Mengamankan
Produksi Migas Blok Mahakam
Andang Bachtiar ; Anggota Dewan Energi Nasional
|
KORAN TEMPO, 17 April 2015
Di DPR, Rabu (8 April) lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Sudirman Said telah menyampaikan bahwa draf head of agreement
(HoA) Pertamina, Total, dan Inpex sebagai payung hukum bagi proses transisi
pengelolaan Blok Mahakam akan segera ditandatangani. Salah satu poin penting
yang perlu secara tegas diatur dalam HoA tersebut adalah klausul yang dapat
memastikan bahwa selama masa transisi dapat dilakukan langkah-langkah
strategis yang dapat memastikan bahwa selama masa ini tidak terjadi penurunan
produksi migas karena tidak adanya investasi dan upaya untuk menjaga
kelangsungan produksi pada saat akhir masa kontrak.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, terdapat kekhawatiran bahwa,
selama masa transisi, kontraktor Blok Mahakam saat ini, yaitu Total dan
Inpex, tidak melakukan investasi pada akhir masa kontrak mereka sehingga
stabilitas produksi di Blok Mahakam terganggu. Bila kekhawatiran tersebut
terbukti, dibutuhkan waktu 5-8 tahun lagi untuk menaikkan produksi yang
tentunya akan berdampak negatif terhadap ketahanan energi nasional.
Terlepas dari keyakinan Menteri ESDM bahwa Total dan Inpex tidak
akan mengorbankan reputasi mereka dengan tidak memastikan stabilitas
produksi, tapi bila di dalam kontrak belum terdapat kejelasan tentang
tanggung jawab operator dalam masa transisi, pemerintah perlu melakukan
terobosan hukum demi menjamin ketahanan energi nasional. Terobosan tersebut
perlu menjadi salah satu poin yang secara tegas diletakkan di dalam HoA.
Tentunya terobosan hukum dalam hal ini sangat berbeda dengan
kasus "nasionalisasi" migas Venezuela oleh pemerintah Chavez yang
"memaksa" perubahan kepemilikan saham utama dalam penguasaan blok,
sehingga dianggap merugikan sebagian besar pemain migas utama di negara
tersebut.
Dalam konteks Indonesia, terobosan hukum yang diusulkan hanya
dalam rangka memastikan bahwa kontraktor menjalankan kewajibannya sesuai
dengan asas kepatutan. Hal ini tentunya tidak akan merugikan operator, karena
tidak ada hak mereka yang diambil. Negara hanya memastikan bahwa kewajiban
operator dijalankan secara patut, sehingga jumlah produksi dalam masa akhir
kontrak tidak terganggu akibat keengganan operator untuk berinvestasi,
mengingat mereka tidak lagi melanjutkan kontrak yang ada.
Bila belum diatur secara tegas, terobosan hukum yang diusulkan
dapat mempertimbangkan dua opsi berikut demi menjamin stabilitas produksi
pada masa transisi.
Opsi pertama adalah memastikan operator saat ini menjalankan
tugasnya dengan baik. Seperti yang pernah disampaikan oleh Kepala Unit
Pengendali Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Widyawan
Prawiraadja, bahwa Total memiliki beberapa kewajiban, antara lain melaksanakan
rencana yang telah dirancang dalam rencana kerja dan anggaran hingga
berakhirnya masa kontrak.
Peran pemerintah dalam hal ini secara tegas dapat dimasukkan ke
HoA, yaitu memastikan rencana kerja yang dimaksud dilakukan secara konsisten.
Dalam hal ini, perlu kiranya pemerintah memberikan informasi kepada publik
ihwal kewajiban-kewajiban apa yang dimiliki oleh operator pada masa transisi,
sehingga tidak timbul prasangka negatif terhadap operator.
Tentunya kedua perusahaan transnasional tersebut memiliki
reputasi yang perlu dijaga, sehingga terbukanya informasi ini penting pula
bagi mereka dalam rangka mempertanggungjawabkan reputasi mereka. Di sisi
lain, publik dapat turut membantu memantau sejauh mana seluruh kewajiban yang
ada hingga akhir masa kontrak telah dijalankan secara utuh.
Bila ternyata kontrak tidak secara tegas mewajibkan investasi
selama masa akhir kontrak, opsi lain yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi
bagian dari HoA adalah memberikan peluang bagi Pertamina sebagai pihak yang
akan mengambil alih fungsi sebagai operator untuk mulai terlibat di dalam
proses produksi.
Untuk opsi ini, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto pernah
menyampaikan bahwa Pertamina memerlukan investasi dan untuk itu tidak
tertutup kemungkinan investasi berasal dari kerja sama dengan pihak lain. Hal
ini nantinya perlu dibicarakan secara lebih teknis, sehingga tujuan akhir,
yaitu mengamankan produksi migas nasional, tetap tercapai.
Penanganan yang tepat dalam kasus Blok Mahakam menjadi sangat
krusial, mengingat dalam kurun 2015-2020, selain Blok Mahakam, terdapat 22
blok produksi migas lainnya yang juga akan habis masa kontraknya dengan
operator yang ada saat ini.
Ke depannya, seluruh kontrak harus belajar dari kasus ini dan
memberi perhatian khusus pada masa transisi peralihan operator. Jika
pemerintah mengambil langkah-langkah yang tepat, kekhawatiran akan penurunan
produksi setelah berakhirnya kontrak tentunya tidak perlu terjadi.
Akhirnya, pemerintah perlu secara terbuka menyampaikan persoalan
yang ada terkait dengan masa transisi pengelolaan blok-blok migas, opsi-opsi
yang dimiliki, serta alasan keputusan yang akhirnya diambil. Akuntabilitas
pemerintah sebagai pengelola sumber daya alam penting, seperti migas, kepada
masyarakat sebagai pemiliknya adalah suatu hal yang diwajibkan oleh
konstitusi dan tidak dapat diabaikan.
Dengan demikian, kekhawatiran berbagai pihak, termasuk dari
pemerintah sendiri, terhadap kesiapan Indonesia mengambil alih operatorship
Blok Mahakam maupun blok-blok produksi migas lainnya dalam lima tahun ke
depan adalah kekhawatiran yang salah. Ini hanya karena ketidaktahuan akan
proses yang terjadi dan implikasi hukum dari kontrak PSC selama ini yang
memungkinkan teknologi dan SDM yang sudah ada itu bisa dikuasai oleh
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar