Politik ‘Obat Nyamuk’
Donny Syofyan
; Dosen
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
|
REPUBLIKA,
28 Maret 2015
Baru-baru ini pemerintah telah merombak direksi sejumlah bank
pelat merah, di antaranya, adalah Bank Mandiri dan BNI. Sungguh pun perombakan
direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sepenuhnya adalah hak pemerintah,
satu hal yang mengundang tanda tanya publik adalah masuknya tim sukses atau
wakil partai pemenang pemilu.
Di jajaran komisaris Bank Mandiri, ada Cahaya Dwi Rembulan Sinaga.
Ia menjadi bagian dari relawan yang bergabung di Tim Transisi Jokowi-JK di
Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Transisi urusan pendidikan. Sementara di jajaran
komisaris BNI, ada Pataniari Siahaan, yang merupakan politisi dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Bergabungnya tim sukses Jokowi-JK ke jajaran BUMN ternyata juga
dibarengi oleh masuknya tokoh-tokoh yang selama ini dikenal kritis terhadap
kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Ini terlihat dari bergabungnya
Rizal Ramli dan Revrisond Baswir sebagai komisaris utama dan komisaris BNI.
Tren kedua ini sebetulnya memberikan darah segar berupa
transformasi sistemik di lembaga pemerintah. Alih-alih sebagai upaya untuk
membungkam suara vokal mereka yang bakal berakhir sia-sia, keterlibatan figur-figur
seperti Rizal Ramli dan Revrisond Baswir sejatinya merepresentasikan sebuah
politik obat nyamuk, sebuah gerakan melingkar-mengepung dari pinggir menuju
pusat perubahan dan kekuasaan.
Kehadiran Rizal Ramli dan Revrisond Baswir bukan sekadar memberikan
counter terhadap kecenderungan neoliberal para menteri ekonom Presiden
Jokowi. Mereka dilibatkan karena dianggap mewakili `pemegang lisensi'
kemandirian bangsa yang dimulai dari lembaga pelat merah.
Rekam jejak Rizal Ramli sebagai ekonom dan eksekutor bertangan
dingin --menyelamatkan PLN dari kebangkrutan, efisiensi Bulog, mendatangkan
uang lebih dari Rp 5 triliun tanpa menjual Telkom dan Indosat hingga
mendongkrak profit Semen Gresik-- memperlihatkan bahwa reformasi dan
transformasi hanyalah persoalan percaya diri. Dengan semangat ini, Rizal
Ramli terhindar dari kebiasaan yang bersifat generik; cenderung menjadi
peniru daripada pencipta. Sementara Revrisond Baswir selalu lantang menentang
penyerahan harga bahan bakar minyak (BBM) kepada pasar karena dianggap bagian
dari pemulusan kebijakan neoliberal.
Layaknya gulungan obat nyamuk, keterlibatan Rizal Ramli dan
Revrisond Baswir ini mencerminkan gerakan perbaikan subsistem ekonomi
berwujud BUMN ("pinggir") menuju perbaikan sistem manajemen dan
keuangan negara ("pusat"). Mereka tak harus menjadi menteri atau
presiden, tapi rekam jejaknya selama ini telah menciptakan sebuah preseden
bahwa transformasi lebih kepada kecakapan untuk menjadi pioner dan keberanian
untuk menantang arus, bukan sekadar memburu kursi.
Dengan kredibilitas yang teruji, kehadiran mereka yang menduduki
kursi basah BUMN harus mampu menjamin perbaikan internal serius yang
prorakyat, misalnya, dengan membuka keran kredit yang lebih besar dan lebih
mudah ke pada masyarakat menengah ke bawah. Politik obat nyamuk ini juga
mewartakan terjadinya gelombang besar kaum intelektual menuju birokrasi.
Di samping Rizal Ramli dan Revrisond Baswir, Anggito Abimanyu
yang berlabuh sebagai ketua Ekonom BRI maupun Refly Harun yang diangkat sebagai
komisaris utama Jasa Marga merepresentasikan kebutuhan terhadap kontribusi
kaum intelektual melakukan transformasi birokratis. Ini menjadi niscaya
karena kaum intelektual dianggap memiliki dua keunggulan utama, yakni
absennya konflik kepentingan dan keberanian melakukan eksperimentasi.
Independensi tokoh-tokoh intelektual sebagai komisaris dan
eksekutor di pelbagai BUMN jauh lebih terjaga karena ia tidak terikat dengan
kepentingan politik tertentu, sehingga peluang konflik kepentingan sangat
kecil. Ini berbeda dengan para komisaris yang berasal dari parpol yang mau
tak mau bakal mengompromikan kepentingan publik dengan kepentingan partai
pengusung.
Di lain pihak, integrasi kaum cendekiawan ke dalam birokrasi
dibutuhkan untuk melakukan quantum leap
yang kerap menghajatkan pola-pola kerja out
of the box, bukan business as usual.
Negeri ini sebetulnya memiliki banyak kisah sukses intelektual birokrat.
Partisipasi intelektual ke ranah birokrasi ini merupakan gerakan
intelektual dari wilayah periferal menuju sentral. Disebut periferal karena
selama ini mereka terpenjara dengan status sebagai sarjana yang jumlahnya
ribuan diproduksi perguruan tinggi maupun ilmuwan yang lebih menyibukkan diri
dengan tumpukan buku di perpustakaan atau riset di laboratorium.
Menjadi komisaris atau eksekutor di lembaga pemerintahan menjadi
ajang pembuktian bagi intelektual sejati bahwa integritas mereka terletak
pada kontribusi publik yang mereka berikan --baik wilayah basah maupun
becek-- dan bukan sekadar deretan gelar yang seringkali memfosil karena
tipuan arogan si intelektual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar