Agenda Kekuasaan PDIP
Gun Gun Heryanto
; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 09 April 2015
DINAMIKA politik pelaksanaan
Kongres Keempat PDIP yang digelar di Bali, 9-12 April, tak akan ada yang
mengejutkan. Momentum demokrasi internal partai jauh-jauh hari telah
dikondisikan ke mekanisme aklamasi. Hal itu menjadi pesan kuat, PDIP kian
mengukuhkan dominannya peran politik Megawati Soekarnoputri sekaligus tak mau
ambil risiko terganggunya titik keseimbangan akibat atmosfer rivalitas dalam
sirkulasi elite yang biasa muncul saat kongres partai politik.
Namun, Kongres
PDIP kali ini tidak berarti sepi dari agenda yang layak diamati. Hal mendesak
yang seharusnya dipertegas PDIP saat ini dan di masa depan ialah garis
kebijakan dan agenda partai sebagai bagian dari kekuasaan.
Dilema peran
Fakta politik bahwa PDIP
merupakan partai pemenang Pemilu Legislatif 2014. Kemenangan pun dilengkapi
dengan suksesnya kader PDIP, Joko Widodo, menjadi Presiden Ketujuh RI. Ini
merupakan fase menentukan bagi eksistensi politik PDIP setelah dua periode
pemerintahan SBY berada di luar kekuasaan.
Jelas, reformulasi dan
reorientasi kekuasaan yang dibangun Mega dan elite PDIP lainnya masih belum
berjalan optimal. Masih muncul sejumlah kegagapan dan dilema saat harus
kembali memerankan diri sebagai partai berkuasa yang harus mengawal
eksistensi pemerintahan Jokowi. Ada tiga catatan yang menggambarkan PDIP
masih mengalami dilema dalam memerankan diri.
Pertama, di beberapa kesempatan
komunikasi politik antara PDIP baik elite mereka di legislatif maupun di eksekutif
belum terkoordinasi optimal. Masih banyak elite PDIP yang bergaya seperti
kelompok di luar kekuasaan atau kekuatan penyeimbang. Bahkan ada elite PDIP
yang memprediksi kejatuhan rezim Jokowi lebih cepat. Belum lagi di banyak
kebijakan pemerintahan Jokowi justru dikritik nyaring oleh para elite
partainya sendiri. PDIP harusnya mampu memberi kanal koordinasi di antara
elite mereka sehingga komunikasi publik, terutama di banyak kebijakan
strategis tidak berjalan sporadis dan terkesan inkonsisten.
Kedua, dilema dalam memosisikan
kuasa Mega dan Jokowi. Kita tak bisa menutup mata bahwa Mega merupakan veto player di hampir seluruh
kebijakan strategis PDIP. Sementara itu, Jokowi merupakan kader partai yang
dimandati rakyat menjadi presiden. Hal itu tentu harus terus dikoordinasikan
secara intensif dan berkelanjutan.Salah satu celah yang bisa di manfaatkan
lawan politik untuk melemahkan PDIP dan pemerintahan Jokowi ialah memecah
soliditas politik Mega-Jokowi. Egoisme politik masing-masing akan memunculkan
keengganan komunikasi dan menjadi cikal bakal buruknya kualitas hubungan
politik antara PDIP dan pemerintahan Jokowi.
Ketiga, dilema dalam
mengimplementasikan bangunan normatif ideologi dan nilai-nilai ideal partai
dalam agenda kekuasaan. Kongres harusnya mempertegas kembali cara
merealisasikan janji politik dan kebijakan yang berorientasi pada Trisakti
dan Nawa Cita. Salah satu ujian terberatnya ialah mampukah PDIP, Mega,
Jokowi, dan sejumlah elite parpol lainnya menjawab harapan publik yang sangat
tinggi saat mereka memenangi pemilu? Agenda-agenda apa yang harus mereka
realisasikan untuk publik dalam lima tahuan kekuasaan yang mereka miliki.
Penguatan institusi
Kongres PDIP kali ini juga
harusnya menjadi momentum penguatan institusi partai. Tak disangkal, bahwa
setiap partai butuh figur yang menjadi simpul kekuatan. Namun, ketergantungan
yang berlebihan terhadap figur dapat menyuburkan feodalisme dan dinasti
politik. Tak ada yang salah jika menjadikan Soekarno sebagai figur sentral
dan ikon ideologi partai. Begitu pun tak salah menempatkan Mega sebagai sosok
sentral dalam be berapa periode kepemimpinan partai ini. Yang salah ialah
munculnya pemikiran jika tak dipimpin Mega atau trah Soekarno, PDIP akan
kehilangan rohnya.
Gejala feodalisasi yang mesti
diwaspadai ialah menguatnya kesadaran diskursif (discursive consciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang
senantiasa menempatkan trah Soekarno di puncak hierarki partai. Misalnya,
dalam regenerasi kepemimpinan pasca-Mega, seolah-olah hanya Puan Maharani dan
Prananda Prabowo yang layak meneruskan estafet kepemimpinan PDIP. Tak terlalu
riskan jika keduanya memang memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, tetapi
bila dipaksakan karena alasan trah, tentu akan membuat PDIP terpuruk di masa
mendatang.
Kesadaran baik diskursif
maupun kesadaran praktis merupakan modal dasar
dalam penstrukturan kelompok. Menurut Poole, Seibold, dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions
(1996) penstrukturan dipahami sebagai proses sistem diproduksi dan
direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumber daya oleh anggota kelompok. Dengan
demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan SDM selalu menempelkan
kekuatannya pada dinasti, tentu saja PDIP tak akan pernah menjadi partai
modern.
Partai modern dibangun melalui
kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas (reflexivity). Partai memfasilitasi
anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat
perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal
tertentu tidak akan berjalan. Refleksivitas adalah kemampuan untuk menentukan
alasan-alasan pilihan perilakunya. Dengan demikian, partai modern ialah
partai yang progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan partai
yang terjebak dalam gejala group think.
Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi
keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis figur politik.
PDIP juga harus selalu
memperkuat proses kaderisasi. Perkembangan dinamis-pragmatis partai kerap
mencederai tahapan kaderisasi. Partai menjadi pintu masuk bagi munculnya
politisi-politisi nonkader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan
jabatan publik tertentu sehingga dalam jangka panjang merusak suasana
batiniah kader sekaligus menumbuhkan parasit yang suatu saat akan
menggerogoti tubuh partai. PDIP seyogianya memiliki sistem yang jelas dan
kuat mengenai kaderisasi itu.
PDIP harusnya disibukkan dengan
beragam agenda kekuasaan yang prorakyat. Caranya mendukung dan mengarahkan
seluruh elite mereka di legislatif dan eksekutif untuk bekerja keras, bukan
semata-mata berwacana terlebih dengan wacana yang menyesatkan. Publik akan
menagih janji dari kekuasaan yang saat ini digenggam PDIP. Jika Jokowi gagal,
dan para politikus di DPR abai dengan janji-janji mereka, pasti memengaruhi
buruknya eksistensi PDIP di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar