Masa Depan Penyelesaian Krisis Nuklir Iran
Broto Wardoyo
; Dosen di
Departemen Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 07 April 2015
Tercapainya kata sepakat antara Iran dan negara-negara P5+1
(Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, China, dan Jerman) di Swiss
menjadi kabar baik bagi stabilitas kawasan Timur Tengah yang saat ini sedang
bergejolak.
Butir-butir kesepakatan dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) menunjukkan upaya
pembatasan pengayaan uranium oleh Iran. Pilihan ini yang masuk akal.
Sebelumnya Iran tetap menghendaki untuk melanjutkan program nuklirnya dan
diduga oleh negara-negara Barat ingin mengembangkan senjata nuklir (weaponization).
Dari tujuh poin tersebut, ada dua poin yang penting untuk
diperhatikan. Pertama, Iran harus bisa memberikan akses yang luas bagi Badan
Energi dan Atom Dunia (IAEA) untuk melakukan inspeksi bahkan di fasilitas
nuklir Parchin yang merupakan fasilitas nuklir militer.
Patut dicatat bahwa krisis nuklir ini berawal dari penolakan
Iran untuk menerima tim inspeksi IAEA yang sebelumnya melaporkan bahwa Iran
melakukan pelanggaran dalam pengayaan uranium. Kesediaan Iran untuk mengikuti
kembali mekanisme pengawasan yang disepakati secara internasional akan dapat
mengurangi ketidakpercayaan di antara dua kubu yang berseteru.
Kedua, kesediaan P5+1 untuk membatalkan embargo ekonomi terhadap
Iran sebagai balasan bagi kesediaan Iran menjalankan pembekuan pengayaan,
mengurangi simpanan uranium, dan mematuhi mekanisme pengawasan internasional.
Embargo ekonomi terhadap Iran, terutama yang terkait dengan
penjualan minyak dan gas, telah secara serius membuat Iran terkucil dan
melemahkan perekonomian negara tersebut. Kembalinya minyak dan gas Iran
secara penuh di pasar internasional akan memperkuat basis ekonomi negara
tersebut dan, sekaligus, mengembalikan kekuatan Iran sebagai negara utama di
kawasan Timur Tengah.
Meski demikian, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar
kesepakatan tersebut bisa membuka jalan bagi penyelesaian damai yang
sesungguhnya. Apalagi, proses perundingan di Swiss menunjukkan betapa alot
pembicaraan di antara kedua kubu yang membuat Menlu Amerika Serikat John
Kerry meminta pemunduran deadline demi mencapai kesepakatan.
Pertama, ada gangguan dari masalah-masalah di kawasan yang
terkait dengan Iran. Saat ini setidaknya ada tiga isu di kawasan yang
melibatkan Iran. Isu pertama adalah konflik di Suriah. Iran merupakan pendukung
utama rezim Bashar al- Asad dan penyedia logistik bagi pasukan rezim dalam
menghadapi kelompok perlawanan.
Negara-negara Barat dan Arab sendiri menentang kelangsungan
rezim dan mendorong perubahan politik di Suriah. Pengangkatan embargo ekonomi
yang selama ini diberikan pada Iran tentu akan memperbesar kemampuan negara
tersebut dalam memberikan suplai dukungan kepada rezim.
Isu kedua adalah instabilitas di Irak. Kelompok Syiah di Irak
yang dekat dengan Iran merupakan salah satu kekuatan politik utama di negara
ini. Dalam upaya memerangi ISIS, Amerika Serikat akan memerlukan bantuan yang
semaksimal mungkin dari kelompok Sunni yang saat ini menjadi mitra aliansi
utama ISIS.
Bantuan tersebut akan membutuhkan pelibatan kelompok Sunni dalam
politik di Irak yang tentunya akan merugikan kelompok Syiah. Jika di Irak
pelemahan posisi politik kelompok Syiah tersebut masih dalam tahap potensi,
di Yaman hal tersebut sudah berlangsung.
Intervensi militer Arab Saudi, salah satu sekutu utama Amerika
Serikat di kawasan Timur Tengah, di Yaman menjadi gangguan bagi kekuasaan de
facto kelompok Houthi yang pro-Teheran.
Upaya untuk menjauhkan pengaruh isu-isu utama di kawasan
tersebut terhadap penyelesaian krisis nuklir Iran akan bisa dilihat dalam
periode hingga pencapaian kesepakatan final yang dijadwalkan muncul akhir
bulan Juni nanti. Kemampuan untuk melepaskan isu nuklir Iran dari isu-isu
lain di kawasan akan sangat dibutuhkan.
Gangguan kedua datang dari Israel. Secara tegas, Perdana Menteri
Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa kesepakatan butir-butir utama JCPOA
merupakan sebuah kesalahan. Israel secara konsisten mengusulkan penyelesaian
militer dalam penanganan krisis nuklir Iran.
Israel menilai penghentian paksa program nuklir Iran merupakan
satu-satunya opsi yang harus diambil dalam masalah ini. Israel meletakkan
serangan nuklir dari Iran, baik secara langsung maupun melalui kelompok-
kelompok yang diketahui memiliki kedekatan dengan Teheran, sebagai salah satu
sumber ancaman utama mereka.
Ancaman dari Iran bahkan mampu menggeser ancaman serangan
gabungan negara-negara Arab yang selama bertahun- tahun merupakan sumber
ancaman utama Israel. Kedekatan Iran dengan Hezbollah dan Hamas juga menjadi
perhatian utama Israel. Hamas sendiri telah menggunakan rudal-rudal buatan
Iran dalam beberapa perang terakhir melawan Israel.
Terakhir, gangguan terhadap pencapaian kesepakatan final juga
akan datang dari dalam Iran sendiri. Salah satu kunci keberhasilan negosiasi
Iran dengan P5+1 adalah ada perubahan rezim di Iran. Posisi Presiden Rouhani
yang lebih lunak dalam hubunganeksternalIranmenjadi faktor yang signifikan
bagi tercapainya kesepakatan.
Ini berbeda dengan posisi yang diambil pemerintahan terdahulu
yang didominasi oleh kelompok konservatif. Kekuatan kelompok konservatif di
dalam politik domestik Iran sendiri masih besar. Bagi kelompok ini, isu
nuklir terkait dengan harga diri Iran sebagai bangsa yang besar.
Keputusan untuk membekukan program pengayaan uranium dan
pengurangan simpanan uranium yang telah diperkaya akan dengan mudah
diterjemahkan sebagai kekalahan Iran terhadap Barat.
Terlepas dari tiga gangguan tersebut, dukungan terhadap
pencapaian kesepakatan final harus tetap diberikan. Pilihan Indonesia untuk
mendukung penyelesaian diplomatik harus tetap disampaikan. Ada dua garis
batas yang perlu dipegang oleh Indonesia dalam isu ini.
Pertama, sebagai salah satu
negara yang mendorong kesepakatan Non-Proliferation Treaty (NPT), Indonesia
harus bersikap jelas untuk menolak upaya pengembangan senjata nuklir oleh
negara baru manapun. Mekanisme untuk memastikan bahwa proses weaponization
tersebut tidak terjadi yang kemudian harus didorong.
Pengawasan secara penuh oleh IAEA menjadi salah satu opsi yang
harus didorong. Kedua, penyelesaian damai melalui negosiasi harus menjadi
satu-satunya pilihan. Opsi-opsi di luar negosiasi, terutama opsi militer,
harus dijauhkan.
Posisi Iran sebagai kekuatan utama di kawasan akan membawa
konsekuensi regional bagi setiap upaya militer terhadap Iran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar