Antara
”Trah” dan ”Trek”
Tri Marhaeni P Astuti ; Guru Besar Antropologi, Jurusan
Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
|
SUARA MERDEKA, 15 April 2015
”TRAH”, trek, ”balungan”; istilah-istilah ini lekat dalam
pemahaman awam ketika menilai tentang jalur ”nasib” seseorang. Nah, lalu
bagaimana kita membaca sebuah hasil survei sebelum Kongres IV PDIP di
Denpasar, pekan kemarin? Hasil survei tersebut memosisikan Presiden Joko
Widodo lebih dikehendaki untuk memimpin PDIP dibanding trah Soekarno, dalam
hal ini adalah Megawati Soekarnoputri.
Ini tentu menarik sebagai bahan kajian. Dalam realitas politik
yang menjadi opini, Megawati disebut-sebut masih dikehendaki oleh internal
PDIP sebagai figur pemersatu.
Adapun Jokowi disimbolkan sebagai sosok muda yang bisa diusung
sebagai magnet PDIPke depan. Namun soal daya tarik itu tentu masih bisa
diperdebatkan karena sebagian dari faktor tersebut juga bisa melekat pada
figur yang dilekati oleh modal biologis atau keturunan.
Dalam konteks sosio kultural PDIP, Jokowi tentu
”diperbandingkan” dengan Puan Maharani dan Muhammad Prananda. Maka pro-kontra
trah versus trek dalam wacana kepemimpinan akan selalu menjadi isu menarik,
yang boleh jadi lebih beraksentuasi politis.
Kebutuhan tentang karisma untuk memimpin sebuah organisasi bisa
dibangun berdasarkan pengaruh trah. Tapi pancaran aura itu juga bisa muncul
dan berkembang karena indikator kompetensi seseorang. Kepemimpinannya
dibutuhkan dan diakui karena orang itu memang mumpuni.
”Balungan”
Hampir berbarengan dengan survei regenerasi kepemimpinan di PDIP
itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendapat pengakuan internasional
sebagai satu di antara 50 pemimpin terbaik dunia dari majalah Fortune.
Sebelumnya, ia juga meraih penghargaan sebagai Wali Kota Terpuji
dari The City Mayors Foundation, lembaga penelitian yang berisi ahli tata
kota seluruh dunia. Capaian Risma ini saya angkat sebagai contoh untuk
menunjukkan jejak leadership berbasis kekuatan trek. Pembaca tentu sering
mendengar istilah ”balungan beja”, ”balungan gajah”, atau ”balungan priyayi”.
Ungkapan dalam bahasa Jawa ini sering dipakai untuk mengomentari
seseorang yang bernasib baik, orang yang menjadi pimpinan atau menduduki
suatu jabatan. Maknanya, orang tersebut berasal muasal dari trah yang memang
ditakdirkan untuk kaya, atau dari sono-nya telah ”diperjalankan” menjadi
pemimpin.
Fenomena trah dalam kepemimpinan bukan hal baru. Sejak zaman
raja-raja — yang juga bertahan dalam sistem monarki era sekarang — secara
turun temurun kepemimpinan dijalankan berdasarkan dinasti keluarga. Meskipun
terkadang seseorang tidak cakap dalam memimpin, karena ”jatah” trah, secara
otomatis ia terwarisi tampuk kepemimpinan.
Ketika muncul pemimpin yang bukan dari trah, tentu menjadi
sesuatu yang ”luar biasa”. Sejarah panjang dinasti kerajaan di tanah Jawa
juga mencatat alur semacam itu, seperti naiknya Ken Arok dalam sejarah
Singasari, walaupun proses dalam meraih kekuasaan dicapai oleh si berandal
padang Karautan berkasta sudra itu dengan cara kontroversial. Pada era
sekarang, dalam perjalanan rasionalitas memilih pemimpin, rakyat tidak lagi
hanya memandang trah.
Trek-lah yang dijadikan acuan utama, seiring dengan makin
cerdasnya masyarakat untuk menilai kualitas kepemimpinan. Banyak contoh
pemimpin yang lahir dari trek untuk membentuk kualitas leadership-nya.
Misalnya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar
Anas, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto,
Joko Widodo semasa memimpin Kota Solo dan sekarang dilanjutkan Hadi Rudyatmo,
juga Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Di Jawa Tengah kita punya Rustriningsih saat menjadi Bupati
Kebumen dua periode. Kerasionalitasan pilihan rakyat sudah mulai berorientasi
pada kompetensi, rekam jejak, dan komitmen calon pemimpin.
Para pemimpin yang berkembang karena trek benar-benar teruji dan
berjuang dari lapis-lapis kariernya. Mereka dimatangkan oleh kerja keras,
tantangan, dan kemampuan menyelesaikan persoalan. Banyak contoh betapa
pemimpin berdasarkan trek memperoleh pengakuan atas kompetensinya dari
berbagai pihak.
Pengakuan akan kiprah mereka bukan tanpa alasan. Sepak terjang
dan langkah-langkah dalam memimpin wilayah atau institusi diamati sebagai
referensi pembelajaran kepemimpinan. Tidak jarang seorang pemimpin yang
mempunyai track record bagus akan ”menjadi rebutan” berbagai pihak untuk
diusung sebagai pemimpin.
Pilihan Rasional
Ya, memang sudah saatnya akal sehat dan rasionalitas
dikedepankan. Memilih pemimpin berdasarkan kemampuan, kompetensi, dan rekam
jejak.
Dari rekam jejak itulah kita berharap banyak akan membawa
implikasi kepemimpinannya. Roen (2011) dengan gamblang menunjukkan model
teori pilihan rasional, melihat individu dalam latar belakang sosial dan membuat
pilihan tindakan atau keputusan berdasarkan kepercayaan dan tujuan. Sangat
jelas pilihan rakyat terhadap sesuatu atau seseorang yang akan menjadi
pemimpin dasarnya adalah kepercayaan dan tujuan.
Kepercayaan masyarakat muncul manakala pemimpin yang akan
dipilih mempunyai kinerja yang terbukti baik, kompetensinya diakui, dan
mempunyai rekam jejak kinerja yang baik, meski calon pemimpin tersebut bukan
dari trah pemimpin. Rasionalitas masyarakat tidak memedulikan faktor
biologis, namun lebih percaya pada trek. Keyakinan inilah yang seharusnya
dijadikan acuan dalam memilih seorang pemimpin.
Dan, sebenarnya bukan masalah trah atau trek yang harus
memimpin, melainkan dasarnya adalah kemampuan. Kalau seorang pemimpin
kebetulan lahir dari keturunan dan mempunyai trek yang mumpuni, berarti dia
memang memiliki keistimewaan. Bukan karena ”balungan”, takdir, atau warisan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar