Menghukum Hukum
Radhar Panca Dahana
; Budayawan
|
KOMPAS,
09 April 2015
Ketakutan saya selagi menyetir sendiri kian hari kian mencekam.
Belakangan saya makin cemas dengan kemungkinan menjadi pembunuh. Biarpun
tidak dikehendaki dan sama sekali tidak bersalah, konsekuensi yuridis,
ekonomis hingga sosial dan spiritual harus saya tanggung bahkan seumur hidup.
Hal itu terjadi hanya karena persoalan-yang semula insidental
bisa menjadi fenomenal-saat saya harus terkejut, deg-degan, marah atau
mengumpat dalam hati, ketika di hidung kendaraan saya muncul tiba-tiba (entah
dari gang, tikungan, atau menyalib dari belakang) sebuah motor yang
dikendarai seorang ibu (kadang tanpa helm) hampir tanpa perhitungan,
kewaspadaan, atau keahlian mengendalikan laju atau setang sepeda motornya.
Pemandangan seperti itu cukup sering kita melihatnya. Sebuah
motor entah dikendarai ayah atau ibunya, membonceng bisa lebih dua anak (plus
bayi digendong), di mana hanya orangtua yang berlindung kepala. Saya tidak
paham bagaimana orangtua itu memperhitungkan risiko kecelakaan dengan
membiarkan anaknya tanpa pelindung atau semacam pikiran "anak boleh mati
atau celaka yang penting orangtua tidak". Akal sehat sudah lenyap atau
diremehkan oleh masyarakat kita?
Yang lebih mengherankan dan membuat saya marah sebagai warga
sipil dari negara dengan supremasi hukum, apa yang terjadi dalam hati dan
kepala polisi yang juga menyaksikan hal itu setiap hari, bahkan melintas
rutin di markasnya yang ditempeli spanduk mentereng "Siap Melayani Rakyat".
Itu slogan, kebenaran hukum, moral, atau lip
service atau benar-benar dusta belaka?
Apa yang bisa dibanggakan polisi, sebagai penegak hukum dan
pemelihara keamanan, lalu memberikan hak pada mereka untuk menuntut otoritas
lebih tinggi atau anggaran lebih besar, ketika persoalan-persoalan hukum
seperti di atas, dari tingkat yang sepele hingga persoalan kebijakan nasional
tidak terselesaikan dengan baik, bahkan diremehkan atau dibiarkan? Di mana
hukum itu sendiri, ketika penegaknya sendiri-yang diwajibkan secara moral,
kultural dan konstitusional-tak memedulikan bahkan sebagian melecehkan atau
memanipulasi?
Ada apa dengan hukum, saat kasus Sengkon dan Karta berulang
tanpa henti? Ketika rakyat papa (seperti nenek Asyani terdakwa pencuri kayu,
Minah terdakwa pencuri kakao, dan banyak lainnya) dihukum karena kemiskinan
mereka, sementara pembesar berkelit dari korupsi miliaran rupiah karena kuasa
dan kekayaan mereka? Hukum apa yang berkoar memberikan hak (remisi) kepada
narapidana yang telah menjagal hak (hidup, sosial, kultural) ribuan orang
bahkan anak-anak masa depan kita?
Mengapa hukum yang kita junjung membiarkan hakim Sarpin
melanggar aturan yang harusnya ia jaga, menolak panggilan lembaga yang harus
dihormatinya? Kenapa hukum membiarkan polisi sebagai penegaknya,
mempergunakan hukum itu sendiri untuk show
of force, congkak dan arogan mendemonstrasikan kuasa korps dan
institusinya terhadap korps dan institusi lain?
Di mana negara yang berbasis hukum ini memainkan peran dan
hukumnya sendiri? Mengapa ada institusi bagian bisa menentang pusat pimpinan,
menjadikannya tak tersentuh dan membuatnya menjadi "negara dalam
negara"? Hukum seperti apa yang berlaku di negeri ini, ketika para
penyusun dan pembuatnya sendiri seenaknya memanipulasi pasal-pasal, memproduksi
regulasi yang menguntungkan kantong sendiri atau kepentingan lain, bahkan
pihak asing yang memiliki niat jahat hampir tanpa selubung? Sistem hukum apa
ini ketika ia dengan mudah dipermainkan oleh eksekutif dan legislatif,
lembaga-lembaga tinggi yang paling bertanggung jawab atas hal itu berkelahi
sendiri, meninggalkan rakyat dalam ketidakpastian aturan atau anggaran?
Apa yang terjadi pada hukum kita?
Arus alternatif
Saya tidak mampu, tepatnya harus putus asa, melempar
pertanyaan-pertanyaan di atas kepada mereka, aparatus hukum independen, baik
yang tergolong pemikir, peneliti-akademisi, praktisi, atau aktivis pembela
hukum-apalagi, tentu saja, para penegak atau produsen hukum konstitusional
yang realitasnya tergambar di atas-ketika menjumpai mereka pun sibuk
berteriak juga beretorika dengan paradigma dan landasan pragmatis yang sama
dengan yang mereka teriaki.
Mengapa, selain persoalan-persoalan praktis-pragmatis bahkan
oportunistis yang belakangan menjadi ritme dasar diskursus hukum kita, tidak
ada tinjauan idealistik, semacam renungan kecil: untuk apa sebenarnya hukum
itu ada jika dalam praksisnya terjadi hal-hal menggiriskan di atas? Dari mana
sesungguhnya asal muasal hukum yang kita tegakkan saat ini? Apa filosofi,
ideologi atau realitas sosio-kultural yang melatari dasar hukum kita saat
ini? Bagaimana seharusnya hukum harus dikembangkan di masa depan? Apa peran,
posisi dan fungsinya yang lebih tepat dengan realitas mutakhir kita?
Di mana semua pembicaraan itu? Adakah diskursus itu? Jika ada,
kenapa ia tidak bisa menjadi alternative-stream
di samping mainstream yang ada? Apakah mereka, semua yang terlibat dalam
masalah ini, tidak lagi membutuhkan semua hal diskursif atau praksis dari
hukum yang idealistik itu karena kuasa, uang, selebrasi dan popularitas-sebagai
mantra hedonisme modern-jauh lebih menarik ketimbang kecerewetan intelektual
dan spiritual yang ideal itu?
Saya tak berhak membuat klaim atau judgement karena saya
bukanlah aparatus legal dalam pusaran yuridis itu. Namun, saya adalah juga pihak
yang terlibat, baik secara historis, sosial, moral dan kultural. Setidaknya
saya adalah korban potensial yang bisa saja, kapan saja, menjadi obyek
yuridis entah karena menjadi "pembunuh tidak sengaja" atau
dikriminalisasi oleh satu pihak.
Secara moral-kultural saya berhak dan harus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan itu dan berhak mendapatkan jawabannya, yang serius dan
bertanggung jawab. Karena mereka semua ternyata juga menggunakan fasilitas,
prasarana bahkan anggaran negara (yang sebagian adalah iuran dari pajak
keringat, air mata dan darah saya sebagai bagian dari rakyat semesta).
Karena itu, jika saya sebagai warga harus loyal dan patuh pada
hukum, bahkan menjunjung posisinya yang suprematif, saya dengan keras
mempertanyakan hukum apa ini, yang berlaku atas badan, pikiran dan jiwa saya
ini, begitu mudah dipermainkan, dimanipulasi atau dijadikan kuda beban dan
tunggangan segelintir orang? Mengapa hukum begitu mudah dijadikan arsenal
untuk menghabisi orang lain, menghina institusi, bahkan negara dan kepala
negaranya sendiri? Mengapa hukum yang semestinya menjadi penyelesai akhir
semua masalah negara dan kemasyarakatan, tetapi justru kini menjadi masalah
besar bagi dua entitas besar di mana kita di dalamnya itu?
Lalu apa yang bisa kita perbuat pada hukum seperti itu? Apabila
hukum itu sendiri menjadi masalah dan hukum itu sendiri tidak memiliki
mekanisme atau epistemologi untuk mengoreksi dirinya sendiri? Tidak lain,
hukum harus dihukum. Sebagai bangsa kita harus mencari, apa pun yang dalam
diri kita, kekuatan yang mampu memberikan sanksi atau hukuman bagi hukum yang
tetapkan dan praktikkan sekarang ini.
Sumber hukum lain
Mungkin sebelum sejauh itu, baik bagi kita bersama untuk
merenungkan sebuah kemungkinan-tepatnya tuntutan-bagaimana hukum apa pun yang
harus atau "tak terhindarkan" ditegakkan di negeri ini, semestinya
mengacu pada kenyataan faktual dan natural dari sejarah, adat, kebudayaan
bahkan agama yang ada di tanah lahir ini. Artinya, secara imperatif seluruh
produk hukum kita, baik konstitusi atau turunannya dalam KUHAP dan lain-lain,
tidak bisa lagi mengacu pada basis historis, filosofis atau ideologis yang
bukan atau tidak ada dalam diri kita sendiri. Entah itu yang bernama
Anglo-Saxon atau Eropa Kontinental, apalagi kolonial.
Betapapun, kita dengan mudah mafhum, latar-latar di atas
berkaitan dengan kepentingan dan perjalanan peradaban di mana sebuah produk
hukum dilahirkan. Inggris, Jerman, Perancis, Belanda atau negeri kontinental
mana pun memiliki latar yang tidak sama jika tidak bisa dikatakan berbeda
bahkan diametral, dengan apa yang kita punya.
Sebagai warga sebuah bangsa yang terdiri dari ratusan (suku)
bangsa dengan riwayat kebudayaannya masing-masing yang begitu (dan terlalu)
kaya itu, selaiknya kita memberikan respek pada khazanah atau sejarah hukum
(aturan) yang ada di setiap (suku) bangsa itu. Bukan saja karena sejarah
ribuan tahun dari (suku-suku) bangsa itu telah membuktikan keampuhan dan
kekenyalan produk hukumnya sehingga mampu bertahan melewati abad, milenia,
dan zaman penuh pancaroba, melainkan juga karena sebenarnya tradisi atau
kebudayaan hukum itu "diri kita", jati diri kita juga sesungguhnya.
Namun, apakah ribuan khazanah luar biasa itu pernah menjadi
pertimbangan dalam penyusunan regulasi atau tata hukum nasional kita? Tanyalah
pada diri sendiri, komunitas hukum juga, adakah ahli-ahli hukum adat (yang
bahkan pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki cukup banyak) yang kini
cukup berwibawa, memiliki otoritas tinggi, pendapatnya didengar dan
memengaruhi dan diminta pertimbangannya dalam setiap penyusunan UU atau
regulasi apa pun? Adakah jurusan Hukum Adat dalam fakultas-fakultas hukum di
seluruh negeri ini?
Jika tidak negatif, jawabannya pastilah sangat minor. Sekian
lama hal ini terjadi, tetapi tidak pernah dianggap atau dirasakan sebagai
lack atau kesenjangan, semacam kekosongan atau kealpaan, dari diri kita
bersama, terutama para penegak hukum. Belum lagi kita persoalkan hukum agama,
Islam misalnya (syariah), yang sudah berurat berakar dalam tata kehidupan
nasional kita. Tentu saja, tidak perlu kita menerapkan syariah sebagai hukum
formal-legal, sebagaimana di Aceh atau di beberapa negara lain. Namun, apakah
tidak ada hal positif dari syariah yang dapat menjadi masukan atau bagian
dari tata hukum atau sistem regulasi kita?
Ini menjadi jawaban bagi counter-critic
bahwa penolakan hukum Eropa bukanlah satu bentuk xenofobia. Namun, bisa juga diserap kebaikannya yang cocok dengan
realitas faktual kita, tanpa harus jadi acuan utama atau dijiplak apalagi
melulu menjadi replikanya.
Sudah saatnya, ketika kita masih memegang slogan kontinental
itu, "supremasi hukum" itu, kita tetap harus berani memperjuangkan
kedaulatan negeri dan bangsa atas persoalan ini. Artinya, Trisakti Soekarno
tidak akan bisa berjalan jika tidak ditambah dengan kedaulatan hukum berbasis
realitas historis dan kultural kita sendiri. Apa pun yang akan kita
perjuangkan untuk tegaknya kemandirian ekonomi, politik, atau kebudayaan,
akan selalu runtuh karena dihancurkan oleh hukum yang ternyata tidak mampu menjaga
kewenangan dan kehormatannya sendiri, seperti terjadi belakangan ini.
Tak ada pihak yang tidak berkepentingan dalam hal ini. Karena
semua warga, jika tidak subyek adalah obyek hukum. Di antara semua itu, tidak
lain para pelaksana, penjaga atau penegak hukum adalah aktor utama, ketika
pemerintah (kekuasaan yang diamanahkan rakyat) khususnya kepala negara,
menjadi pemeran utama dalam drama yuridis yang berdurasi tidak pendek ini.
Namun, siapa yang berani memulai? Jawablah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar