Jumat, 10 April 2015

Politik ‘Obat Nyamuk’

Politik ‘Obat Nyamuk’

Donny Syofyan  ;  Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
REPUBLIKA, 28 Maret 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Baru-baru ini pemerintah telah merombak direksi sejumlah bank pelat merah, di antaranya, adalah Bank Mandiri dan BNI. Sungguh pun perombakan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sepenuhnya adalah hak pemerintah, satu hal yang mengundang tanda tanya publik adalah masuknya tim sukses atau wakil partai pemenang pemilu.

Di jajaran komisaris Bank Mandiri, ada Cahaya Dwi Rembulan Sinaga. Ia menjadi bagian dari relawan yang bergabung di Tim Transisi Jokowi-JK di Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Transisi urusan pendidikan. Sementara di jajaran komisaris BNI, ada Pataniari Siahaan, yang merupakan politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Bergabungnya tim sukses Jokowi-JK ke jajaran BUMN ternyata juga dibarengi oleh masuknya tokoh-tokoh yang selama ini dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Ini terlihat dari bergabungnya Rizal Ramli dan Revrisond Baswir sebagai komisaris utama dan komisaris BNI.

Tren kedua ini sebetulnya memberikan darah segar berupa transformasi sistemik di lembaga pemerintah. Alih-alih sebagai upaya untuk membungkam suara vokal mereka yang bakal berakhir sia-sia, keterlibatan figur-figur seperti Rizal Ramli dan Revrisond Baswir sejatinya merepresentasikan sebuah politik obat nyamuk, sebuah gerakan melingkar-mengepung dari pinggir menuju pusat perubahan dan kekuasaan.

Kehadiran Rizal Ramli dan Revrisond Baswir bukan sekadar memberikan counter terhadap kecenderungan neoliberal para menteri ekonom Presiden Jokowi. Mereka dilibatkan karena dianggap mewakili `pemegang lisensi' kemandirian bangsa yang dimulai dari lembaga pelat merah.

Rekam jejak Rizal Ramli sebagai ekonom dan eksekutor bertangan dingin --menyelamatkan PLN dari kebangkrutan, efisiensi Bulog, mendatangkan uang lebih dari Rp 5 triliun tanpa menjual Telkom dan Indosat hingga mendongkrak profit Semen Gresik-- memperlihatkan bahwa reformasi dan transformasi hanyalah persoalan percaya diri. Dengan semangat ini, Rizal Ramli terhindar dari kebiasaan yang bersifat generik; cenderung menjadi peniru daripada pencipta. Sementara Revrisond Baswir selalu lantang menentang penyerahan harga bahan bakar minyak (BBM) kepada pasar karena dianggap bagian dari pemulusan kebijakan neoliberal.

Layaknya gulungan obat nyamuk, keterlibatan Rizal Ramli dan Revrisond Baswir ini mencerminkan gerakan perbaikan subsistem ekonomi berwujud BUMN ("pinggir") menuju perbaikan sistem manajemen dan keuangan negara ("pusat"). Mereka tak harus menjadi menteri atau presiden, tapi rekam jejaknya selama ini telah menciptakan sebuah preseden bahwa transformasi lebih kepada kecakapan untuk menjadi pioner dan keberanian untuk menantang arus, bukan sekadar memburu kursi.

Dengan kredibilitas yang teruji, kehadiran mereka yang menduduki kursi basah BUMN harus mampu menjamin perbaikan internal serius yang prorakyat, misalnya, dengan membuka keran kredit yang lebih besar dan lebih mudah ke pada masyarakat menengah ke bawah. Politik obat nyamuk ini juga mewartakan terjadinya gelombang besar kaum intelektual menuju birokrasi.

Di samping Rizal Ramli dan Revrisond Baswir, Anggito Abimanyu yang berlabuh sebagai ketua Ekonom BRI maupun Refly Harun yang diangkat sebagai komisaris utama Jasa Marga merepresentasikan kebutuhan terhadap kontribusi kaum intelektual melakukan transformasi birokratis. Ini menjadi niscaya karena kaum intelektual dianggap memiliki dua keunggulan utama, yakni absennya konflik kepentingan dan keberanian melakukan eksperimentasi.

Independensi tokoh-tokoh intelektual sebagai komisaris dan eksekutor di pelbagai BUMN jauh lebih terjaga karena ia tidak terikat dengan kepentingan politik tertentu, sehingga peluang konflik kepentingan sangat kecil. Ini berbeda dengan para komisaris yang berasal dari parpol yang mau tak mau bakal mengompromikan kepentingan publik dengan kepentingan partai pengusung.

Di lain pihak, integrasi kaum cendekiawan ke dalam birokrasi dibutuhkan untuk melakukan quantum leap yang kerap menghajatkan pola-pola kerja out of the box, bukan business as usual. Negeri ini sebetulnya memiliki banyak kisah sukses intelektual birokrat.

Partisipasi intelektual ke ranah birokrasi ini merupakan gerakan intelektual dari wilayah periferal menuju sentral. Disebut periferal karena selama ini mereka terpenjara dengan status sebagai sarjana yang jumlahnya ribuan diproduksi perguruan tinggi maupun ilmuwan yang lebih menyibukkan diri dengan tumpukan buku di perpustakaan atau riset di laboratorium.

Menjadi komisaris atau eksekutor di lembaga pemerintahan menjadi ajang pembuktian bagi intelektual sejati bahwa integritas mereka terletak pada kontribusi publik yang mereka berikan --baik wilayah basah maupun becek-- dan bukan sekadar deretan gelar yang seringkali memfosil karena tipuan arogan si intelektual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar