Pemblokiran Situs Radikal
Ulil Abshar-Abdalla
; Cendekiawan
Muslim
|
KOMPAS,
09 April 2015
Kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan
Informatika, memblokir situs-situs internet yang menyebarkan ideologi
radikalisme keagamaan menimbulkan pro
dan kontra.
Saat saya menulis esai ini, sejumlah situs yang dikenal karena
isinya yang keras dan radikal, seperti arrahmah.com, tidak bisa lagi diakses.
Konon ada 200-an situs yang ditengarai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
sebagai penyebar ideologi radikalisme dan jihadisme. Beberapa dari situs itu
sudah tidak bisa lagi dibuka oleh publik. Dengan kata lain, kebijakan
pemblokiran sudah berjalan saat ini.
Wacana pemblokiran itu sudah mengemuka di dalam diskusi publik
sejak lama. Tuntutan sejumlah kalangan dalam masyarakat untuk menutup
situs-situs radikal sudah lama kita dengar. Berdasarkan observasi saya, ada
sejumlah alasan yang muncul ke permukaan.
Ideologi radikal
Pertama, jelas, situs-situs ini menyebarkan ideologi keagamaan
yang radikal yang sama sekali jauh dari semangat Islam Indonesia yang moderat
dan toleran. Paham keagamaan yang radikal ini juga gampang melakukan
pengafiran (gejala yang kerap disebut sebagai takfiri) terhadap kelompok lain
yang berbeda pandangan.
Kedua, kelompok radikal ini kerap kali melakukan incitement atau
provokasi untuk bertindak kekerasan terhadap golongan lain, terutama kaum
minoritas. Pada kelompok yang sering disebut dengan jihadis, provokasi ini
tidak hanya diarahkan kepada golongan lain dalam masyarakat, tetapi juga
terhadap pemerintah.
Dalam wacana kaum jihadis, Pemerintah Indonesia dianggap sebagai
musuh Islam yang harus diperangi. Ini yang menjelaskan mengapa pihak
kepolisian selama ini menjadi sasaran kekerasan kelompok tersebut.
Pemerintah, di mata mereka, adalah semacam thaghut, representasi dari
kekuatan jahat yang melawan kebenaran Tuhan dan penerapan hukum Tuhan
(tathbiq al-syari'ah).
Ketiga, ideologi radikalisme ini sangat menekankan ideologi
jihad (secara harfiah artinya adalah "perang suci"). Jika di mata
mayoritas umat Islam jihad tidak semata-mata dipandang sebagai "perang
fisik", tetapi perang spiritual untuk mencapai kesempurnaan dan
penyucian diri (jihad al-nafs), di mata kaum jihadis, jihad dimaknai sebagai
perang dalam pengertian serangan fisik atas orang atau obyek yang dianggap
sebagai wakil dari kekuatan anti Tuhan. Dengan demikian, pengertian jihad
semacam ini bisa menimbulkan potensi ancaman keamanan bagi negara. Sudah
berkali-kali kita mengalami kekerasan dengan dasar paham jihad seperti ini
sejak tahun 2000-an.
Hal lain yang mencemaskan masyarakat adalah persebaran ideologi
radikal ini, terutama setelah munculnya isu Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) atau Daesh (istilah yang kerap dipakai di media Timur Tengah). Dengan
teknologi internet, radikalisme keagamaan mudah disebarkan melalui pelbagai
media sosial dan blog.
Walaupun sebagian besar umat Islam menolak ideologi NIIS sebagai
perversion atau penyimpangan pemahaman keagamaan, tak bisa kita mungkiri bahwa
sebagian kalangan anak muda bisa terjerembap dalam magnet ideologi ini.
Apalagi, anak-anak muda yang sedang "galau" secara keagamaan dan
ideologis: mereka bisa dengan mudah terpikat oleh daya tarik ideologi radikal
yang dikemas dengan bahasa agama (Islam) tersebut.
Harus hati-hati
Saya mendukung pemblokiran situs-situs radikal ini dengan
sejumlah catatan dan reserve. Paham mereka yang mengajarkan kekerasan, mudah
menghakimi kelompok lain yang berbeda (takfir), dan anti terhadap bentuk
negara nasional yang kita punyai saat ini (anti NKRI) jelas tak selaras
dengan cita-cita kita membangun sebuah negara yang melindungi semua golongan,
tanpa suatu diskriminasi.
Namun, kita juga harus hati-hati melihat masalah pemblokiran
ini. Kita bisa saja memberikan dukungan atas kebijakan itu, tetapi tetap
dengan sejumlah catatan kritis. Pemblokiran harus dilakukan dengan sangat
hati-hati. Wewenang pemblokiran, jika dilakukan tanpa suatu kontrol yang
ketat, bisa disalah-gunakan dan bisa diperluas sehingga menutup situs-situs
yang sebetulnya tidak layak diblokir.
Memberikan wewenang pemblokiran kepada instansi tertentu dalam
pemerintahan bisa menjadi "kuda troya" yang membuka ancaman
terhadap kebebasan berpendapat pada umumnya. Kita harus mencegah jangan
sampai efek kuda troya ini terjadi.
Saya ambil contoh kecil, yaitu pemblokiran situs-situs porno
yang dulu pernah dilakukan oleh Kominfo. Ini adalah kebijakan yang niscaya
setelah disahkannya UU Anti Pornografi No 44/2008. Artinya, kebijakan ini ada
payung hukumnya. Yang menarik, ada situs yang sama sekali tak ada kaitannya
dengan pornografi, tetapi diblokir dengan alasan pornografi. Inilah bentuk
penyalahgunaan wewenang pemblokiran yang seharusnya tak perlu terjadi. Saya
berharap gejala semacam ini tak terjadi dalam kasus pemblokiran situs radikal
saat ini.
Definisi radikal
Definisi "situs radikal" juga bukan hal yang mudah.
Bagaimana kita menggolongkan paham tertentu sebagai radikal atau tidak, bisa
membawa kita pada diskusi yang mungkin tak ada habis-habisnya. Istilah
"situs radikal" harus dimaknai secara terbatas dan sangat
hati-hati.
Akhirnya, prinsip utama dalam demokrasi tetap tak boleh
diabaikan: semua pihak berhak menyampaikan pandangannya mengenai masalah apa
saja, termasuk masalah keagamaan. Ini bagian dari freedom of speech yang
dijamin konstitusi kita.
Namun, saya tahu, dalam kasus situs radikal ini, ada dilema
antara dua hal: menjaga kebebasan berbicara dan menjaga keamanan publik.
Keduanya merupakan imperatif yang tak bisa kita abaikan.
Tentu kita harus mencari keseimbangan di antara dua imperatif
itu. Meski, saya juga tahu, tak mudah mencapai titik keseimbangan semacam
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar