Jumat, 10 April 2015

Memanfaatkan Kekisruhan Partai Politik

Memanfaatkan Kekisruhan Partai Politik

A Adib  ;  Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 07 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

DALAM politik, ada satu teori yang menyatakan kemelemahan sebuah partai, terutama yang cenderung melawan pemerintah, justru menguntungkan penguasa. Kesahihan teori itu masih bisa diperdebatkan namun fenomena itu telah lama terjadi dalam percaturan politik di Tanah Air. Pemerintahan Orde Baru misalnya, pernah melemahkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lewat intervensi  dalam Kongres IV di Hotel Tiara, Medan, 21-25 Juli 1993.

Kongres itu tak mampu memilih ketua umum karena sejumlah calon bersaing ketat, seperti Soerjadi, Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno, Tarto Sudiro, dan Ismunandar. Kongres diwarnai pemukulan terhadap Alex Asmasoebrata oleh kubu Jacob Nuwawea. Soerjadi yang terpilih ketua pun tak bisa menyusun kepengurusan akibat demonstrasi yang dipimpin Jacob.

Mendagri Moh Yogie SM mengambil alih dan membentuk caretaker diketuai Ketua DPD PDI Jatim Latief Pudjosakti dengan tugas menyelenggarakan kongres luar biasa (KLB). Dalam KLB di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 2-6 Desember 1993

Megawati Soekarnoputri yang saat itu Ketua DPC PDI Jakarta Selatan terpilih jadi ketua umum secara ”de facto” karena pemerintah tak bersedia mengakui keterpilihannya.

Pemerintah Orba akhirnya mengakui kepemimpinan Megawati melalui munas di Jakarta pada 22-23 Desember 1993 dan menghasilkan kepengurusan periode 1993-1998. Namun Mega yang mendapat dukungan arus bawah terus digoyang oleh elite partai, bahkan dikhianati sejumlah pengurus DPP.

Kubu Yusuf Merukh membentuk PDI Reshuffle yang dibiarkan pemerintah, Soerjadi bersama sejumlah pengurus seperti Fatimah Ahmad pun menggalang penyelenggaraan kongres. Kongres lanjutan berlangsung di Asrama Haji Pangkalan Mashur, Medan, pada 22-23 Juni 1996, jauh sebelum kepengurusan Megawati berakhir.

Soerjadi kembali terpilih dan terjadilah dualisme kepemimpinan di PDI namun pemerintah mengakui kepemimpinan Soerjadi. Dualisme ini memicu kerusuhan massa di Ibu Kota menyusul perebutan kantor DPP di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat oleh kubu Soerjadi yang didukung aparat pemerintah.

Megawati mengalah, berpindah-pindah kantor, dari rumahnya di Kebagusan Jakarta Selatan lalu ke Condet, Jakarta Timur,tapi diusir oleh aparat pemerintah saat itu. Mega  akhirnya mendirikan PDI Perjuangan (PDIP) dan jadi pemenang Pemilu 1999, sedangkan PDI pimpinan Soerjadi pada Pemilu 1997 dan 1999 jeblok.

Kepentingan Bangsa

Berbeda dari Golkar yang saat itu sangat solid. Suksesi kepemimpinan tergolong mulus dari Djuhartono (1964-1969), Suprapto Sukowati (1969-1973), Amir Moertono (1973-1983), Sudharmono (1983-1988), Wahono (1988-1993), Harmoko (1993-1998), Akbar Tandjung (1998-2004), Jusuf Kalla (2004-2009), hingga Aburizal Bakrie yang terpilih dalam munas VIII di Pekanbaru pada Oktober 2009.

Sangat berbeda dari Partai Golkar yang menjadi mesin politik Orde Baru. Dulu dikenal sebagai partai yang bersih dari konflik. Kejatuhan Orba, membuat Golkar mulai pecah, namun tak pernah menggelar munas luar biasa. Kader partai beringin lebih memilih membentuk partai baru setelah gagal terpilih dalam munas atau tidak cocok dengan kepemimpinan di partainya.

Sebut saja Edi Sudradjat yang mendirikan PKPI, Wiranto mendirikan Partai Hanura. Namun yang fenomenal dari Golkar adalah kasus Ketua Dewan Pembina Partai Surya Paloh yang kalah bersaing dalam perebutan posisi ketua umum pada Munas 2009, kini memimpin Nasdem dan sama-sama bersaing dalam Pemilu 2014.

Gonjang-ganjing panggung politik kini memasuki babak baru. Seperti prediksi banyak pihak, pemerintahan Jokowi melalui Menkumham Yasonna Laoly menerbitkan SK  pengesahan DPP Golkar hasil Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono. Sudah bisa diterka, kegaduhan politik makin kencang.

Kekisruhan parpol dimanfaatkan pemerintah untuk menyeret kubu pendukung masuk ke pusaran rezim penguasa. Indikasinya, saat kisruh dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Yasonna yang baru sehari menduduki jabatan Menkumham, langsung memenangkan kubu Romahurmuziy (Romi), pendukung Jokowi-JK.

Sikap ini terulang dalam dualisme Golkar. Arah political will pemerintahan Jokowi-JK pun dinilai mengintervensi parpol, memelihara konflik, dan menerapkan politik pecah-belah. Andai itu benar, gaya politik ini patut diwaspadai karena meniru devide et impera penjajah Belanda, dengan tujuan melanggengkan kekuasaan.

Kita tentu berharap anggapan ini salah dan pemerintah tidak menjalankan politik adu domba. Kita berharap Jokowi dan pembantunya di kabinet, menempatkan kepentingan bangsa di atas semua kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar