Aku
Cinta Populer dan Uangmu!
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog;
Mengajar tentang Semiotika, Komunikasi
dan Perubahan Budaya
|
SATU HARAPAN, 16 April 2015
Iklan yang dibuat Wina Lia, 40 tahun di media sosial telah
menjadi kehebohan publik. “Penawaran Langka Abad Ini!!! Beli rumahnya
sekaligus bisa mengajak pemiliknya menikah”. Sebuah iklan dengan redaksi
langka telah melambungkan namanya ala selebritas.
Tentang peran media sosial yang membuat seseorang nobody menjadi
terkenal bukan hal aneh. Kita lihat bagaimana Justin Bieber, Andy McKee, Psy
Gangnam Style, Norman Kamaru, Raditya Dika, Eka Gusni, Keong Racun, dll, bisa
menjadi figur publik penting karena media sosial, portal online, dan televisi
yang sukses membangun citra berkali-kali lebih cepat dibandingkan media
cetak.
Dengan bekal “berbeda dan unik (different and distinctive)” dari kebanyakan awam, mereka menjadi
artis. Akhirnya segala “keunikan dan perbedaan” mereka menjadi “sesuatu”,
digilai publik, masuk ke dalam imajinasi dan selera kebanyakan orang. Itulah
yang disebut dengan budaya pop!
Banalitas Popisme
Jika yang diinginkan Wina Lia menjadi populer, ia sudah
merengkuhnya dengan cepat. Iklan menjual rumah sekaligus pemiliknya sudah
menyebar ke pelbagai bentuk pemberitaan. Videografi ia sedang menelpon dengan
gaya mendesah dan mengangguk-anggukkan kaki putihnya sudah bisa dinikmati
oleh oleh siapa pun melalui pemberitaan televisi atau shared link ke telpon genggam cerdas.
Setiap kita mungkin pernah berada dalam situasi terkenal. Sebuah
tulisan saya tentang semiotika undian calon presiden pada saat pilpres
beberapa waktu lalu menyebar dan terbaca publik dengan cepat. Dalam 24 jam
telah ada lima ribu pembaca. Para pembaca itu menyebarkan lagi melalui
pelbagai media lain dengan tautan di facebook, twitter, dan google+. Padahal
portal online yang mempublikasi tulisan saya itu belum cukup mapan dari sisi
finansial dan belum kuat dari segi redaksi. Hanya seminggu pembacanya telah
tembus 15 ribu!
Apa yang menyebabkan tulisan itu menyebar begitu cepat? Pertama,
yang jelas penyampaiannya tidak teoritis, langsung masuk ke pokok masalah,
berpraktik wacana, dan tambahan sedikit sambal retorika-politis di sana-sini.
Bandingkan dengan berapa banyak pembaca jurnal dan buku serius di era dunia
yang berlari cepat seperti sekarang ini? Artikel pendek lebih menjadi bacaan
publik. Pengetahuan bukan lagi narasi besar, tapi particulus ide atas situasi
sekarang dan di sini.
Kedua, pembaca sesungguhnya sudah mengetahui tentang keberadaan
tulisan itu melalui “gosip” di kalangan netizen dan polemiknya. Bagi kelompok
yang menganggap tulisan itu mendiskriminasikan calon presidennya maka tulisan
itu dituduh pesanan. Namun bagi kelompok yang setuju maka dianggap itu
tulisan ideal. Mereka kembali menjadi distributor ide ke kalangan lain. Jadi,
popularitas adalah perpaduan mekanisme komunikasi “publik” dan keinginan
mereka mengonsumsi, mendistribusi dan/atau mereproduksinya kembali.
Demikian pula dengan iklan Wina Lia. Ia tahu bahwa meskipun
janda cantik, ia tidak seperti Cita Citata atau Ayu Tinting yang punya banyak talenta.
Dari segi umur ia sudah “sangat matang” untuk memulai dari bawah. Iklan itu
mengambil strategi bahasa yang ringkas tapi menyentil kesadaran awam;
mengomodifikasi dua properti sekaligus: rumah dan dirinya!
Dengan cepat pula ia menjadi objek konsumsi. Terbukti telah ada
600 penelpon yang bersedia memenuhi pembelian rumah itu, sebagian besar
adalah pengusaha Arab dan Malaysia. Ia masuk dalam kesadaran massa borjuis
dalam hubungan budaya pop. Ia secara sempurna - istilah Theodor W. Adorno –
terpenjara ke dalam “kekuasaan komoditas”.
Siapa yang peduli atas asas kemanfaatan (utility)? Wina Lia adalah janda dua anak. Di sini yang bergerak
adalah citra cermin (mirror image)
melalui mekanisme pemantul citra yaitu iklan dan media. Wina bernilai bukan
kepribadiannya, tapi kompleksitas citra yang dibangun oleh impresario
pembentuk citra baru.
Impresario ini memberikannya nilai lebih (surplus value) sekaligus nilai tukar (exchange-value). Sekarang terbukti, Wina telah lebih sibuk
memenuhi undangan talk show dan tampil televisi dibandingkan menuntaskan
penjualan rumah. Popularitasnya adalah investasi yang berharga. Buktinya
sudah ada yang menawar berkali-kali lipat jika mau dinikahi, tapi ia
bergeming.
Kini masyarakat tidak lagi peduli seberapa tinggi pendidikannya,
seberapa berbobot filosofinya tentang
pernikahan, dan seberapa canggih strategi pemasaran yang dilakukan. Yang
penting saat ini ia menjadi “perempuan bagi semua orang”, orang “jenius”
pertama yang membuat ide menjual rumah sekaligus pemiliknya. Upayanya itu
telah tersebar tanpa batas geografi, teritorial, dan kultural. Ia sudah
diliput oleh media-media internasional seperti BBC, Time, Canada Standard,
Huffington Post, dll..
Banalitas Cinta
Hal lain yang akan diulas adalah aspek pernikahan dalam iklan.
Bagaimana ia bisa menjadi sesuatu yang otentik, menemukan pujaan hati yang
tepat melalui iklan? Bagaimana memaknai cinta di tengah jejaring media sosial
kompleks, mencari somebody di sana yang masih gelap tersaput kabut?
Sebenarnya Wina bukan orang pertama yang ingin mendapatkan jodoh
melalui iklan. Iklan konvensional di media cetak telah dilakukan berjuta-juta
keturunan Adam untuk mencari kekasih hati. Meskipun tidak persis sama, media
sosial juga memiliki fungsi iklan melalui aksi “eksbisionisme” sang
penggunanya– karena ada kesempatan meletakkan foto profil (tapi kadang tidak
seindah warna aslinya berkat editing foto canggih) dan status pikiran (state
of mind) yang tersedia. Bukan barang baru jika facebook, path, twoo, atau
instagram sudah menyatukan banyak percintaan menjadi pernikahan. Sebagian
kekal dan sebagian lagi berantakan.
Situasi ini sudah pernah disitir oleh filsuf Jean-Franscois
Lyotard sebagai efek hadirnya era baru yang disebut posmodernisme.
Posmodernisme bukan sekedar gelombang teknologi dan hancurnya totalitas
pengetahuan, tapi juga terbentuknya nilai-nilai sosial baru yang dianut oleh
masyarakat sipil yang berhubungan dengan apa yang dia percayai, rasai, dan
pikirkan. Mereka membangun kebaruan nilai-nilai hidup berdasarkan Die
Zeitgeist – istilah GWF Hegel: gairah zaman yang sedang berjalan.
Tentu saja konsep tentang sakralitas pernikahan dan hubungan
suami-istri pun berubah. Pernikahan atas dasar cinta yang tulus seperti
banyak ditulis kitab suci dan roman klasik didekonstruksi dan direkonstruksi
dalam bentang karpet postindustrial yang menjanjikan sekaligus mengancam masa
depan.
Demikian pula arti cinta, kesetiaan, dan perselingkuhan tidak
lagi terperangkap dalam makna lama. Telah muncul spritualitas baru dari
masyarakat posmodernisme yang mengartikan cinta lebih progresif dan subjektif
dibandingkan grand-narration masa lalu. Kadang arti cinta dalam Zeitgeist
saat ini memiliki umur lebih pendek atau tergantung pada hal-hal lain seperti
materi, posisi, kekayaan, popularitas, dsb. Atau bisa jadi ia menjadi cinta
secara platonis tapi praksis ia berwujud pragmatis Dewey-tian.
Kisah dalam novel Paulo Coelho, Adultery (2014) – edisi bahasa
Indonesia berjudul Selingkuh (Januari 2015) - tentang sosok Linda, istri dari
suami kaya-raya dan pengertian, tinggal di pusat peradaban Eropa Barat, serta
memiliki anak-anak yang pintar adalah impian banyak orang. Ia juga
menjalankan peran sebagai jurnalis bukan untuk nafkah tapi sebagai ekspresi
diri. Secara umum ia adalah tipe keluarga bahagia dalam konteks birokrasi
masyarakat konsumeristik.
Namun dalam perjalanan hidupnya dan umur 36 ia merasakan kebosanan
dan neraka karena inti kebahagiaan belum dijumpainya. Sehingga akhirnya ia
terlibat perselingkungan dengan narasumbernya, seorang politikus yang juga
teman lama SMA. Waktu-waktu percintaan itu dirasakan ikut meremajakannya. Ia
tergetar oleh pengakuan cinta sejati yang telah lama hilang. Ia tersulut api
yang tak pernah padam. Ia mengambil resiko baru bersama kekasih masa depan.
Kisah novel Paulo Coelho mewakili kondisi posmodernitas saat
ini. Namun ada juga sisi antagonistik dari post-modernism, ketika ia menjadi
ruang banalitas baru. Dengan memakai perspektif filsuf Perancis lain, Jean
Baudrillard, cinta saja tidak cukup, harus ada garansi lain, yaitu materi,
kekayaan, kesenangan hedonistik, dan aspek hiperrealitas lainnya untuk
menunjangnya, seperti yang diimpikan Wina dan perempuan lain.
Dalam konteks banalitas cinta itu, maka konstruksi keindahannya
menjadi sedalam kacamata masyarakat posindustrial, yaitu masyarakat penyaksi
(the society of the spectacle) dan bukan refleksi. Maka saat ini kita dengan
mudah menemukan cinta via Blackberry Messenger dan teknologi komunikasi
modern. Jika tak ada pesan mesra, ikon-ikon psikologis, dan foto-foto gairah
dalam tunggangan dunia hiperrealitas, maka tak jua ada cinta! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar