Jumat, 10 April 2015

Agenda Kekuasaan PDIP

Agenda Kekuasaan PDIP

Gun Gun Heryanto  ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA, 09 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

DINAMIKA politik pelaksanaan Kongres Keempat PDIP yang digelar di Bali, 9-12 April, tak akan ada yang mengejutkan. Momentum demokrasi internal partai jauh-jauh hari telah dikondisikan ke mekanisme aklamasi. Hal itu menjadi pesan kuat, PDIP kian mengukuhkan dominannya peran politik Megawati Soekarnoputri sekaligus tak mau ambil risiko terganggunya titik keseimbangan akibat atmosfer rivalitas dalam sirkulasi elite yang biasa muncul saat kongres partai politik. 

Namun, Kongres PDIP kali ini tidak berarti sepi dari agenda yang layak diamati. Hal mendesak yang seharusnya dipertegas PDIP saat ini dan di masa depan ialah garis kebijakan dan agenda partai sebagai bagian dari kekuasaan.

Dilema peran

Fakta politik bahwa PDIP merupakan partai pemenang Pemilu Legislatif 2014. Kemenangan pun dilengkapi dengan suksesnya kader PDIP, Joko Widodo, menjadi Presiden Ketujuh RI. Ini merupakan fase menentukan bagi eksistensi politik PDIP setelah dua periode pemerintahan SBY berada di luar kekuasaan.

Jelas, reformulasi dan reorientasi kekuasaan yang dibangun Mega dan elite PDIP lainnya masih belum berjalan optimal. Masih muncul sejumlah kegagapan dan dilema saat harus kembali memerankan diri sebagai partai berkuasa yang harus mengawal eksistensi pemerintahan Jokowi. Ada tiga catatan yang menggambarkan PDIP masih mengalami dilema dalam memerankan diri.

Pertama, di beberapa kesempatan komunikasi politik antara PDIP baik elite mereka di legislatif maupun di eksekutif belum terkoordinasi optimal. Masih banyak elite PDIP yang bergaya seperti kelompok di luar kekuasaan atau kekuatan penyeimbang. Bahkan ada elite PDIP yang memprediksi kejatuhan rezim Jokowi lebih cepat. Belum lagi di banyak kebijakan pemerintahan Jokowi justru dikritik nyaring oleh para elite partainya sendiri. PDIP harusnya mampu memberi kanal koordinasi di antara elite mereka sehingga komunikasi publik, terutama di banyak kebijakan strategis tidak berjalan sporadis dan terkesan inkonsisten.

Kedua, dilema dalam memosisikan kuasa Mega dan Jokowi. Kita tak bisa menutup mata bahwa Mega merupakan veto player di hampir seluruh kebijakan strategis PDIP. Sementara itu, Jokowi merupakan kader partai yang dimandati rakyat menjadi presiden. Hal itu tentu harus terus dikoordinasikan secara intensif dan berkelanjutan.Salah satu celah yang bisa di manfaatkan lawan politik untuk melemahkan PDIP dan pemerintahan Jokowi ialah memecah soliditas politik Mega-Jokowi. Egoisme politik masing-masing akan memunculkan keengganan komunikasi dan menjadi cikal bakal buruknya kualitas hubungan politik antara PDIP dan pemerintahan Jokowi.

Ketiga, dilema dalam mengimplementasikan bangunan normatif ideologi dan nilai-nilai ideal partai dalam agenda kekuasaan. Kongres harusnya mempertegas kembali cara merealisasikan janji politik dan kebijakan yang berorientasi pada Trisakti dan Nawa Cita. Salah satu ujian terberatnya ialah mampukah PDIP, Mega, Jokowi, dan sejumlah elite parpol lainnya menjawab harapan publik yang sangat tinggi saat mereka memenangi pemilu? Agenda-agenda apa yang harus mereka realisasikan untuk publik dalam lima tahuan kekuasaan yang mereka miliki.

Penguatan institusi

Kongres PDIP kali ini juga harusnya menjadi momentum penguatan institusi partai. Tak disangkal, bahwa setiap partai butuh figur yang menjadi simpul kekuatan. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat menyuburkan feodalisme dan dinasti politik. Tak ada yang salah jika menjadikan Soekarno sebagai figur sentral dan ikon ideologi partai. Begitu pun tak salah menempatkan Mega sebagai sosok sentral dalam be berapa periode kepemimpinan partai ini. Yang salah ialah munculnya pemikiran jika tak dipimpin Mega atau trah Soekarno, PDIP akan kehilangan rohnya.

Gejala feodalisasi yang mesti diwaspadai ialah menguatnya kesadaran diskursif (discursive consciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan trah Soekarno di puncak hierarki partai. Misalnya, dalam regenerasi kepemimpinan pasca-Mega, seolah-olah hanya Puan Maharani dan Prananda Prabowo yang layak meneruskan estafet kepemimpinan PDIP. Tak terlalu riskan jika keduanya memang memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, tetapi bila dipaksakan karena alasan trah, tentu akan membuat PDIP terpuruk di masa mendatang.

Kesadaran baik diskursif maupun kesadaran praktis merupakan modal dasar dalam penstrukturan kelompok. Menurut Poole, Seibold, dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions (1996) penstrukturan dipahami sebagai proses sistem diproduksi dan direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumber daya oleh anggota kelompok. Dengan demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan SDM selalu menempelkan kekuatannya pada dinasti, tentu saja PDIP tak akan pernah menjadi partai modern.

Partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas (reflexivity). Partai memfasilitasi anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu tidak akan berjalan. Refleksivitas adalah kemampuan untuk menentukan alasan-alasan pilihan perilakunya. Dengan demikian, partai modern ialah partai yang progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan partai yang terjebak dalam gejala group think. Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis figur politik.

PDIP juga harus selalu memperkuat proses kaderisasi. Perkembangan dinamis-pragmatis partai kerap mencederai tahapan kaderisasi. Partai menjadi pintu masuk bagi munculnya politisi-politisi nonkader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan jabatan publik tertentu sehingga dalam jangka panjang merusak suasana batiniah kader sekaligus menumbuhkan parasit yang suatu saat akan menggerogoti tubuh partai. PDIP seyogianya memiliki sistem yang jelas dan kuat mengenai kaderisasi itu.

PDIP harusnya disibukkan dengan beragam agenda kekuasaan yang prorakyat. Caranya mendukung dan mengarahkan seluruh elite mereka di legislatif dan eksekutif untuk bekerja keras, bukan semata-mata berwacana terlebih dengan wacana yang menyesatkan. Publik akan menagih janji dari kekuasaan yang saat ini digenggam PDIP. Jika Jokowi gagal, dan para politikus di DPR abai dengan janji-janji mereka, pasti memengaruhi buruknya eksistensi PDIP di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar