Radikalisme
dan Situs
Imam Nawawi ; Sekretaris Inisiasi Hidayatullah
|
REPUBLIKA, 02 April 2015
Keputusan yang dilakukan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui surat No 149/K.BNPT/3/2015
tentang situs/web teradikal untuk memblokir 22 situs online kepada
Kementerian Komunikasi dan Informatika sangat mengejutkan publik. Selain
tiba-tiba, pemblokiran yang dilakukan tidak diikuti dengan penjelasan
memadai, khususnya dari pihak BNPT.
Langkah itu tentu saja mengundang
reaksi banyak pihak, utamanya komunitas netizen. Apalagi, kala klarifikasi
yang diberikan Kemenkominfo melalu Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo
Ismail Cawidu hanya menjelaskan bahwa pihaknya sekadar menindaklanjuti
laporan BNPT.
Tagar #KembalikanMediaIslam bahkan
sempat menjadi trending topic di Twitter. Reaksi tersebut sejatinya wajar
mengingat cara BNPT menetapkan sebuah keputusan tidak memperhatikan aspek
maslahat secara utuh-menyeluruh dan cenderung mengulangi `kekhilafan' Orde
Baru dalam memandang media massa (sekarang media online).
Argumen menarik muncul dari
anggota Komisi I DPR Ahmad Zainuddin.
"Kita mencoba menegakkan demokrasi dan menolak radikalisme agama. Tapi, dengan memberedel media, itu membunuh kebebasan pers," seperti dikutip Republika, Selasa (31/3).
Dengan kata lain, cara BNPT
menanggulangi radikalisme ternyata juga bentuk dari radikalisme yang lain.
Membunuh kebebasan pers adalah radikalisme yang pernah ada dan menjadi starting
point dari kejatuhan rezim yang lebih dari tiga dekade berkuasa. Semestinya,
BNPT memperhitungkan asumsi publik yang demikian sehingga negeri ini tidak
perlu selalu menyajikan keributan antara pemerintah dan umat Islam yang
disebabkan penilaian sepihak dan cenderung berbau pretensi dan sangat tendensius.
Ketika publik atau katakanlah
netizen melihat pemblokiran tersebut sebagai bentuk kediktatoran dan kesewenang-wenangan
pemerintah dalam hal ini BNPT, secara strategi BNPT telah terjebak dalam
ketergesaan yang menimbulkan dampak kontraproduktif secara sangat luas.
Pertama, tindakan represif
seperti itu, kapan, dan di manapun hampir pasti akan mengundang perlawanan
dan sikap antipati rakyat kepada penguasa. Apalagi, secara historis, bangsa
ini pernah mengalami masa-masa kelam dalam hal pembungkaman media. Secara
keseluruhan, langkah BNPT ini merugikan umat Islam sekaligus pemerintahan Jokowi-JK
yang baru-baru ini menaikkan harga BBM.
Kedua, langkah BNPT ini
bertentangan dengan dasar demokrasi yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat.
Pertanyaannya, apakah sulit bagi pihak BNPT mengundang 22 situs yang dinilai
radikal itu untuk berdialog?
Langkah ini sama sekali belum dilakukan BNPT. Jelas, berbagai pihak bereaksi dengan pola penetapan keputusan yang sporadis dan menegasikan prinsip demokrasi itu sendiri.
Ketiga, disadari atau tidak,
sebagian besar masyarakat Muslim akan melihat pemerintah seperti anti
terhadap Islam. Jelas ini sangat tidak baik dan tidak menguntungkan bagi
pemerintah yang seharusnya mendapat dukungan penuh umat Islam. Mengingat umat
Islam adalah mayoritas yang sejatinya jika ditinjau secara mendalam dan
komprehensif, sangat menguntungkan jika pemerintah mau mengedepankan pola
pikir sinergis-kolaboratif dalam membendung radikalisme dan membangun negeri
ini.
Definisi radikalisme semestinya
disusun bersama, tidak semata-mata pemerintah melalui BNPT atau lainnya. Umat
Islam melalui perwakilan tokoh ormas juga harus dilibatkan sehingga definisi
radikalisme bisa dipahami secara bersama. Tidak seperti sekarang. Naifnya,
radikalisme yang masih debatable
ini justru dijadikan hujah untuk melakukan tindak represif dengan melakukan
pemblokiran 22 situs Islam.
Jika pemerintah mau proaktif,
ke depan, radikalisme tidak lagi menjadi musuh BNPT semata, tetapi menjadi
musuh bersama. Dengan demikian, hubungan pemerintah dengan umat Islam adalah
hubungan yang produktif-solutif dalam mengatasi beragam persoalan kebangsaan
dan kenegaraan.
Dengan kata lain, pemerintah melalui
BNPT dan aparat keamanan atau pihak terkait harus mengkaji ulang arti radikalisme
dengan melibatkan unsur perwakilan umat Islam secara keseluruhan. Tidak
terkecuali media Islam online yang dinilai menyebarkan radikalisme oleh BNPT.
Langkah ini sangat penting untuk melahirkan pemahaman kolektif bahwa
radikalisme adalah musuh bersama.
Terlebih, argumentasi BNPT
bahwa radikalisme memiliki hubungan kuat dengan ISIS memiliki relevansi yang
sangat rendah, bahkan mungkin tidak relevan. Ahmad Safril (Republika, 31/3) mengatakan,
ISIS akan mati dengan sendirinya jika tidak ada media yang memberitakan
aktivitasnya. Artinya, untuk apa BNPT bereaksi sedemikian serius dengan
munculnya isu ISIS yang boleh jadi juga bukan proses autentik alias sebatas
desain politik pihak tertentu yang seperti sebelum-sebelumnya ada dan pada
akhirnya hilang entah ke mana. Meskipun beragam informasi mengenai ISIS juga
tidak bisa dipandang sebelah mata, menghubungkan media Islam online di
Indonesia dengan ISIS adalah penilaian tidak berdasar.
Karena itu, BNPT harus berani
bersikap arif bijaksana dengan bersegera mencabut perintah pemblokiran 22
situs media Islam online sekaligus memberikan klarifikasi memadai sehingga
penduduk negeri yang mayoritas Islam ini tidak lagi merasa tersakiti.
Ingatlah bahwa yang menginginkan negeri ini aman tenteram bukan saja BNPT,
melainkan semua unsur penting di negeri ini, utamanya umat Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar