Hal Ihwal Praperadilan
Eddy OS Hiariej
; Guru Besar
Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
08 April 2015
Nit agit exemplum litem
quo lite resolvit. Demikian suatu postulat yang
berarti menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama
halnya dengan tidak menyelesaikan perkara itu.
Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi
tradisi sistem Eropa Kontinental, termasuk Indonesia, bahwa dalam mengadili
setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan
hakim sebelumnya. Dalam konteks putusan praperadilan yang mengabulkan
permohonan Budi Gunawan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK,
tidak serta-merta mengikat para tersangka lain yang sedang mengajukan praperadilan
atas penetapan tersangka tersebut. Setiap perkara mempunyai sifat dan
karakter tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula.
Tak dapat dinafikan, putusan praperadilan oleh Sarpin Rizaldi
telah menimbulkan kontroversi secara diametral. Mereka yang menyatakan
penetapan tersangka tak dapat dimohonkan praperadilan menggunakan argumentasi
bahwa Pasal 77 KUHAP terkait kewenangan praperadilan bersifat limitatif dan
penetapan tersangka tak termasuk di dalamnya. Sebaliknya, bagi yang
menyatakan penetapan tersangka merupakan kewenangan praperadilan dengan mudah
membalikkan argumen bahwa dalam pasal-pasal praperadilan tidak ada satu pun
larangan yang menyatakan penetapan tersangka tidak dapat dimohonkan praperadilan.
Praperadilan
Tulisan ini mencoba memberi penjelasan mengenai tiga hal.
Pertama, terkait instrumen praperadilan itu sendiri. Kedua, apakah sah-tidaknya penetapan tersangka merupakan kompetensi
praperadilan? Ketiga, upaya hukum apa yang dapat dilakukan terhadap putusan
praperadilan?
Pertama, instrumen praperadilan dimaksudkan mencegah
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum terhadap seseorang yang sedang
menjalani proses hukum. Kendati demikian, instrumen
praperadilan berdasarkan KUHAP memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu: (a) praperadilan hanya dapat diproses
jika ada gugatan. Hal ini berbeda dengan
negara-negara yang menjunjung tinggi due
process of law dalam sistem peradilan pidana, di mana instrumen pretrial dilakuan terhadap semua
perkara sebelum pemeriksaan pokok perkara.
Kemudian, (2) tak semua upaya paksa dalam sistem peradilan diatur KUHAP, seperti sah-tidaknya
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Jika ditimbang dengan
menggunakan dua sistem nilai dalam peradilan pidana, masing-masing crime control model dan due process model, tidaklah dapat
dimungkiri bahwa KUHAP kita lebih pada crime
control model yang lebih mengutamakan efisiensi dan kuantitas dalam
menyelesaikan perkara dengan kedudukan tersangka sebagai obyek. Hal ini dapat dipahami karena KUHAP dibentuk pada suatu rezim
otoriter yang cenderung tak memberikan penghormatan terhadap HAM.
Kedua, terkait sah-tidaknya penetapan tersangka, apakah
merupakan kompetensi praperadilan, hal ini tidak diatur secara eksplisit.
Oleh karena itu, untuk menentukan sesuatu yang
tidak diatur apakah boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan haruslah
berdasarkan tiga ukuran, masing-masing adalah kepatutan, ketertiban umum,
dan pemikiran yuridis yang logis sistematis. Terhadap ukuran kepatutan dan ketertiban umum, jelaslah bahwa
permohonan praperadilan atas sah-tidaknya penetapan tersangka tak
bertentangan dengan kepatutan dan ketertiban umum. Selalu menjadi perdebatan
apakah hal itu bertentangan dengan pemikiran yuridis yang logis sistematis.
Penetapan tersangka hanya berdasarkan bukti permulaan (lihat
Pasal 1 butir 14 KUHAP) pada dasarnya merupakan perwujudan sunrise principle dalam sistem peradilan pidana. Artinya, seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana sesegera mungkin dinyatakan sebagai tersangka dan
diproses secara hukum untuk secepatnya diajukan ke pengadilan. Landasan filsafati prinsip tersebut agar pelaku kejahatan tidak
lolos begitu saja dari jeratan hukum. Sebagai penyeimbang sunrise principle, dalam sistem
peradilan pidana juga dikenal sunset principle. Artinya, jika seseorang yang telah dinyatakan
sebagai tersangka dalam penyidikan lebih lanjut tidak ditemukan bukti
permulaan yang cukup atau bukti yang cukup, perkara tersebut segera dihentikan. Landasan filsafati prinsip ini agar jangan sampai menghukum
orang yang tidak bersalah. Sunset
principle diatur dalam KUHAP berdasarkan Pasal 109 Ayat (2) mengenai
perintah penghentian penyidikan dan Pasal 140 Ayat (2) terkait ketetapan
penghentian penuntutan. Berdasarkan kedua prinsip tersebut dapatlah dipahami
bahwa sah-tidaknya penetapan tersangka tidak dimaksudkan sebagai kompetensi
praperadilan menurut KUHAP.
Hal ini berbeda dengan penetapan tersangka oleh KPK. Berdasarkan
UU, KPK hanya mengenal sunrise
principle tanpa diimbangi sunset
principle. Pasal 40 UU KPK secara tegas melarang KPK menghentikan
penyidikan. Artinya, begitu seseorang dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK,
sudah pasti orang tersebut akan didudukkan di kursi pesakitan sebagai
terdakwa kasus korupsi. Jika terjadi kesewenang-wenangan dalam penetapan
tersangka oleh KPK, satu-satunya upaya hukum yang dapat dilakukan hanyalah
praperadilan. Dalam konteks ini berdasarkan pemikiran
yuridis yang logis sistematis, sah-tidaknya penetapan tersangka dapat
dijadikan obyek praperadilan sebagai substitusi sunset principle yang tidak dikenal dalam UU KPK.
Sebenarnya maksud
pembentuk UU tidak mencantumkan sunset
principle dalam UU KPK agar penanganan perkara dilakukan seakurat mungkin
berdasarkan prinsip kehati-hatian. Kenyataannya, dalam beberapa tahun
terakhir prinsip kehati-hatian diabaikan. Seseorang
yang dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK tak diikuti penahanan. Di satu
sisi, jika tersangka ditahan, KPK dikejar waktu untuk menyelesaikan berkas
perkara. Sebab, jika tidak, tersangka
akan bebas demi hukum setelah jangka waktu penahanan berakhir dan berkas
perkara belum selesai.
Sementara di sisi lain, personel KPK sangat terbatas jumlahnya
untuk menyidik kasus yang sedang ditangani. Seyogianya seseorang dinyatakan
sebagai tersangka jika berkas perkara lebih dari 60 persen telah selesai
untuk dilimpahkan ke pengadilan, kecuali dalam hal tertangkap tangan. Setelah
penetapan tersangka, hendaknya diikuti penahanan berdasarkan syarat obyektif (lihat
Pasal 21 Ayat [4] KUHAP) dan sesegera mungkin dihadapkan ke persidangan
sehingga ada kepastian hukum mengenai benar-salahnya atas tindak pidana
korupsi yang didakwakan.
Kasasi ke MA
Ketiga, terkait upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap
putusan praperadilan secara teoretis adalah kasasi
kepada MA. Argumentasinya, pemeriksaan dalam praperadilan belum masuk materi
pokok perkara. Jika hakim mengadili melampaui kewenangan atau mengadili tidak
berdasarkan aturan hukum yang berlaku, maka dapat dikoreksi oleh MA yang
bertindak sebagai judex juris.
Sayangnya, Pasal 45A Ayat (2) UU MA secara tegas menyatakan bahwa terhadap
putusan praperadilan tak dapat diajukan kasasi. Selanjutnya apakah putusan
praperadilan dapat diajukan peninjauan kembali?
Berdasarkan pemikiran yuridis yang logis sistematis, kiranya PK
terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan berdasarkan argumentasi
berikut: (1) legal standing untuk mengajukan PK hanyalah terpidana atau ahli
warisnya, sementara praperadilan belum ada terpidana. Lalu, (2) substansi
perkara yang dapat dimintakan PK hanyalah putusan berupa pemidanaan,
sementara putusan praperadilan sama sekali tidak menyangkut pokok perkara dan
tidak ada kaitannya dengan putusan berupa pemidanaan. Kemudian, (3) jika MA
menerima permohonan PK, putusan yang boleh dijatuhkan adalah putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan, tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum atau
menjatuhkan pidana yang lebih ringan. Hal ini berdasarkan asas reformatio in melius. Artinya, putusan
PK tidak boleh lebih berat dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar