besar
melakukan aksi militer melalui Liga Arab atau PBB. Yang pasti, Arab Saudi
jarang sekali terlibat perang secara langsung. Sekarang, kerajaan ini
terlibat secara langsung dengan kekuatan penuh dan sedang memimpin sebuah
`perang' dalam skala besar.
Ancaman
Arab Saudi menyadari benar
posisinya yang sudah sedemikian terjepit oleh kekuatan dan pengaruh Iran.
Maklum, kontestasi dan konflik kedua negara inilah sesungguhnya yang menjadi
inti dari berbagai konflik yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini. Sejak
1980-an, Iran dipandang sebagai ancaman serius bagi negara itu. Bahkan, sejak
1990 an, Arab Saudi menganggap Iran sebagai musuh nomor satu dan menganggap
Israel bukan lagi sebagai sumber ancaman di kawasan.
Di perbatasan utara, yaitu Irak,
perebutan pengaruh kedua negara jelas dimenangi Iran. Dukungan besar-besaran
yang diberikan Arab Saudi untuk kelompok Sunni di negara itu tak membawa
hasil sebagaimana yang diharapkan. Bahkan, Arab Saudi pada awalnya merasa
harus berpihak pada kelompok yang sekarang ini disebut ISIS. Ini disebabkan
Arab Saudi begitu antipati dengan pengaruh Iran di negara itu. Sementara
musuh utama ISIS pada awalnya ialah kelompok Syiah di Irak dan Iran. Irak
sekarang bagi Arab Saudi tak ubahnya ialah sumber ancaman, sebab pengaruh
Iran begitu kuat di negeri itu. Huru-hara perang melawan ISIS beberapa waktu
terakhir tak menggeser situasi itu. Bahkan, peran dan pengaruh Iran di Irak
semakin kuat.
Sementara di perbatasan laut
Persia, posisi Bahrain juga kurang menguntungkan kepentingan Arab Saudi.
Negara yang berpenduduk mayoritas Syiah dengan penguasa Sunni itu juga
mengalami pergolakan hebat untuk menjatuhkan rezim. Arab Saudi terlibat
langsung dalam upaya meredam unjuk rasa rakyat itu dengan mengirim
tentara.Sekalipun sejauh ini Arab Saudi dan Bahrain cukup berhasil meredam
gejolak itu, Bahrain tetap bisa menjadi sumber ancaman yang setiap saat bisa
meledak, sebab posisi Iran yang begitu dekat dan populer di kalangan luas
rakyat Bahrain.
Sementara di wilayah Selatan,
Arab Saudi gagal mempertahankan pengaruhnya di Yaman. Sebaliknya, Iran
berhasil me nancapkan kukunya dengan mendukung k ekuatan Syiah Houthi.
Agresivitas kelompok Houthi beberapa bulan terakhir memang luar biasa. Saat
awal operasi udara Arab Saudi itu dilancarkan, kelompok bersenjata ini sedang
bersiap untuk merebut `Adn, kota kedua Yaman yang menjadi basis pemerintahan
Presiden Hadi yang terguling.
Arab Saudi sepertinya sudah
`tak tahan' dengan perkembangan Timur Tengah yang semakin berpihak kepada
Iran. Apalagi, setelah Iran dengan 5+1 itu telah mencapai kerangka
kesepakatan damai dalam isu nuklir, posisi Arab Saudi semakin terdesak.
Karena itu, sudah menjadi rahasia umum jika Arab Saudi ialah pendukung
penting dalam upaya ofensif udara Israel terhadap arsenal nuklir Iran yang
sejauh ini belum dapat dilakukan.Berlanjutnya serangan ke Yaman secara tak
langsung ialah jawaban Arab Saudi terhadap kesepakatan damai Barat-Iran itu.
Arab Saudi juga terus membangun
kekuatan militernya secara `ekstrem' selama empat tahun terakhir. Sebuah
kekuatan militer yang dibangun di atas tumpukan `uang' berbau minyak, bukan
pada tradisi militer yang kuat. Ancaman terhadap Arab Saudi memang begitu
besar jika Yaman sepenuhnya dalam kekuasaan kelompok Syiah. Yaman memiliki
perbatasan langsung yang panjang dengan Arab Saudi. Kebetulan, basis kekuatan
kelompok itu tepat di perbatasan Arab Saudi. Karena itu, Arab Saudi merasa
harus menarik kembali Yaman ke dalam orbitnya dengan segala cara dan dengan
harga berapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar