Babak
Baru Nuklir Iran
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
|
SUARA MERDEKA, 16 April 2015
PERUNDINGAN delapan hari (26/3-2/4/15) mengenai program nuklir
Iran antara P5+1 (lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman) dan
pemerintah Republik Islam Iran di Lausanne Swiss membuahkan hasil positif
berupa kesepakatan tentatif (sementara).
Kesepakatan ini berisi sejumlah poin penting, di antaranya Iran
menyetujui beberapa hal krusial semisal mengurangi mesin sentrifugal dari
19.000 unit menjadi 6.104 unit, mengurangi 98 persen stok uranium yang sudah
diperkaya selama 15 tahun. Selain itu, membangun kembali mesin penelitian air
berat di reaktor nuklir Arak yang tak akan memroduksi plutonium pada tingkat
yang dapat dimanfaatkan untuk memroduksi senjata, serta memberi akses luas
dan rutin ke semua instalasi nuklirnya bagi pemeriksaan oleh Badan Tenaga
Atom Internasional (IAEA). Sebagai imbalan, AS dan Uni Eropa (UE) membekukan
sanksi ekonomi terhadap Teheran (SM, 6-8/4/15). P5+1 dan Iran akan menggelar
negosiasi lanjutan untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan secara detail dan
komprehensif terkait program nuklir Iran guna mencapai kesepakatan final pada
30 Juni mendatang. Dengan demikian program nuklir Iran memasuki babak baru.
Program nuklir Iran memiliki kisah panjang, dimulai sejak kekuasaan Shah Reza
Pahlevi pada dasawarsa 1960-an.
Pahlevi kali pertama membangun instalasi nuklir Iran untuk riset
nuklir dengan kekuatan hanya 5 megawatt yang diperolehnya dari AS dan mulai
beroperasi 1967. Setelah itu Iran membangun empat reaktor nuklir untuk riset
dengan masingmasing memiliki kekuatan tidak lebih dari 30 kilowatt di
Provinsi Asfahan. Melarang Melanjutkan Tahun 1975 pemerintah Iran menandatangani
transaksi pembangunan reaktor nuklir dengan perusahaan Jerman Barat, Siemens.
Berdasarkan transaksi tersebut Siemens mendirikan dua reaktor nuklir dengan
kekuatan masing-masing 1.300 megawatt di Kota Busher di tepi Laut Persia.
Pada saat yang sama pemerintah Iran meminta Prancis mendirikan
reaktor nuklir untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 935 megawatt.
Reaktor tersebut dibangun di kawasan Ahwaz, tak jauh dari wilayah perbatasan
dengan Irak. Pada 7 Oktober 1976 pemerintah Prancis mengungkapkan niatnya
membangun 8 reaktor nuklir di Iran. Dalam upaya memenuhi SDM untuk reaktor
tersebut, Iran mengirim para ilmuwan dan teknisi ke beberapa universitas dan
lembaga riset nuklir di AS dan Inggris. AS mendirikan reaktor nuklir berskala
kecil untuk riset di dekat ibu kota Teheran.
Pemerintah Iran memasok uranium dalam jumlah besar untuk
kebutuhan reaktor tersebut. Ketika rezim Shah Iran runtuh awal 1979, AS
berhenti memasok uranium itu. Kala itu satu dari dua reaktor yang dibangun
Siemens rampung 80 persen dan lainnya baru selesai sekitar 50 persen.
Pemerintah Jerman kemudian melarang Siemens melanjutkan pembangunannya. Pada
Maret 1986, di tengah kecamuk perang Iran-Irak, pemerintah Iran mengundang
para ilmuwan nuklir yang berada di luar negeri untuk hadir dalam konferensi
tentang nuklir di Busher.
Pesawat-pesawat tempur Irak beberapa kali membombardir reaktor
nuklir Busher yang menyebabkan terjadi kerusakan di bagian tertentu. Namun,
pemerintah Iran di bawah kendali Ayatullah Ruhollah Imam Khomeini bekerja
sama dengan perusahaan asal Argentina, melanjutkan pembangunan reaktor nuklir
yang pernah dikerjakan perusahaan Jerman, AS dan Prancis tadi. Selain itu
pemerintah Negeri Para Mullah itu mendekati Tiongkok dan Rusia. Pada 30
Oktober 1991 Iran membeli bahan dari Tiongkok yang dapat memproduksi uranium.
Time edisi 16 Desember 1991 menyebutkan Tiongkok telah menjual kepada Iran
lab kecil untuk produksi plutonium, serta teknologi cangggih untuk operasi
sinar laser bagi pengelolaan uranium 235 yang cukup untuk memproduksi senjata
nuklir.
Dengan Rusia, Iran menandatangani traktat kerja sama ekonomi
bilateral awal 1991, yang salah satu isinya Rusia siap membantu membangun dua
reaktor nukir masing-masing berkekuatan 440 megawatt. Perjanjian tersebut
dipertegas dengan kesediaan Moskow untuk memperluas kerja sama nuklir.
Kesediaannya itu dikemukakan saat Presiden Mohammad Khatami
berkunjung ke Moskow Maret 2001. Lalu, tahun 2002 Kementerian Energi Rusia
menyatakan kesediaannya membangun reaktor nuklir baru Iran yang realisasinya
dilakukan dalam waktu 10 tahun (2002-2012). Fakta itulah yang dijadikan
landasan AS dan UE untuk terus-menerus menekan Iran terutama dalam rentang
waktu sekitar satu dasa warsa terakhir. Tekanan, khususnya yang berwujud
penerapan sanksi ekonomi terhadap Teheran, telah membuat pemerintah moderat
Iran di bawah kepemimpinan Presiden Hasssan Rouhani melunak dan memberi
”cukup konsesi” kepada Barat sehingga tercapai kesepakatan tentatif di
Lausanne. Jika tidak muncul hambatan signifikan, baik dari internal
pihak-pihak yang berunding (P5+1 dan Iran) maupun eksternal, dipastikan
kesepakatan final yang detail dan komprehensif bisa dicapai pada akhir Juni
mendatang.
Bagi kita, keberanian dan ketegasan penguasa Iran membangun
reaktor nuklir sejak 1960-an dengan segenap eksesnya yang sudah terjadi
sejauh ini itu tentu menjadi pelajaran sangat berharga. Pemerintah Indonesia
khususnya mesti cerdas dan cerdik memetik pelajaran berharga tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar