Nawacita Tak Bertuan
Adnan Topan Husodo
; Koordinator
ICW
|
KOMPAS,
09 April 2015
Salah satu daya pikat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat
kampanye pemilu presiden lalu adalah janji mereka membangun Indonesia yang
berdaulat, mandiri, dan memiliki pribadi yang kuat sebagai bangsa.
Janji kampanye itu dikemas dalam dokumen setebal 24 halaman
dengan nama Nawacita atau sembilan cita-cita utama. Salah satu program aksi
utamanya adalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Disebutkan lebih lanjut, salah satu masalah utama bangsa
Indonesia yang menghambat kemajuan adalah wibawa negara yang rendah karena
tidak mampu menegakkan hukum. Tulisan ini coba mengkritisi spirit dari
program aksi Nawacita pada sektor penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
dengan mengacu pada kenyataan politik-hukum yang ada.
Tentu saja, melakukan kritik atas program aksi jangka panjang
Nawacita pada saat pemerintahan berkuasa baru berjalan dalam hitungan bulan
bisa dianggap tidak adil. Namun, strategi pengelolaan kekuasaan, kualitas
kepemimpinan, dan keberanian Presiden dan Wakil Presiden terpilih selama
periode berkuasanya dapat menjadi patokan akan ke mana nasib penegakan hukum
dan pemberantasan korupsi berakhir, apakah akan kembali mundur beberapa
langkah, bertahan, ataukah melesat jauh untuk merealisasikan mimpi Nawacita
itu.
Rapuhnya kuasa Presiden
Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial seperti di
Indonesia idealnya memiliki kekuasaan besar untuk mengendalikan, mengontrol,
dan menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk menggapai tujuan. Namun,
kenyataan politik sering mengecohnya.
Jokowi dalam periode awal pemerintahan tampak gagap menggunakan
otoritas yang dimilikinya, terganggu oleh berbagai manuver politik
lingkarannya sendiri, dan terbelenggu jejaring kepentingan ekonomi-politik
yang tersambung dengan kepentingan elite penegak hukum. Akibatnya, salah satu
lembaga negara yang lahir dari semangat reformasi, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), lumpuh dalam hitungan bulan sejak Jokowi berkuasa.
Para pendukung KPK pun satu per satu mengalami situasi yang
paling pahit, di era di mana publik semestinya dapat berharap lebih kepada
Jokowi-Kalla daripada penguasa sebelumnya.
Penegakan hukum yang saat ini tengah berjalan tampak seperti
zombie yang tidak memiliki jiwa, terutama jiwa keadilan. Motif politis lebih
kental mengendalikan aksi penegakan hukum dibandingkan dengan cita-cita luhur
untuk memastikan hadirnya negara dalam memberikan perlindungan dan rasa aman
bagi warganya.
Teror oleh negara dalam bentuk kesewenang-wenangan penegak hukum
untuk membungkam daya kritis publik dalam melawan korupsi dan melumpuhkan
berbagai institusi kuasi negara yang menjadi ciri utama dari negara demokrasi
modern justru dilakukan atas nama penegakan hukum. Modus operandi yang
digunakan secara logis dapat dicerna dengan mudah oleh masyarakat awam
sekalipun.
Membabi buta
Merencanakan aksi penegakkan hukum dengan membabi buta melalui
berbagai elemen pendukung yang mendapat akses luas untuk melaporkan
pihak-pihak yang disasar demi pembalasan dendam berjalan dengan sangat rapi
dan leluasa.
Titah Jokowi untuk menghentikan semua bentuk kriminalisasi tak
mampu menembus telinga dan nurani penegak hukum. Sebab, pada saat yang sama,
suara Presiden dan wakilnya tidak pada frekuensi yang sama.
Dalam politik Indonesia,
banyak anomali terjadi. Presiden, karena bukan ketua umum partai politik, tak
sanggup mengendalikan partainya sendiri. Alih-alih memberikan dukungan
politik, justru partai yang mengusung Jokowi menjadi presiden menggembosi dan
menggerogoti wibawa Presiden dengan pemicu sederhana: karena
"gula-gula" yang diminta tak diberikan.
Presiden yang bukan ketua umum parpol, setinggi apa pun derajat
dan kekuasaannya, tetap petugas partai. Pada saat yang sama, ada titik temu
kepentingan karena elite partai, pengacara kotor, pengusaha korup, dan elite
penegak hukum yang selama ini menikmati kekuasaan dan hidup senang dalam
sistem yang korup harus diadili oleh KPK.
Mereka sadar bahwa KPK adalah kekuasaan lain yang dapat
mengancam keberlangsungan sistem kemaruk yang sering disebut oligarki. Dalam
realitas politik seperti ini, masih dapatkah kita bermimpi untuk mewujudkan
koalisi politik tanpa bagi-bagi kursi?
Sepertinya ide untuk memisahkan jabatan politik dengan jabatan
publik untuk menghindari konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan
belum dapat berjalan dalam konteks Indonesia. Untuk bisa berkuasa dan kuat,
seorang presiden tampaknya perlu secara langsung mengendalikan partai.
SBY versus Jokowi
Refleksinya ada pada mantan Presiden SBY dan Jokowi sekarang.
Mereka berdua memiliki masalah yang hampir sama dalam isu penegakan hukum.
Pada era SBY, kriminalisasi terhadap KPK terjadi, tetapi tidak sampai
merembet hingga kepada para pendukungnya.
Kekuasaan SBY yang berlapis, yakni sebagai Presiden sekaligus
Ketua Umum Partai Demokrat, memberinya ruang yang lebih besar untuk
menyelesaikan kriminalisasi dengan lebih cepat. Sebab, pada saat yang sama,
kursi Demokrat di parlemen juga cukup besar sehingga dapat mengamankan
keputusan yang diambilnya.
Jokowi berada pada situasi yang berbeda. Ia bukan Ketua Umum
PDI-P. Komposisi kekuasaan di parlemen relatif lebih berat bobotnya sebagai
oposisi kepada dirinya, meskipun bukan sesuatu yang permanen, sehingga
memberikan beban dan tekanan yang lebih besar.
Kemampuan, kemahiran, dan kematangan dalam politik pada akhirnya
akan menentukan bagaimana negosiasi politik terbangun, khususnya demi
kepentingan publik yang luas.
Masyarakat tentu tidak mau tahu apa yang menjadi hambatan
Presiden dalam mengusung agenda perubahan. Masyarakat hanya tahu bahwa
sebagian besar dari mereka, karena semangat kerelawanannya yang tinggi, telah
mengantarkan Jokowi sebagai presiden.
Wujudkan Nawacita
Tugas selanjutnya berada sepenuhnya di tangan Presiden untuk
mewujudkan Nawacita sebagai program aksi yang memukau banyak pemilih. Ketika
KPK dan para pendukungnya dikriminalisasi, tentu sulit bagi siapa pun untuk
tidak mengarahkan telunjuk kepada Presiden sebagai aktor yang paling
bertanggung jawab menghentikannya. Hal ini perlu kita kembalikan pada aksioma
bahwa Presiden adalah penguasa tertinggi di republik ini.
Realitas politik nasional dengan berbagai cabang kekuasaan yang
telah membangun jejaring oligarki adalah masalah pokok bangsa ini menuju
perubahan. Hal ini yang luput diidentifikasi dalam Nawacita.
Absennya negara untuk melindungi warganya, lemahnya sendi
perekonomian bangsa, dan krisis kepribadian bangsa adalah akibat dari
pengelolaan kekuasaan negara yang hanya berpusat pada kepentingan segelintir
orang, yang menemukan titik temu dengan kepentingan pemodal.
Saat ini, bisa dikatakan bahwa satu-satunya yang dimiliki
Presiden adalah dukungan publik yang relatif masih kuat. Jokowi tampaknya
perlu menggerakkan lagi semangat kerja relawan dan berbagai elemen
pendukungnya yang tidak berharap imbal jasa dengan memberikan ruang
komunikasi politik yang lebih intens dengan mereka sekaligus bersikap lebih
terbuka atas apa yang dihadapinya.
Jati diri Jokowi ada pada mereka yang tertindas, dimiskinkan,
dianiaya, dan dikriminalisasi, bukan pada elite politik-bisnis yang berselingkuh
dengan aparat penegak hukum.
Nasib Nawacita dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
tentu saja akan banyak ditentukan oleh sikap Jokowi sebagai presiden. Publik
tentu ingin melihat bahwa Nawacita memiliki harapan untuk tetap hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar