Generasi
Z dalam Ujian Nasional
Helmy Faishal Zaini ; Ketua Fraksi PKB DPR dan Anggota
Komisi X DPR
|
JAWA POS, 17 April 2015
Kecuali hiruk-pikuk pelaksanaannya, apa yang paling dominan
dalam ingatan kita ketika berbicara tentang ujian nasional (unas)? Ya, dari
tahun ke tahun sejak pertama sistem unas digulirkan, kita kerap, bahkan
rutin, berjibaku dan bertungkus lumus bahu-membahu menyukseskan
pelaksanaannya.
Pemerintah melalui Kemendikbud menjadi pihak yang sangat sibuk
oleh perhelatan unas. Mulai lelang pengadaan perlengkapan, distribusi soal,
distribusi lembar jawaban, sampai pengawasan yang ekstraketat hingga
melibatkan kepolisian.
Pihak kedua yang tidak kalah sibuk menyambut unas adalah
sekolah. Aneka persiapan demi suksesnya pelaksanaan unas juga dijalankan
pihak sekolah dengan sangat serius. Bahkan, sebagaimana yang terjadi dan
diberitakan, banyak sekolah yang ’’terlampau serius’’ ingin terlihat sukses
dalam menyelenggarakan unas. Mereka pun menempuh jalan yang keliru dan tidak
bisa dibenarkan. Singkat kata, demi merengkuh angka kelulusan yang sempurna,
mereka melakukan kecurangan dan menghalalkan segala cara.
Pihak ketiga yang juga dibuat supersibuk adalah siswa, orang tua
siswa, serta keluarga mereka. Betapa tidak, demi ingin dinyatakan lulus unas,
seorang siswa harus rela berjibaku mengikuti serangkaian kursus, jam
pelajaran tambahan, serta aneka tryout.
Melelahkan dan tidak hanya menguras tenaga, tetapi juga pikiran.
Pertanyaan yang patut dikemukakan, berapa ongkos pelaksanaan
unas yang melibatkan sekian banyak perhatian tersebut? Ongkos yang dimaksud
tentu saja bukan ongkos materi semata, namun lebih dari itu, yakni
ongkos-ongkos di luar materi yang meliputi psikis dan sosial.
Berdasar data yang dirilis Kemendikbud, tahun ini pemerintah
harus menyediakan 35 juta eksemplar naskah unas untuk 7,3 juta siswa tingkat
SMP-SMA. Berapa biaya cetak naskah sebanyak itu? Berapa biaya distribusinya
ke segenap provinsi di Indonesia? Yang pasti, jawabannya adalah mahal.
Mahalnya materi masih bisa diupayakan. Namun, mahalnya psikologis dan
pikiran, itulah yang harus kita diskusikan.
Pelaksanaan unas selama ini, terus terang, sesungguhnya lebih
didominasi serangkaian kolosalisme. Pelaksanaan unas yang melibatkan banyak
pihak membuat kita dengan mudah menyimpulkan bahwa yang tampak di permukaan
adalah kesan sibuk dengan hal-hal teknis perhelatan unas yang cenderung
bersifat kolosal tersebut.
Hal itu sesungguhnya patut disayangkan. Sebab, unas yang
sejatinya merupakan alat untuk memetakan kemampuan siswa yang semestinya bisa
diikuti dengan rasa riang tanpa tekanan dan beban apa pun oleh siswa ternyata
malah berlaku laiknya teror yang menghantui siswa.
Inisiatif Kemendikbud pada 2015 yang menyelenggarakan rintisan
unas berbasis daring (dalam jaringan), pada titik ini, perlu kita dukung dan
apresiasi. Sebab, menurut hemat saya, bagaimanapun, pelaksanaan unas berbasis
daring setidaknya memiliki tiga keunggulan.
Pertama, tereliminasinya kolosalisme. Pihak sekolah tinggal
menyediakan komputer dan jaringan internet yang disinkronkan dengan server
Kemendikbud. Hal itu sangat mengurangi watak kolosal yang selama ini kita
rasakan setiap pelaksanaan unas. Dengan sistem lembar soal yang sudah masuk
ke komputer siswa, sekolah tidak perlu lagi repot-repot menyiapkan gudang
penyimpanan soal. Begitu pula, pihak sekolah tidak perlu repot begadang hanya
demi menjaga berkas-berkas soal.
Kedua, penghematan anggaran. Kepala Puspendik Kemendikbud Nizam
berpendapat, unas berbasis komputer setidaknya bisa menghemat anggaran hingga
20 persen atau Rp 70 miliar. Sebagian besar anggaran digunakan untuk
pencetakan, penggandaan, distribusi naskah soal, serta pengamanan naskah
hingga tiba di sekolah.
Angka Rp 70 miliar bukanlah angka kecil. Dengan penghematan,
Kemendikbud bisa mengalihkan anggaran tersebut untuk program-program
peningkatan pendidikan di sektor lain. Sebut saja, membantu rehabilitasi
sekolah serta menguatkan kapasitas kelembagaan dan pendidikan keprofesian
untuk guru.
Ketiga, terwadahinya aspirasi generasi Z. Generasi Z,
sebagaimana dikatakan Radhar Panca Dahana (2012), adalah mereka yang terlahir
pada rentang 1995–2005. Generasi itu juga kerap dikatakan generasi melek
digital.
Sejak lahir, anak-anak generasi Z sangat karib dengan gadget,
laptop, telepon seluler, dan tentu saja internet. Keakraban mereka dengan
seperangkat alat teknologi tersebut tentu saja tidak sepenuhnya bisa kita
simpulkan baik. Sebab, teknologi, sebagaimana dikatakan Einstein, adalah
sebilah pisau yang tergantung di tangan siapa ia akan bermanfaat.
Pada momen itulah pelaksanaan unas dengan sistem daring penting
dilakukan. Akan sangat sayang jika ’’keterampilan’’ generasi Z yang sejak
lahir mengenal teknologi di kanan kirinya tidak dimanfaatkan.
Berdasar tiga argumen itulah, saya berpendapat, pelaksanaan unas
dengan sistem daring harus dipertahankan dan wajib dikembangkan. Langkah
Kemendikbud yang sudah merintis pelaksanaan Unas 2015 dengan sistem daring di
515 sekolah tingkat SMA-SMK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia
sudah semestinya kita apresiasi.
Sistem unas daring memang tidak sepenuhnya terbebas dari
kendala. Listrik mati, server turun, dan sebagainya menjadi pekerjaan rumah
berikutnya. Namun, yang penting untuk dicatat, kendala-kendala tersebut
mencakup persoalan teknis semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar