Polri tanpa Kapolri
Kristanto Yoga Darmawan ;
Alumnus
Pascasarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia;
Pasis Sespimmen Polri Dikreg-55
|
MEDIA
INDONESIA, 09 April 2015
AKHIRNYA DPR telah menyetujui
usulan Presiden Jokowi yang mencalonkan Komjen Badrodin Haiti sebagai calon
Kapolri baru setelah melewati serangkaian polemik, wacana, dan perdebatan
keras baik di media massa maupun dalam ranah politik di tataran publik dan
parlemen. DPR yang selama ini ngotot meminta Presiden Jokowi untuk
menjelaskan mengapa tidak melantik Komjen Budi Gunawan dan malah mengajukan
Wakapolri sebagai calon Kapolri, akhirnya luluh ketika Presiden Jokowi
mendatangi gedung parlemen dan bertemu dengan pimpinan DPR, pimpinan fraksi,
dan pimpinan komisi dalam `kemasan' rapat konsultasi. Atas nama kepentingan
masyarakat, kepentingan publik, dan kedamaian di tengah masyarakat, Komjen
Budi Gunawan tidak dilantik menjadi Kapolri dan diusulkan calon baru Kapolri,
yakni Komjen Badrodin Haiti.
Semua pemimpin partai, pemimpin
DPR, dan pemimpin komisi sepakat untuk mendukung Komjen Badrodin Haiti
menjadi calon Kapolri setelah bertemu, berdiskusi, dan berdialog dengan
Presiden Jokowi. Kalangan DPR sepakat untuk membahas pencalonan Kapolri ini
ke Badan Musyawarah, Rapat Paripurna dan Komisi III DPR, untuk dilakukan uji
kelayakan dan kepatutan (fit and proper
test). Bola sekarang ini berada di Komisi III DPR untuk segera menggelar
uji kelayakan dan kepatutan terhadap Komjen Badrodin Haiti, karena waktu yang
tersisa ialah sampai 24 April 2015.
Tentunya, hal ini menjadi angin
segar bagi institusi Polri, mengingat kurang lebih 3 (tiga) bulan ini Polri
tidak memiliki Kapolri sebagai komandan tertinggi dalam memimpin organisasi
kepolisian yang sangat besar dan kompleks tantangannya ke depan. Polri yang
tanpa Kapolri selama tiga bulan ini telah terombang-ambing dalam pusaran
politik pencalonan Kapolri sehingga sedikit banyak memosisikan Polri secara
dilematis karena tarikan dan dorongan politik yang sangat kuat di sekitar
lingkungan Polri. Sebagai lembaga negara yang telah berpengalaman dalam
menghadapi perkembangan lingkungan strategis baik di tingkat lokal maupun
nasional, Polri mampu untuk tetap bersikap matang, dewasa, netral, dan tidak
terpengaruh oleh kepentingan politik praktis di pentas politik nasional.
Selamat, Badrodin Haiti
Sesuai dengan UU No 2 Tahun
2002 Tentang Polri, kewenangan DPR dalam proses pencalonan Kapolri adalah hak
persetujuan. Artinya, DPR diminta persetujuannya oleh Presiden dalam
mengangkat calon Kapolri.DPR dimintakan persetujuannya oleh presiden melalui
uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Komisi III sebagai komisi
hukum DPR, yang merupakan mitra kerja Polri. Secara teoretis, apabila DPR
tidak memberikan persetujuannya terhadap pencalonan Kapolri yang diajukan
oleh presiden, dalam waktu 30 hari kerja sejak diterimanya surat presiden
kepada ketua DPR, maka calon Kapolri yang diajukan oleh presiden tetap akan
menjadi Kapolri secara otomatis sehingga tinggal dilantik oleh presiden.
Dalam konteks ini, sudah dapat
diperkirakan oleh semua pihak bahwa Komjen Badrodin Haiti sudah pasti akan
menjadi Kapolri, terlebih lagi DPR sudah jelas-jelas memberikan
persetujuannya secara informal melalui berbagai pernyataan dari para elite
partai politik yang ada di DPR, baik dari kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
maupun dari kubu Koalisi Merah Putih (KMP). Jalan mulus Komjen Badrodin Haiti
menjadi Kapolri tampaknya sudah di depan mata dan nasibnya tidak akan sama
dengan Komjen Budi Gunawan.
Oleh karena itu, tidak terburu-buru
sebenarnya apabila kita semua mengucapkan selamat datang Kapolri baru, Komjen
Badrodin Haiti. Tinggal dalam hitungan minggu saja institusi Bhayangkara
negara ini akan mempunyai Kapolri baru bernama Komjen Badrodin Haiti. Komjen
Badrodin Haiti sebenarnya telah menjadi pelaksana tugas (Plt) Kapolri sejak
Januari 2015 yang lalu secara normatif berdasarkan perpres, tetapi dalam
praktiknya beliau masih tetap Wakapolri yang tentunya sangat terbatas tugas
dan kewenangannya dalam memimpin organisasi Polri dalam kapasitanya sebagai Plt.
Memanusiakan Budi Gunawan
Prahara pencalonan Kapolri yang
menjadi ingar bingar dalam kontestasi politik selama tiga bulan terakhir
dengan dibumbui oleh konflik KPK versus Polri, presiden versus publik, dan
presiden versus parlemen, telah merugikan salah satunya sosok pribadi insan
Bhayangkara negara, yang bernama Komjen Budi Gunawan. Apabila kita menengok
ke belakang, secara yuridis, sebenarnya Komjen Budi Gunawan sangat layak
dilantik menjadi Kapolri karena status tersangka yang diberikan oleh KPK
telah dibatalkan oleh majelis hakim dalam sidang praperadilan sehingga Presiden tinggal melantik
menjadi Kapolri--terlebih lagi DPR sudah memberikan persetujuan. Namun, opini
publik sudah berkata lain sehingga Komjen Budi Gunawan batal dilantik menjadi
Kapolri.
Tentunya, harus dipikirkan bagaimana memulihkan harkat dan martabat
Komjen Budi Gunawan yang namanya telah tercitrakan secara negatif di depan
publik karena adanya status tersangka dari KPK sehingga opini publik
sudah telanjur mencitrakan bahwa Komjen Budi Gunawan telah bersalah dalam
kasus `rekening gendut', meskipun saat ini status tersangkanya sudah
dibatalkan dan yang bersangkutan juga belum terbukti di pengadilan seperti
yang dituduhkan selama ini. Kalau berandai-andai,
mungkin saja apabila Komjen Budi Gunawan tidak dicalonkan menjadi Kapolri
oleh Presiden Jokowi, bisa jadi Komjen Budi Gunawan tidak jadi ditersangkakan
oleh KPK dan tidak dihujani kecaman oleh opini publik yang membuat namanya
menjadi terkesan seolah-olah negatif.
Sudah menjadi tugas dari organisasi Polri untuk
memperhatikan nasib, harkat, dan martabat serta kehormatan Komjen Budi
Gunawan untuk dipulihkan namanya dan ditempatkan pada posisi yang terhormat
di dalam struktur organisasi Polri. Pertemuan antara Presiden Jokowi dan para petinggi KIH di
Istana Minggu malam, sehari sebelum digelarnya rapat konsultasi dengan DPR,
dengan sinyalemen akan diangkatnya Komjen Budi Gunawan sebagai Wakapolri
bersandingan dengan Komjen Badrodin Haiti sebagai Kapolri, adalah sebuah
rencana yang tepat sehingga harus segera direspons oleh institusi Polri
secara bijaksana. Diharapkan duet kepemimpinan
Badrodin Haiti dan Budi Gunawan dalam memimpin lembaga Polri mampu
menciptakan kedamaian di tengah masyarakat.
PR Polri
Momentum kepemimpinan baru di
dalam organisasi Polri hendaknya dapat menjadi `darah segar' bagi pelaksanaan
tugas pokok Polri di masa yang akan datang. Banyak sekali pekerjaan rumah
dalam agenda reformasi birokrasi Polri yang harus dituntaskan oleh Kapolri
baru untuk membawa Polri menjadi world
class organizations yang transpan, akuntabel, humanis, dan profesional. Kapolri baru harus mampu
meningkatkan kinerja organisasi yang telah tertera dalam Grand Strategy Polri 2004-2025, yang mencakup tiga tahapan
penting, yakni tahap pertama trust
building atau membangun kepercayaan (2004-2009), tahap kedua partnership building atau membangun
kemitraan (2010-2014), dan tahap strive
to execelence (2015-2025).
Kapolri baru harus mampu
menjabarkan visi Trisakti dan program Nawa Cita Jokowi-JK yang tertuang dalam
RPJMN 2015-2019 ke dalam manajemen pembinaan dan manajemen operasional Polri.
Agenda revolusi mental yang merupakan jargon dari pemerintahan Jokowi-JK
harus mampu diaktualisasikan dalam setiap pelaksanaan tugas, kewenangan, dan
fungsi setiap anggota Polri dari tingkat Mabes Polri, polda, polres, polsek,
sampai Bhabinkamtibmas. Artinya, diperlukan program-program Polri yang
mengarah pada perubahan mental, moral, perilaku, budaya, dan nilai dalam hati
sanubari setiap insan Bhayangkara negara sehingga akan mencapai Polri yang
profesional, bermoral, dan modern.
Terakhir, Polri harus berani memberikan usulan kepada pemerintah,
khususnya Jokowi-JK, agar proses politik dalam pencalonan Kapolri ke depan
tidak lagi melalui DPR karena akan berpotensi menyeret Polri dalam pusaran
konflik politik praktis di parlemen. Hendaknya,
Polri berani melakukan inovasi secara tegas dengan mengusulkan kepada
Presiden Jokowi agar pencalonan Kapolri seperti penunjukan menteri yang
merupakan hak prerogatif penuh Presiden, tanpa adanya persetujuan dari DPR,
sehingga akan menghindari kemelut politik yang dapat merugikan kepentingan
organisasi Polri. Usulan ini tentunya akan berdampak pada perlunya revisi
terhadap UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang menyatakan bahwa pencalonan
Kapolri harus melalui persetujuan DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar