Jumat, 17 April 2015

Praperadilan Tersangka sudah Terganjal

Praperadilan Tersangka sudah Terganjal

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 17 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENGAJUAN praperadilan oleh tersangka adalah hak hukum yang diberikan KUHAP sebagai koreksi horizontal atas keabsahan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penuntutan, termasuk penyitaan barang bukti. Dalam proses penyidikan, penyidik diberi kewenangan melakukan ‘upaya paksa’ yang sangat rentan terjadi pelanggaran hak-hak asasi seseorang yang dijadikan tersangka. Namun, pembuat UU tidak menjadikan ‘penetapan tersangka’ sebagai objek praperadilan.

Itu yang menjadi pertimbangan hukum dalam putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap tersangka Suryadharma Ali (SDA). Hakim Tati Hadianti (8/4) menolak praperadilan SDA karena ‘penetapan tersangka bukan merupakan upaya paksa, melainkan hanya syarat untuk melakukan upaya paksa yang berbentuk penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan’. Begitu pula, ada atau tidaknya bukti permulaan minimal dua alat bukti yang sah, juga tidak menjadi kewenangan hakim praperadilan. Persoalan itu sudah memasuki substansi pemeriksaan pokok perkara terkait dengan pembuktian.

Pada putusan praperadilan tersangka Suroso Artomartoyo (13/4), hakim tunggal Riyadi Sunindyo di PN Jakarta Selatan juga menolak seluruh alasan pemohonan. Hakim memutus berdasarkan Pasal 1 Angka 10 juncto Pasal 77 juncto Pasal 81 ayat (1) dan (2) huruf-b KUHAP, bahwa penetapan tersangka bukan objek praperadilan, melainkan ada hal menarik dalam putusan itu yang dipersoalkan pemohon terkait dengan keberadaan penyidik KPK yang bukan dari unsur kepolisian.

Hakim menyatakan, KPK berwenang mengangkat penyidik sendiri, sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK) bahwa pimpinan KPK ialah penyidik dan penuntut umum. Hakim juga mengutip Pasal 45 UU KPK yang secara normatif mengatur, bahwa pimpinan KPK berwenang mengangkat dan memberhentikan penyidik pada KPK, termasuk yang berasal dari luar kepolisian dan kejaksaan.

Kekuatan bagi KPK

Rintangan yang bisa menghambat upaya pemberantasan korupsi sejak tahap penyidikan melalui gugatan praperadilan mulai terganjal. Betapa tidak, setelah putusan hakim Sarpin Rizaldi (16/2) di PN Jakarta Selatan yang menyatakan penetapan tersangka di KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak sah, ternyata menuai gelombang gugatan. Empat tersangka korupsi di KPK, mengajukan praperadilan karena ditetapkan tersangka. Tiga sudah ditolak, yaitu permohonan SDA, Suroso Artomartoyo, dan Sutan Bhatoegana.

Putusan yang menganggap penetapan tersangka bukan objek praperadilan merupakan `kekuatan baru' bagi KPK. Namun, KPK harus juga introspeksi diri sebab kewenangan luar biasa yang digerakkan manusia biasa bisa saja terjebak melakukan penyalahgunaan wewenang yang mencederai hak-hak tersangka. Salah satunya, kelambanan KPK menyelesaikan perkara korupsi. Dalam catatan akhir 2014, ICW menyebut, sedikitnya 11 tersangka korupsi yang hampir setahun menjadi tersangka, tetapi belum dilimpahkan ke pengadilan.

Fenomena yang terjadi selama KPK jilid tiga, selain berani menjerat petinggi negara sekelas menteri aktif, ketua umum partai, dan anggota DPR, juga ‘mahir membongkar kasus, tetapi lamban dalam penuntasan'. Alasan klasik yang acap kali disampaikan karena kekurangan penyidik.Dari satu sisi bisa dimengerti, tetapi tidak semua orang bisa memahaminya. Ada juga yang menganggap KPK masih tebang pilih dalam mengungkap kasus, terlebih bila berkaitan dengan kekuasaan istana. Semua kelemahan itu perlu diperbaiki KPK.

Semua kekurangan dalam penindakan, supervisi, upaya pencegahan, dan monitoring perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Namun, kekurangan itu tidak boleh memunculkan pandangan untuk memereteli kewenangan KPK, apalagi berpikir membubarkannya. Pepatah `tidak ada gading yang tidak retak' karena KPK bukan institusi antikorupsi yang mahasempurna. Gelombang praperadilan setelah putusan hakim Sarpin harus dijadikan pelajaran berharga. Meskipun semuanya ditolak hakim, KPK harus lebih teliti dan profesional dalam melaksanakan kewenangan besar yang diberikan undang-undang.

Sudah sepatutnya KPK menjadikannya sebagai momentum emas untuk membuka mata, kemudian menambah amunisi agar segera melimpahkan 36 perkara yang sedang ditangani ke pengadilan tipikor. Langkah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap salah satu anggota DPR di Bali (9/4) bisa dijadikan penyemangat untuk terus membongkar kasus korupsi yang menyengsarakan rakyat.

Menjadi yurisprudensi

Jika pemberantasan korupsi sempat membuat kita khawatir akibat kisruh KPK-Polri, saatnya sekarang merentangkan sayap dan lebih tegas setelah Presiden Jokowi menyelesaikannya. Kedaruratan korupsi harus disikapi dengan satu langkah, yaitu menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Berbeda pendapat boleh saja terjadi, tetapi tidak boleh melemahkan semangat perang melawan korupsi. Tidak ada alasan untuk bersikap biasa saja terhadap kejahatan luar biasa itu.

Dugaan suap anggota DPR yang terjerat OTT, termasuk kasus-kasus korupsi besar yang belum terungkap tidak boleh menjadi peristiwa rutin penegakan hukum. Kini saatnya perilaku korupsi diusut tuntas.

Lebih dari itu, kita juga mengapresiasi dukungan elemen masyarakat sipil yang tak lelah menjaga, mengawasi, dan memberikan informasi dugaan terjadinya korupsi. Karena itu, tiga putusan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka korupsi yang ditolak hakim, seyogianya dijadikan rujukan untuk mempercepat proses hukum di KPK, kepolisian, dan kejaksaan.

Ketiga putusan itu yang menilai penetapan tersangka bukan objek praperadilan, selain menjadi penguat bagi KPK untuk terus berkarya, juga bisa disebut ‘yurisprudensi’ yang dapat diikuti oleh hakim lain. Hakim memiliki kemerdekaan menafsirkan rumusan dalam undang-undang, juga dipahami kalau hakim bukanlah trompet undang-undang, sehingga wajib menemukan hukum meski undang-undang tidak mengatur.

Namun, hakim dalam melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dengan maksud mengisi kekosongan hukum terhadap hukum formil (hukum acara), tidak dibenarkan keluar dan menyimpang dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Karena itu, MA perlu mempertegas legalitas objek praperadilan, agar penetapan tersangka tidak terus-menerus dipakai tersangka yang terkesan hanya ingin menghambat proses penyidikan.

Perbedaan tafsir dihargai sebagai bagian dari proses mencapai keadilan. Di situlah, hakim berposisi sebagai pengadil yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun. Hakim harus tetap berpijak pada keyakinan dan ketentuan normatif yang mengatur tata cara menjatuhkan putusan.

Hakim tidak boleh membuka peluang bagi pihak lain yang memiliki kepentingan untuk mengintervensi putusannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar