Penegakan Hukum dan Demokrasi
Masdar Hilmy
; Wakil
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya
|
KOMPAS,
09 April 2015
Bahwa penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting bagi
kualitas demokrasi merupakan aksioma normatif yang tidak terbantahkan. Keduanya
ibarat dua sisi dari satu koin uang yang sama, tak dapat dipisahkan satu dari
yang lain. Penegakan hukum merupakan roh demokrasi. Begitu pula sebaliknya,
demokrasi menjadi tubuh bagi penegakan hukum. Namun, profil demokrasi dan
penegakan hukum seperti apa yang dibutuhkan, belum tentu menjadi pengetahuan
dan kesadaran bersama.
Dalam konteks ini, Guillermo O'Donnel (2004: 32) menegaskan,
tidak sembarang penegakan hukum dapat membuat demokrasi berkualitas.
Penegakan hukum yang dibutuhkan oleh demokrasi yang sehat adalah penegakan
hukum yang imparsial, impersonal, dan tidak tendensius. Penegakan hukum yang
demikian pada gilirannya akan menjamin terpeliharanya hak-hak politik warga,
kebebasan sipil, dan akuntabilitas publik yang dapat mengafirmasi
kesederajatan politik seluruh warga negara serta mencegah terjadinya
instrumentalisasi penegakan hukum.
Banalitas hukum
Bagaimana gambar penegakan hukum di negeri ini? Inilah inti
persoalan yang tengah kita hadapi. Panggung penegakan hukum kita belum
menggambarkan idealitas yang diinginkan bersama sekaligus belum berkontribusi
bagi pendewasaan demokrasi. Penegakan hukum kita masih tendensius, personal
(menyasar individu tertentu), dan parsial (mengabaikan rasa keadilan publik).
Tersua sekurangnya lima bentangan fakta berikut ini.
Fakta pertama adalah penegakan hukum yang tajam ke bawah, tetapi
rumpul ke atas. Pengadilan Asyani di
Situbondo dan pengadilan terhadap orang-orang lemah lain merefleksikan dengan
jelas akan hal ini. Di luar itu, ada banyak kasus besar yang merugikan
miliaran-bahkan triliunan-uang negara, tetapi nasibnya tidak jelas. Para
penjahat "kerah putih" banyak yang tak tersentuh hukum, bebas
melenggang, dan berleha-leha di luar negeri karena mampu "membeli" hukum.
Fakta kedua adalah penegakan hukum terhadap para pegiat anti
korupsi atas tuduhan petty crimes
(kejahatan remeh-temeh) yang terkesan dibuat-buat. Publik tidak bisa menutup
mata bahwa hukum tengah diinstrumentalisasi (diperalat) oleh segelintir orang
yang terusik kenyamanannya. Hal itu tentu saja menguntungkan para koruptor
kakap yang terlindungi kepentingannya. Para pegiat anti korupsi yang
semestinya didukung oleh para penegak hukum malah disisir terlebih dahulu.
Fenomena penegakan hukum semacam ini sungguh memprihatinkan dan melukai rasa
keadilan publik.
Fakta ketiga adalah drama terkabulnya permohonan praperadilan
Budi Gunawan (BG) yang menganulir status tersangka yang ditetapkan oleh KPK.
Sidang praperadilan semestinya tidak berwenang untuk membatalkan status
tersangka, tetapi menguji proses penangkapan dan perlakuan aparat terhadap
tersangka. Kasus "salah putus" oleh hakim Sarpin harus menjadi
pelajaran penting bagi penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi karena
hal itu akan menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi sekaligus
menstimulasi tindakan serupa oleh para tersangka lain. Jika hal tersebut
terjadi, "Kiamatlah Indonesia," ujar Syafii Maarif.
Keempat, terjadi konflik kewenangan (conflict of authority) dalam penanganan kasus korupsi antara KPK
dan Polri. Konflik kewenangan akan mengakibatkan kekacauan, kebingungan, dan
ketidakpercayaan publik kepada salah satu di antara keduanya atau bahkan
kedua-duanya. Oleh karena itu, perlu pendefinisian yang jelas dan tegas
tentang batas-batas kewenangan di antara keduanya, siapa menangani apa?
Adalah tidak realistis jika negara membebani Polri kewenangan
untuk menangani segala jenis kasus kejahatan. Raison d'etre pembentukan KPK (sesuai Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002) adalah karena korupsi diklasifikasikan sebagai extraordinary crime yang perlu
ditangani oleh sebuah lembaga khusus.
Kelima, wacana pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi.
Sekalipun baru sebatas wacana, gagasan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly
dikhawatirkan menjadi titik balik yang dapat menggoyahkan komitmen dan
integritas pemberantasan korupsi. Pemberian remisi justru akan mengembalikan
korupsi sebagai kejahatan biasa, bukan luar biasa. Karena itu, kasus korupsi
harus dikecualikan dari kasus-kasus kejahatan lain, terlebih kejahatan
"ecek-ecek." Pemberian remisi adalah langkah mundur, mendegradasi
dan mendevaluasi atas apa yang telah dirintis oleh Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dan Megawati Soekarnoputri.
Komitmen dan integritas
Mengawal demokrasi dan penegakan hukum meniscayakan komitmen dan
integritas penuh para pemimpin negeri ini, terutama Presiden dan jajarannya,
untuk melakukan langkah-langkah afirmasi dalam menegakkan keadilan substantif
(imparsial, impersonal, dan non-tendensius).
Seperti dijanjikan pada saat kampanye, Joko Widodo-Jusuf Kalla
berkomitmen "menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya"
(Nawacita poin 4). Jika Jokowi membiarkan bentangan fakta di atas, itu sama
artinya dia telah mengingkari komitmennya sendiri.
Sementara itu, integritas meniscayakan kekukuhan niat dan
kebulatan tekad untuk tetap mengawal demokrasi dengan melakukan pemberantasan
korupsi hingga ke akar-akarnya dan penegakan hukum yang adil dan bermartabat.
Kondisi apa pun semestinya tidak akan menggoyahkan tekad Jokowi
memberantas korupsi. Kualitas demokrasi dan penegakan hukum berada di tangan
Presiden, apakah Presiden membiarkan banalitas hukum terjadi di republik ini
ataukah dia mengambil langkah-langkah afirmasi untuk menyelamatkan marwah
penegakan hukum dan demokrasi?
Perseteruan KPK-Polri beberapa waktu lalu sedikit banyak
berpengaruh terhadap kinerja lembaga anti rasuah ini sekaligus dapat
memudarkan aura anti korupsi di negeri ini. Pernyataan "lempar
handuk" dalam penanganan kasus BG mengirimkan sinyalemen tereduksinya
otoritas KPK. Yang lebih ironis, energi KPK mengalami anti klimaks dengan
pelimpahan kasus BG ke Kejaksaan Agung. Jika tidak ada langkah afirmasi dari
Presiden, hampir pasti penegakan hukum hanya akan menyisir para individu atau
aktivis anti korupsi dan kasus-kasus remeh-temeh yang tidak menjadi perhatian
masyarakat luas.
Harus diakui, pendulum penegakan hukum setelah perseteruan
KPK-Polri tengah bergerak ke arah penggerusan aura anti korupsi dan penggelembungan
rasa percaya diri para koruptor. Tidak
pernah terjadi pada masa sebelum ini penurunan aura anti korupsi yang begitu
drastis. Padahal, penegakan hukum yang minimalis, personal, parsial, dan
tendensius dapat mereduksi komitmen dan integritas pemberantasan korupsi.
Jika ini yang terjadi, sungguh demokrasi kita mengalami involusi, mundur ke
belakang, dan tidak lebih baik daripada pemerintahan periode sebelum ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar