Polisi
Parlemen
Herie Purwanto ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unissula;
Kasat Reskrim Polres Magelang Kota
|
SUARA MERDEKA, 17 April 2015
Rencana pembentukan polisi parlemen terus menuai penolakan,
karena akan menyebabkan pemborosan anggaran. Menurut koordinator Advokasi dan
Investigasi Sekretaris Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (Fitra) Apung Widadi, berdasarkan simulasi anggaran, polisi parlemen
akan menelan dana sekitar Rp 809,9 miliar (SM,16/04/2015).
Tulisan ini tidak membahas pada kajian pemborosan anggaran,
seandainya Polisi Parlemen direalisasikan, namun lebih pada aspek
kemanfaatannya. Mengapa demikian? Pertama, selama ini sudah ada Pengamanan
Dalam (Pamdal), yang terbukti belum pernah dihadapkan pada ancaman nyata
teror bom atau teroris yang masuk dan mengganggu aktivitas kelembagaan para
legislator di Senayan.
Yang ada justru ulah para legislator itu sendiri, saling gontok
dan saling berkelahi, sehingga secara reaktif memicu isu perlunya Polisi
Parlemen. Kedua, Polri sudah menempatkan pengamanan di Senayan dengan
menerjunkan Polisi Pengamanan Obyek Vital (Pam Obvit), yang sudah dibekali
dengan kemampuan secara khusus menghadapi tugas-tugas protokoler maupun
pengamanan obyek-obyek vital.
Keberadaan Polisi Pam Obvit, selama ini sudah terbukti bisa
bertugas tanpa adanya komplain atau permasalahan yang mengurangi rasa aman di
tengah situasi dan dinamika Senayan. Keberadaan polisi ini juga secara
psikologis lebih dekat melaksanakan komunikasi dan koordinasi dengan polisi
umum yang melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu ataupun dalam keadaan
kontijensi ada pengunjuk rasa yang massif.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum, keberadaan Polri di
Senayan juga memberikan kewenangan bisa masuk di tengah-tengah kegiatan
sidang, apabila terdapat tindak pidana yang sifatnya tertangan tangan.
Sehingga bila terjadi tindak pidana, misalnya anggota parlemen
sedang melaksanakan sidang, kemudian saling caci maki atau terjadi
penganiayaan, selama anasir perbuatannya merupakan delik pidana, bukan
sebagai delik aduan, bisa dilakukan penangkapan terhadap pelaku. Polisi
Parlemen sebagai sebuah gagasan, sah-sah saja. Namun tidak perlu
direalisasikan.
Lebih-lebih bila dikaitkan dengan Polisi Parlemen dibentuk
melalui lembaga asal, yaitu Polri. Ini sangat tidak efektif dan akan
mengesampingkan keberadaan dan peranan Polisi Pengamanan Obyek Vital yang
memang eksistensinya untuk melaksanakan tugas-tugas pengamanan, sebagaimana
yang telah dilaksanakan di Senayan maupun tempat-tempat obyek vital lainnya.
Kontra Produktif
Apalagi bila Polri harus menempatkan seorang Perwira Tingginya
berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) hanya untuk menakhodai Polisi
Parlemen, sangat kontraproduktif bagi kinerja seorang berpangkat Jenderal.
Yang mendesak untuk dilaksanakan, apabila para Legislator merasa
belum aman dengan adanya Pengamanan Dalam maupun Polisi Pengamanan Obyek
Vital, adalah dengan meningkatkan jumlah (kuantitas) dan profesionalisme
mereka (kualitas). Kuantitas harus sebanding dengan aktivitas dan area
penugasan.
Adapun kualitas, dengan menempatkan petugas yang memiliki
kemampuan (skill) sebagai petugas keamanan dengan parameter tertentu, bukan
asal menempatkan sebagai pemenuhan rutinitas. Bila ditelisik, sejalan dengan
akan diberlakukannya UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang UUMD3, keberadaan Polisi
Parlemen ini dikaitkan. Meski bila dikaji lebih lanjut, perlu diluruskan
urgensi dari otonomi lembaga DPR untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Mengurus rumah tangga sendiri, tidak harus menyoal masalah
keamanan yang juga harus dikelola bahkan dibentuk lembaga baru dengan
mengesampingkan lembaga yang sudah ada. Sehingga wajar, aroma yang berkembang
di masyarakat, keinginan pembentukan Polisi Parlemen, tidak lebih dari
sekadar mencari ruang baru pengembangan bidang mata anggaran yang
ujung-ujungnya sebagai alasan pembenar pembengkakan anggaran.
Dengan jumlah Pengamanan Dalam (Pamdal) sekitar 450 orang saat
ini, diback-up oleh Polisi Pengamanan Obvit, dinamika di Senayan berjalan
kondusif. Sehingga Polisi Parlemen tidak perlu diperpanjang pembahasannya,
kalau tidak ingin kita dianggap sebagai negara yang selalu membahas dan
berpolemik untuk hal-hal yang sejatinya tidak memihak kepentingan masyarakat
banyak. Namun, justru membuat kebijakan untuk kepentingan tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar