Kamuflase
Nawa Cita
Saharuddin Daming ; Dosen Fakultas Hukum Ibn Khaldun Bogor
|
REPUBLIKA, 09 April 2015
Ketika Lee Kwan Yew dinyatakan mangkat pada 23 Maret lalu, media
massa ramai mengulas profilnya dengan segudang prestasi yang spektakuler.
Sejak mendiang memegang tampuk pemerintahan lebih dari tiga dekade, Singapura
tampil sebagai negara paling modern dengan tingkat kemakmuran rakyat yang
paling tinggi di Asia, bahkan dunia.
Berkat jasa Lee sebagai arsitek Singapura modern, kini negara
kecil yang tak punya sumber daya alam itu telah menjelma menjadi salah satu
pusat bisnis dunia. Bahkan, pelabuhan laut dan udara maupun layanan rumah
sakit hingga pendidikan di Singapura jauh lebih modern daripada fasilitas
serupa yang dimiliki negara sekawasan.
Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki sumber daya alam
berlimpah, ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi kehidupan rakyatnya
meski telah mengalami tujuh kali pergantian pimpinan pemerintahan. Herannya
karena setiap pemimpin pemerintahannya senantiasa melontarkan grand planning
bagi kemajuan bangsa. Namun, semuanya hanyalah jargon kosong belaka. Sebut
saja SBY yang mendaulat diri sebagai penggerak modernisasi Indonesia dengan
politik santunnya ternyata lebih kental dengan politik pencitraan selama 10
tahun memimpin.
Kekecewaan publik sempat terobati dengan kemunculan program Nawa
Cita yang digagas Jokowi–JK, tapi semuanya kini dirasakan bagai kembang di
altar kamuflase. Betapa tidak karena dalam Nawa Cita ke-5 disebutkan bahwa Jokowi-JK
akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan
kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia
Pintar".
Juga peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program
"Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan
mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektare, program
rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi, serta jaminan
sosial untuk rakyat pada 2019.
Namun, alih-alih untuk menyejahterakan rakyat dengan Kartu
Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, rakyat miskin dewasa ini justru
memperoleh ‘Kartu Indonesia Sabar’ dengan kebijakan Jokowi-JK yang tega
menaikkan secara serentak: BBM, tarif tol, kereta api, LPG, listrik, PDAM,
dan premi BPJS. Celakanya karena kenaikan BBM tersebut disandarkan pada
kondisi harga migas pasar dunia. Hal ini jelas bentuk pelanggaran terhadap
putusan MK No 002/PUU-I/2003 yang menyatakan penentuan harga BBM berdasarkan
mekanisme pasar bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945.
Ironisnya lagi karena Menteri ESDM Sudirman Said mencoba
melakukan kebohongan publik dengan menyatakan kenaikan harga BBM dan sejumlah
komoditas lainnya tak memengaruhi inflasi maupun harga barang kebutuhan
primer domestik. Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan fakta karena
sudah karakteristik hukum pasar di Indonesia yang menunjukkan tren kenaikan
harga kebutuhan pokok selalu dipicu oleh kenaikan harga BBM dan komoditas
lainnya yang dikendalikan oleh pemerintah. Bahkan, kadang-kadang sebelum
pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif komoditas lainnya, harga barang
kebutuhan pokok sudah lebih dahulu naik.
Kebijakan pro-neoliberal yang dulu ditentang habis Jokowi-JK
tersebut menyulut inflasi yang menggeleparkan perikehidupan rakyat lantaran
kepungan harga komoditas primer membubung tinggi. Tak pelak lagi angka
kemiskinan membengkak lantaran menurunnya daya beli sebagian besar masyarakat
berpenghasilan rendah. Meski secara statistik terjadi penurunan kemiskinan
sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 persen pada 2013, secara kualitatif
kemiskinan justru mengalami involusi dan cenderung semakin kronis saat
pemerintah menaikkan harga BBM dan komoditas lain pada 2014 hingga awal 2015.
Fenomena pilu jauh lebih terasa ketika kita membuka jendela
politik dan penegakan hukum. Masyarakat kini semakin jenuh dan kehilangan
kepercayaan atas semua lembaga politik dan penegakan hukum. Lihat saja duel
kekuatan KMP dan KIH di DPR yang diperparah dengan perebutan pucuk pimpinan
dalam tubuh Partai Golkar dan PPP.
Tontonan semakin memuakkan ketika DPR mendukung penuh Komjen
Budi Gunawan sebagai kapolri meski telah ditetapkan sebagai tersangka.
Parahnya lagi karena sekalipun Pasal 77 KUHAP telah menegaskan kewenangan
limitatif praperadilan, tapi hakim tunggal Sarpin Rizaldi yang mengadili
gugatan Komjen BG dengan lancang menabrak hukum acara maupun perasaan
keadilan masyarakat.
Dengan kondisi destruktif seperti itu, kita patut mempertanyakan
urgensi rule of law sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. Tidak heran jika publik semakin
frustrasi dan pesimistis terhadap penegakan hukum.
Dalam kasus penanganan begal, misalnya, masyarakat lebih memilih
main hakim sendiri daripada menyerahkan melalui proses hukum. Begitu
rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, khususnya
Polri, maka sebagian warga lebih mau mengunggah ke situs Youtube daripada
melaporkan ke pihak kepolisian mengenai kasus pelanggaran hukum yang
melibatkan oknum polisi sebagai pelaku. Sebab, sudah jamak terjadi dalam
penanganan kasus oleh Polri terhadap oknum anggotanya berujung penguapan
kasus.
Diskriminasi dalam dunia penegakan hukum kita mencapai titik
kulminasi dengan kasus Nenek Asyani yang semakin mengukuhkan anomali hukum
yang tajam ke bawah dan ke depan, tapi tumpul ke samping, ke belakang, dan ke
atas. Tidak salah jika dalam buku yang berjudul the Behaviour of Law 1985, Donald Black menyadarkan kita bahwa
hukum dalam segala dimensi syarat dengan perlakuan diskriminatif atas dasar stratifikasi
sosial.
Semakin tinggi peran dan kedudukan seseorang dalam stratifikasi
sosial, makin sedikit jumlah hukum yang mengikatnya. Sebaliknya, semakin
rendah peran dan kedudukan seseorang dalam stratifikasi spesial, maka semakin
banyak aturan yang mengikatnya.
Itulah sebabnya Phillippe Nonet dan Selznick menggagas hukum
responsif sebagai hukum yang dibuat bukan untuk hukum itu sendiri, melainkan
untuk mewujudkan kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Setali tiga uang,
Satjipto Rahardjo pun melontarkan ide tentang sistem hukum progresif yang
mengajarkan bahwa hukum mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar
ketimbang menafsirkan hukum dari sudut "logika dan peraturan".
Kontrasnya karena dalam Nawa Cita ke-4 Jokowi-JK menolak negara
lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Hal yang tampak dalam akuarium
penegakan hukum dewasa ini justru pada pelemahan negara dan pelemahan KPK
oleh kekuatan mafia korupsi yang bercokol di balik lembaga penegak hukum
sendiri. Begitulah nasib Nawa Cita yang dibajak oleh mafia korupsi yang hanya
menyisakan aksara utopia demi menarik simpati pubik dalam mewujudkan tujuan
politik sesaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar