Memanfaatkan Kekisruhan Partai Politik
A Adib ; Wartawan Suara Merdeka
|
SUARA
MERDEKA, 07 April 2015
DALAM politik, ada satu teori yang menyatakan kemelemahan sebuah
partai, terutama yang cenderung melawan pemerintah, justru menguntungkan penguasa.
Kesahihan teori itu masih bisa diperdebatkan namun fenomena itu telah lama
terjadi dalam percaturan politik di Tanah Air. Pemerintahan Orde Baru
misalnya, pernah melemahkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lewat intervensi dalam Kongres IV di Hotel Tiara, Medan,
21-25 Juli 1993.
Kongres itu tak mampu memilih ketua umum karena sejumlah calon
bersaing ketat, seperti Soerjadi, Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono,
Soetardjo Soerjogoeritno, Tarto Sudiro, dan Ismunandar. Kongres diwarnai
pemukulan terhadap Alex Asmasoebrata oleh kubu Jacob Nuwawea. Soerjadi yang
terpilih ketua pun tak bisa menyusun kepengurusan akibat demonstrasi yang
dipimpin Jacob.
Mendagri Moh Yogie SM mengambil alih dan membentuk caretaker
diketuai Ketua DPD PDI Jatim Latief Pudjosakti dengan tugas menyelenggarakan
kongres luar biasa (KLB). Dalam KLB di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada
2-6 Desember 1993
Megawati Soekarnoputri yang saat itu Ketua DPC PDI Jakarta
Selatan terpilih jadi ketua umum secara ”de facto” karena pemerintah tak
bersedia mengakui keterpilihannya.
Pemerintah Orba akhirnya mengakui kepemimpinan Megawati melalui
munas di Jakarta pada 22-23 Desember 1993 dan menghasilkan kepengurusan
periode 1993-1998. Namun Mega yang mendapat dukungan arus bawah terus digoyang
oleh elite partai, bahkan dikhianati sejumlah pengurus DPP.
Kubu Yusuf Merukh membentuk PDI Reshuffle yang dibiarkan
pemerintah, Soerjadi bersama sejumlah pengurus seperti Fatimah Ahmad pun
menggalang penyelenggaraan kongres. Kongres lanjutan berlangsung di Asrama
Haji Pangkalan Mashur, Medan, pada 22-23 Juni 1996, jauh sebelum kepengurusan
Megawati berakhir.
Soerjadi kembali terpilih dan terjadilah dualisme kepemimpinan
di PDI namun pemerintah mengakui kepemimpinan Soerjadi. Dualisme ini memicu
kerusuhan massa di Ibu Kota menyusul perebutan kantor DPP di Jalan Diponegoro
58 Jakarta Pusat oleh kubu Soerjadi yang didukung aparat pemerintah.
Megawati mengalah, berpindah-pindah kantor, dari rumahnya di
Kebagusan Jakarta Selatan lalu ke Condet, Jakarta Timur,tapi diusir oleh
aparat pemerintah saat itu. Mega
akhirnya mendirikan PDI Perjuangan (PDIP) dan jadi pemenang Pemilu
1999, sedangkan PDI pimpinan Soerjadi pada Pemilu 1997 dan 1999 jeblok.
Kepentingan Bangsa
Berbeda dari Golkar yang saat itu sangat solid. Suksesi
kepemimpinan tergolong mulus dari Djuhartono (1964-1969), Suprapto Sukowati
(1969-1973), Amir Moertono (1973-1983), Sudharmono (1983-1988), Wahono
(1988-1993), Harmoko (1993-1998), Akbar Tandjung (1998-2004), Jusuf Kalla
(2004-2009), hingga Aburizal Bakrie yang terpilih dalam munas VIII di
Pekanbaru pada Oktober 2009.
Sangat berbeda dari Partai Golkar yang menjadi mesin politik
Orde Baru. Dulu dikenal sebagai partai yang bersih dari konflik. Kejatuhan
Orba, membuat Golkar mulai pecah, namun tak pernah menggelar munas luar
biasa. Kader partai beringin lebih memilih membentuk partai baru setelah
gagal terpilih dalam munas atau tidak cocok dengan kepemimpinan di partainya.
Sebut saja Edi Sudradjat yang mendirikan PKPI, Wiranto
mendirikan Partai Hanura. Namun yang fenomenal dari Golkar adalah kasus Ketua
Dewan Pembina Partai Surya Paloh yang kalah bersaing dalam perebutan posisi
ketua umum pada Munas 2009, kini memimpin Nasdem dan sama-sama bersaing dalam
Pemilu 2014.
Gonjang-ganjing panggung politik kini memasuki babak baru.
Seperti prediksi banyak pihak, pemerintahan Jokowi melalui Menkumham Yasonna
Laoly menerbitkan SK pengesahan DPP
Golkar hasil Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono. Sudah bisa diterka,
kegaduhan politik makin kencang.
Kekisruhan parpol dimanfaatkan pemerintah untuk menyeret kubu
pendukung masuk ke pusaran rezim penguasa. Indikasinya, saat kisruh dualisme
kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Yasonna yang baru sehari
menduduki jabatan Menkumham, langsung memenangkan kubu Romahurmuziy (Romi),
pendukung Jokowi-JK.
Sikap ini terulang dalam dualisme Golkar. Arah political will
pemerintahan Jokowi-JK pun dinilai mengintervensi parpol, memelihara konflik,
dan menerapkan politik pecah-belah. Andai itu benar, gaya politik ini patut
diwaspadai karena meniru devide et impera penjajah Belanda, dengan tujuan
melanggengkan kekuasaan.
Kita tentu berharap anggapan ini salah dan pemerintah tidak
menjalankan politik adu domba. Kita berharap Jokowi dan pembantunya di
kabinet, menempatkan kepentingan bangsa di atas semua kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar