Sabtu, 11 April 2015

Pangan Kita

Pangan Kita

Rhenald Kasali ;  Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 09 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Mari kita bicara tentang makanan– yang nanti kita perluas bahasannya dengan isu pangan. Jangan pandang remeh soal makanan. Sudah banyak cerita tentang konflik yang akhirnya bisa selesai di meja makan. Kata novelis asal Ceko, Franz Kafka, ”So long as you have food in your mouth, you have solved all questions for the time being.” Dalam dunia bisnis, kesepakatan yang dihasilkan di meja makan tak kalah banyaknya dengan yang dihasilkan di lapangan golf.

Betapa pentingnya makanan mungkin tercermin dari begitu banyaknya ungkapan inspiratif tentang ini. Kata Louise Fresco, petinggi di Unilever Global, ”Food, in the end, in our own tradition, is something holy. It’s not about nutrients and calories. It’s about sharing. It’s about honesty. It’s about identity.” Itu sebabnya pemerintahan yang kuat selalu memperhatikan pangan.

Kalau rakyatnya kenyang, negaranya aman. Demikian pula sebaliknya. Pangan sarat dengan isu politik, apalagi bila pupuk subsidi dan benih dibiarkan jadi mainan para broker, tim sukses bupati, para penguasa lokal yang berlindung di balik kekuatan partai politik seperti yang terjadi dewasa ini. Kita benar-benar bakalan repot besar.

We are What We Eat

Di lain pihak, kita juga bisa menemukan ungkapan yang lain. Misalnya, ”You are what you eat.” Atau, ”Every food has its own story.” Ungkapan-ungkapan tadi menegaskan bahwa makanan adalah identitas, tak lepas dari unsur sejarah dan budaya. Dalam makanan, kita bisa mengenali akar-akar sejarah dan budaya suatu bangsa.

Sebagai bukti, saya mau menyebut satu contoh saja: rendang. Sebagian besar kita pasti suka rendang. Siapa yang tidak? Buat Anda yang sering bepergian ke luar negeri untuk waktu lama akan merasakan betapa rindunya kita dengan rendang. Dalam rendang bertimbun kisah.

Konon kabarnya rendang berkembang sejak awal abad ke-16. Makanan ini diracik dan disebarluaskan oleh orang-orang Minang. Anda tentu tahu bahwa masyarakat Minang adalah masyarakat perantau. Dahulu mereka kerap merantau hingga Selat Malaka dan bahkan Singapura.

Perjalanan ke sana tentu memakan waktu sampai berhari-hari. Bahkan bisa bermingguminggu. Mereka berangkat dari desanya, berjalan menembus hutan, menaiki bukit, menyeberangi sungai, dan mengarungi lautan. Selama merantau mereka membawa bekal. Salah satu bekal yang cocok untuk merantau adalah rendang.

Mengapa? Sebab rendang kering adalah makanan yang tahan lama, bisa disimpan hingga berminggu-minggu. Kini kita bisa dengan mudah menemukan jejak rendang di restoran-restoran Padang yang tersebar di seantero wilayah Indonesia. Di luar negeri sekalipun kita masih bisa menemukan restoran Padang dengan menu khasnya, rendang.

 Restoran Padang ada di mana-mana, kecuali di Padang itu sendiri. Bicara soal identitas ini hampir setiap daerah punya identitas makanan khasnya. Silakan terka nama-nama makanan ini sebagai identitas dari daerah mana saja: ikan kayu, Pli-U, empeempe, tempoyak, ayam tangkap, nasi jamblang, amplang, sayur paku, Es Palubutung, klapertaart, papeda, sayur asem, nasi uduk, gudek, pecel lele, rujak cingur, dan seterusnya.

Impor Pangan

Kalau di negara kita ada rendang, dinegara-negaraBaratsana ada steak. Rendang dan steak sejatinya memakai bahan dasar yang sama yakni daging sapi. Hanya yang satu kesannya tampil lebih merakyat, satunya lagi seakan- akan menjadi hidangan prestius.

Bahkan menjadi hidangan utama dalam acara-acara fine dining. Mungkin itu sebabnya harganya pun berbeda. Rendang lebih murah ketimbang steak. Baiklah sekarang kita perluas ke isu pangan. Baik rendang maupun steak sama-sama membutuhkan garam. Juga makanan lainnya.

Apa rasanya makanan tanpa garam? Hambar. Semua makanan membutuhkan garam. Sayangnya, Indonesia yang memiliki panjang pantai 95.181 kilometer atau terpanjang ke-4 di dunia–setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia–ternyata malah kekurangan garam.

Hampir setiap bulan kita mengimpor garam. Februari 2015, misalnya, kita mengimpor 101.622 ton garam atau melonjak 270% dibanding pada Januari. Impor garam kita terbesar datang dari Australia, lalu sedikit dari Singapura, India, dan beberapa negara lainnya.

Mengapa kita masih mengimpor garam? Kita sesungguhnya punya BUMN yang mengurusi soal garam yakni PT Garam. Sayangnya, perusahaan ini tidak kita urus dengan benar. Direksinya ribut dengan DPR. Lalu, dari luas lahan produksi yang 5.500 hektare di Madura, sebanyak 85%-nya merupakan lahan tidur. Jadi kita tidak bisa menghasilkan garam sesuai kebutuhan.

Maka itu, terpaksa kita mengimpor. Bukan hanya garam, kita juga mengimpor teh. Februari lalu impornya mencapai USD1,8 juta. Selama 3-4 tahun belakangan ini impor teh kita naik 15%-20% per tahun. Teh impor itu kita datangkan dari Vietnam, Kenya, Srilanka, Iran, Jepang dan beberapa negara lainnya.

Soal teh ini kita pantas risau sebab peningkatan impor terjadi karena produksi kita yang menurun. Kita pernah menjadi produsen teh kelima terbesar di dunia, tapi kini turun ke peringkat ketujuh. Penurunan produksi terjadi karena luas lahan perkebunan teh, terutama perkebunan rakyat, terus menurun.

Selama sekitar sepuluh tahun terakhir sekitar 30.000 hektare kebun teh rakyat beralih menjadi lahan pertanian tanaman hortikultura. Bukan hanya garam dan teh, daftar impor produk pangan kita selama beberapa tahun belakangan juga terus bertambah.

Bukan hanya komoditasnya, melainkan juga volume dan nilainya. Kita negara agraris, tetapi setiap tahun masih saja mengimpor beras. Kita juga mengimpor gula, kopi, kedelai, jagung, bawang, cabai, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Kita juga masih mengimpor protein. Kita impor sapi bakalan, sapi siap potong, sampai daging sapi.

Sebentar lagi menjelang Lebaran, impor daging sapi bakal meningkat gila-gilaan. Negara kita dua per tiga wilayahnya terdiri dari lautan. Namun, ternyata kita masih mengimpor ikan, baik ikan beku maupun ikan segar. Ikan-ikan itu kita impor dari China, Thailand, Malaysia, dan Norwegia (khusus untuk ikan salmon).

Salah Urus

Mengapa impor pangan kita terus meningkat? Saya merasa ada yang salah urus di negara kita. Bayangkan, laut kita luas dan kita adalah negara penghasil ikan kedua terbesar di dunia, setelah China. Tapi, mengapa nelayan-nelayan kita selama bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan.

Akibatnya, tak ada anak nelayan yang ingin menjadi nelayan. Kecuali terpaksa. Kita juga negara agraris. Namun, karena para petani kita hidup dalam kemiskinan, tak ada anak-anak muda yang tertarik untuk menjadi petani. Kecuali terpaksa. Miskinnya nelayan kita dan petani kita adalah akibat salah urus.

Soal garam misalnya Anda pernah dengar bukan istilah mafia garam. Juga mafia-mafia lainnya seperti mafia bawang, mafia gula, mafia ikan, dan sebagainya. Di dunia ini tidak ada negara miskin atau terbelakang, yang ada adalah negara yang salah urus. Mafia-mafia tadi adalah potret negara yang salah urus.

Saya punya kawan yang orang tuanya bergerak di sektor pangan, tapi entah mengapa putranya justru lebih tertarik ikut saya urus sektor sosial. Berminggu-minggu ia tinggal di rumah-rumah petani agar tahu masalah yang dihadapi petani. Akhirnya dia tahu persis mengapa petani enggan urus pertanian lagi. Ini jawabannya dan ini pula solusinya.

Dua masalah yang ia sorot itu adalah mata rantai yang panjang dan mafia pupuk yang dikuasai oleh oknum pejabat pemerintah atau politisi. Dua hal itulah yang membuat biaya input para petani menjadi sangat tinggi, sementara jualnya pun kembali pada jalur yang panjang sehingga nilai jualnya sangat rendah, ditambah ketidakpastian yang tinggi.

Solusinya ternyata tidak sulit-sulit amat: potong mata rantainya, tingkatkan penghasilan petani dengan cara mengembalikan margin yang dinikmati para pemburu rente dan tengkulak, serta kembalikan subsidi kepada petani secara langsung. Saya percaya pemerintah kita tak ingin nelayan dan petaninya hidup dalam kemiskinan.

Sayangnya, upaya untuk membenahi masalah-masalah pertanian dan perikanan kita, juga masalah-masalah pangan lainnya, terasa kurang greget. Anak muda tadi sudah bicara dengan para dirjen, bupati, sekda, dan seterusnya. Tapi, hasilnya nihil. Saya berpikir, jangan-jangan ia bicara pada orang yang salah.

Atau jangan-jangan mereka itulah pelaku penikmat subsidi yang justru harus dilawan. Ketika kita ingin pemerintah serius mengurus masalah ini, mereka malah sibuk dengan urusan uang muka kendaraan para petinggi negeri, rebutan kursi di parlemen, memasang jerat pada penguasa, dan seterusnya.

Ketika kita ingin bersama-sama memerangi korupsi, pemerintah malah membiarkan kepolisian dan KPK bertengkar. Mudah-mudahan ini hanya sementara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar