Sabtu, 18 April 2015

Babak Baru Nuklir Iran

Babak Baru Nuklir Iran

Chusnan Maghribi  ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 16 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERUNDINGAN delapan hari (26/3-2/4/15) mengenai program nuklir Iran antara P5+1 (lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman) dan pemerintah Republik Islam Iran di Lausanne Swiss membuahkan hasil positif berupa kesepakatan tentatif (sementara).

Kesepakatan ini berisi sejumlah poin penting, di antaranya Iran menyetujui beberapa hal krusial semisal mengurangi mesin sentrifugal dari 19.000 unit menjadi 6.104 unit, mengurangi 98 persen stok uranium yang sudah diperkaya selama 15 tahun. Selain itu, membangun kembali mesin penelitian air berat di reaktor nuklir Arak yang tak akan memroduksi plutonium pada tingkat yang dapat dimanfaatkan untuk memroduksi senjata, serta memberi akses luas dan rutin ke semua instalasi nuklirnya bagi pemeriksaan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Sebagai imbalan, AS dan Uni Eropa (UE) membekukan sanksi ekonomi terhadap Teheran (SM, 6-8/4/15). P5+1 dan Iran akan menggelar negosiasi lanjutan untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan secara detail dan komprehensif terkait program nuklir Iran guna mencapai kesepakatan final pada 30 Juni mendatang. Dengan demikian program nuklir Iran memasuki babak baru. Program nuklir Iran memiliki kisah panjang, dimulai sejak kekuasaan Shah Reza Pahlevi pada dasawarsa 1960-an.

Pahlevi kali pertama membangun instalasi nuklir Iran untuk riset nuklir dengan kekuatan hanya 5 megawatt yang diperolehnya dari AS dan mulai beroperasi 1967. Setelah itu Iran membangun empat reaktor nuklir untuk riset dengan masingmasing memiliki kekuatan tidak lebih dari 30 kilowatt di Provinsi Asfahan. Melarang Melanjutkan Tahun 1975 pemerintah Iran menandatangani transaksi pembangunan reaktor nuklir dengan perusahaan Jerman Barat, Siemens. Berdasarkan transaksi tersebut Siemens mendirikan dua reaktor nuklir dengan kekuatan masing-masing 1.300 megawatt di Kota Busher di tepi Laut Persia.

Pada saat yang sama pemerintah Iran meminta Prancis mendirikan reaktor nuklir untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 935 megawatt. Reaktor tersebut dibangun di kawasan Ahwaz, tak jauh dari wilayah perbatasan dengan Irak. Pada 7 Oktober 1976 pemerintah Prancis mengungkapkan niatnya membangun 8 reaktor nuklir di Iran. Dalam upaya memenuhi SDM untuk reaktor tersebut, Iran mengirim para ilmuwan dan teknisi ke beberapa universitas dan lembaga riset nuklir di AS dan Inggris. AS mendirikan reaktor nuklir berskala kecil untuk riset di dekat ibu kota Teheran.

Pemerintah Iran memasok uranium dalam jumlah besar untuk kebutuhan reaktor tersebut. Ketika rezim Shah Iran runtuh awal 1979, AS berhenti memasok uranium itu. Kala itu satu dari dua reaktor yang dibangun Siemens rampung 80 persen dan lainnya baru selesai sekitar 50 persen. Pemerintah Jerman kemudian melarang Siemens melanjutkan pembangunannya. Pada Maret 1986, di tengah kecamuk perang Iran-Irak, pemerintah Iran mengundang para ilmuwan nuklir yang berada di luar negeri untuk hadir dalam konferensi tentang nuklir di Busher.

Pesawat-pesawat tempur Irak beberapa kali membombardir reaktor nuklir Busher yang menyebabkan terjadi kerusakan di bagian tertentu. Namun, pemerintah Iran di bawah kendali Ayatullah Ruhollah Imam Khomeini bekerja sama dengan perusahaan asal Argentina, melanjutkan pembangunan reaktor nuklir yang pernah dikerjakan perusahaan Jerman, AS dan Prancis tadi. Selain itu pemerintah Negeri Para Mullah itu mendekati Tiongkok dan Rusia. Pada 30 Oktober 1991 Iran membeli bahan dari Tiongkok yang dapat memproduksi uranium. Time edisi 16 Desember 1991 menyebutkan Tiongkok telah menjual kepada Iran lab kecil untuk produksi plutonium, serta teknologi cangggih untuk operasi sinar laser bagi pengelolaan uranium 235 yang cukup untuk memproduksi senjata nuklir.

Dengan Rusia, Iran menandatangani traktat kerja sama ekonomi bilateral awal 1991, yang salah satu isinya Rusia siap membantu membangun dua reaktor nukir masing-masing berkekuatan 440 megawatt. Perjanjian tersebut dipertegas dengan kesediaan Moskow untuk memperluas kerja sama nuklir.

Kesediaannya itu dikemukakan saat Presiden Mohammad Khatami berkunjung ke Moskow Maret 2001. Lalu, tahun 2002 Kementerian Energi Rusia menyatakan kesediaannya membangun reaktor nuklir baru Iran yang realisasinya dilakukan dalam waktu 10 tahun (2002-2012). Fakta itulah yang dijadikan landasan AS dan UE untuk terus-menerus menekan Iran terutama dalam rentang waktu sekitar satu dasa warsa terakhir. Tekanan, khususnya yang berwujud penerapan sanksi ekonomi terhadap Teheran, telah membuat pemerintah moderat Iran di bawah kepemimpinan Presiden Hasssan Rouhani melunak dan memberi ”cukup konsesi” kepada Barat sehingga tercapai kesepakatan tentatif di Lausanne. Jika tidak muncul hambatan signifikan, baik dari internal pihak-pihak yang berunding (P5+1 dan Iran) maupun eksternal, dipastikan kesepakatan final yang detail dan komprehensif bisa dicapai pada akhir Juni mendatang.

Bagi kita, keberanian dan ketegasan penguasa Iran membangun reaktor nuklir sejak 1960-an dengan segenap eksesnya yang sudah terjadi sejauh ini itu tentu menjadi pelajaran sangat berharga. Pemerintah Indonesia khususnya mesti cerdas dan cerdik memetik pelajaran berharga tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar