Sabtu, 18 April 2015

Antara ”Trah” dan ”Trek”

Antara ”Trah” dan ”Trek”

Tri Marhaeni P Astuti  ;  Guru Besar Antropologi, Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”TRAH”, trek, ”balungan”; istilah-istilah ini lekat dalam pemahaman awam ketika menilai tentang jalur ”nasib” seseorang. Nah, lalu bagaimana kita membaca sebuah hasil survei sebelum Kongres IV PDIP di Denpasar, pekan kemarin? Hasil survei tersebut memosisikan Presiden Joko Widodo lebih dikehendaki untuk memimpin PDIP dibanding trah Soekarno, dalam hal ini adalah Megawati Soekarnoputri.

Ini tentu menarik sebagai bahan kajian. Dalam realitas politik yang menjadi opini, Megawati disebut-sebut masih dikehendaki oleh internal PDIP sebagai figur pemersatu.

Adapun Jokowi disimbolkan sebagai sosok muda yang bisa diusung sebagai magnet PDIPke depan. Namun soal daya tarik itu tentu masih bisa diperdebatkan karena sebagian dari faktor tersebut juga bisa melekat pada figur yang dilekati oleh modal biologis atau keturunan.

Dalam konteks sosio kultural PDIP, Jokowi tentu ”diperbandingkan” dengan Puan Maharani dan Muhammad Prananda. Maka pro-kontra trah versus trek dalam wacana kepemimpinan akan selalu menjadi isu menarik, yang boleh jadi lebih beraksentuasi politis.

Kebutuhan tentang karisma untuk memimpin sebuah organisasi bisa dibangun berdasarkan pengaruh trah. Tapi pancaran aura itu juga bisa muncul dan berkembang karena indikator kompetensi seseorang. Kepemimpinannya dibutuhkan dan diakui karena orang itu memang mumpuni.

”Balungan”

Hampir berbarengan dengan survei regenerasi kepemimpinan di PDIP itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendapat pengakuan internasional sebagai satu di antara 50 pemimpin terbaik dunia dari majalah Fortune.

Sebelumnya, ia juga meraih penghargaan sebagai Wali Kota Terpuji dari The City Mayors Foundation, lembaga penelitian yang berisi ahli tata kota seluruh dunia. Capaian Risma ini saya angkat sebagai contoh untuk menunjukkan jejak leadership berbasis kekuatan trek. Pembaca tentu sering mendengar istilah ”balungan beja”, ”balungan gajah”, atau ”balungan priyayi”.

Ungkapan dalam bahasa Jawa ini sering dipakai untuk mengomentari seseorang yang bernasib baik, orang yang menjadi pimpinan atau menduduki suatu jabatan. Maknanya, orang tersebut berasal muasal dari trah yang memang ditakdirkan untuk kaya, atau dari sono-nya telah ”diperjalankan” menjadi pemimpin.

Fenomena trah dalam kepemimpinan bukan hal baru. Sejak zaman raja-raja — yang juga bertahan dalam sistem monarki era sekarang — secara turun temurun kepemimpinan dijalankan berdasarkan dinasti keluarga. Meskipun terkadang seseorang tidak cakap dalam memimpin, karena ”jatah” trah, secara otomatis ia terwarisi tampuk kepemimpinan.

Ketika muncul pemimpin yang bukan dari trah, tentu menjadi sesuatu yang ”luar biasa”. Sejarah panjang dinasti kerajaan di tanah Jawa juga mencatat alur semacam itu, seperti naiknya Ken Arok dalam sejarah Singasari, walaupun proses dalam meraih kekuasaan dicapai oleh si berandal padang Karautan berkasta sudra itu dengan cara kontroversial. Pada era sekarang, dalam perjalanan rasionalitas memilih pemimpin, rakyat tidak lagi hanya memandang trah.

Trek-lah yang dijadikan acuan utama, seiring dengan makin cerdasnya masyarakat untuk menilai kualitas kepemimpinan. Banyak contoh pemimpin yang lahir dari trek untuk membentuk kualitas leadership-nya. Misalnya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Joko Widodo semasa memimpin Kota Solo dan sekarang dilanjutkan Hadi Rudyatmo, juga Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Di Jawa Tengah kita punya Rustriningsih saat menjadi Bupati Kebumen dua periode. Kerasionalitasan pilihan rakyat sudah mulai berorientasi pada kompetensi, rekam jejak, dan komitmen calon pemimpin.

Para pemimpin yang berkembang karena trek benar-benar teruji dan berjuang dari lapis-lapis kariernya. Mereka dimatangkan oleh kerja keras, tantangan, dan kemampuan menyelesaikan persoalan. Banyak contoh betapa pemimpin berdasarkan trek memperoleh pengakuan atas kompetensinya dari berbagai pihak.

Pengakuan akan kiprah mereka bukan tanpa alasan. Sepak terjang dan langkah-langkah dalam memimpin wilayah atau institusi diamati sebagai referensi pembelajaran kepemimpinan. Tidak jarang seorang pemimpin yang mempunyai track record bagus akan ”menjadi rebutan” berbagai pihak untuk diusung sebagai pemimpin.

Pilihan Rasional

Ya, memang sudah saatnya akal sehat dan rasionalitas dikedepankan. Memilih pemimpin berdasarkan kemampuan, kompetensi, dan rekam jejak.

Dari rekam jejak itulah kita berharap banyak akan membawa implikasi kepemimpinannya. Roen (2011) dengan gamblang menunjukkan model teori pilihan rasional, melihat individu dalam latar belakang sosial dan membuat pilihan tindakan atau keputusan berdasarkan kepercayaan dan tujuan. Sangat jelas pilihan rakyat terhadap sesuatu atau seseorang yang akan menjadi pemimpin dasarnya adalah kepercayaan dan tujuan.

Kepercayaan masyarakat muncul manakala pemimpin yang akan dipilih mempunyai kinerja yang terbukti baik, kompetensinya diakui, dan mempunyai rekam jejak kinerja yang baik, meski calon pemimpin tersebut bukan dari trah pemimpin. Rasionalitas masyarakat tidak memedulikan faktor biologis, namun lebih percaya pada trek. Keyakinan inilah yang seharusnya dijadikan acuan dalam memilih seorang pemimpin.

Dan, sebenarnya bukan masalah trah atau trek yang harus memimpin, melainkan dasarnya adalah kemampuan. Kalau seorang pemimpin kebetulan lahir dari keturunan dan mempunyai trek yang mumpuni, berarti dia memang memiliki keistimewaan. Bukan karena ”balungan”, takdir, atau warisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar