Kamis, 09 April 2015

Masa Depan Penyelesaian Krisis Nuklir Iran

Masa Depan Penyelesaian Krisis Nuklir Iran

Broto Wardoyo  ;  Dosen di Departemen Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 07 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Tercapainya kata sepakat antara Iran dan negara-negara P5+1 (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, China, dan Jerman) di Swiss menjadi kabar baik bagi stabilitas kawasan Timur Tengah yang saat ini sedang bergejolak.

Butir-butir kesepakatan dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) menunjukkan upaya pembatasan pengayaan uranium oleh Iran. Pilihan ini yang masuk akal. Sebelumnya Iran tetap menghendaki untuk melanjutkan program nuklirnya dan diduga oleh negara-negara Barat ingin mengembangkan senjata nuklir (weaponization).

Dari tujuh poin tersebut, ada dua poin yang penting untuk diperhatikan. Pertama, Iran harus bisa memberikan akses yang luas bagi Badan Energi dan Atom Dunia (IAEA) untuk melakukan inspeksi bahkan di fasilitas nuklir Parchin yang merupakan fasilitas nuklir militer.

Patut dicatat bahwa krisis nuklir ini berawal dari penolakan Iran untuk menerima tim inspeksi IAEA yang sebelumnya melaporkan bahwa Iran melakukan pelanggaran dalam pengayaan uranium. Kesediaan Iran untuk mengikuti kembali mekanisme pengawasan yang disepakati secara internasional akan dapat mengurangi ketidakpercayaan di antara dua kubu yang berseteru.

Kedua, kesediaan P5+1 untuk membatalkan embargo ekonomi terhadap Iran sebagai balasan bagi kesediaan Iran menjalankan pembekuan pengayaan, mengurangi simpanan uranium, dan mematuhi mekanisme pengawasan internasional.

Embargo ekonomi terhadap Iran, terutama yang terkait dengan penjualan minyak dan gas, telah secara serius membuat Iran terkucil dan melemahkan perekonomian negara tersebut. Kembalinya minyak dan gas Iran secara penuh di pasar internasional akan memperkuat basis ekonomi negara tersebut dan, sekaligus, mengembalikan kekuatan Iran sebagai negara utama di kawasan Timur Tengah.

Meski demikian, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar kesepakatan tersebut bisa membuka jalan bagi penyelesaian damai yang sesungguhnya. Apalagi, proses perundingan di Swiss menunjukkan betapa alot pembicaraan di antara kedua kubu yang membuat Menlu Amerika Serikat John Kerry meminta pemunduran deadline demi mencapai kesepakatan.

Pertama, ada gangguan dari masalah-masalah di kawasan yang terkait dengan Iran. Saat ini setidaknya ada tiga isu di kawasan yang melibatkan Iran. Isu pertama adalah konflik di Suriah. Iran merupakan pendukung utama rezim Bashar al- Asad dan penyedia logistik bagi pasukan rezim dalam menghadapi kelompok perlawanan.

Negara-negara Barat dan Arab sendiri menentang kelangsungan rezim dan mendorong perubahan politik di Suriah. Pengangkatan embargo ekonomi yang selama ini diberikan pada Iran tentu akan memperbesar kemampuan negara tersebut dalam memberikan suplai dukungan kepada rezim.

Isu kedua adalah instabilitas di Irak. Kelompok Syiah di Irak yang dekat dengan Iran merupakan salah satu kekuatan politik utama di negara ini. Dalam upaya memerangi ISIS, Amerika Serikat akan memerlukan bantuan yang semaksimal mungkin dari kelompok Sunni yang saat ini menjadi mitra aliansi utama ISIS.

Bantuan tersebut akan membutuhkan pelibatan kelompok Sunni dalam politik di Irak yang tentunya akan merugikan kelompok Syiah. Jika di Irak pelemahan posisi politik kelompok Syiah tersebut masih dalam tahap potensi, di Yaman hal tersebut sudah berlangsung.

Intervensi militer Arab Saudi, salah satu sekutu utama Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, di Yaman menjadi gangguan bagi kekuasaan de facto kelompok Houthi yang pro-Teheran.

Upaya untuk menjauhkan pengaruh isu-isu utama di kawasan tersebut terhadap penyelesaian krisis nuklir Iran akan bisa dilihat dalam periode hingga pencapaian kesepakatan final yang dijadwalkan muncul akhir bulan Juni nanti. Kemampuan untuk melepaskan isu nuklir Iran dari isu-isu lain di kawasan akan sangat dibutuhkan.

Gangguan kedua datang dari Israel. Secara tegas, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa kesepakatan butir-butir utama JCPOA merupakan sebuah kesalahan. Israel secara konsisten mengusulkan penyelesaian militer dalam penanganan krisis nuklir Iran.

Israel menilai penghentian paksa program nuklir Iran merupakan satu-satunya opsi yang harus diambil dalam masalah ini. Israel meletakkan serangan nuklir dari Iran, baik secara langsung maupun melalui kelompok- kelompok yang diketahui memiliki kedekatan dengan Teheran, sebagai salah satu sumber ancaman utama mereka.

Ancaman dari Iran bahkan mampu menggeser ancaman serangan gabungan negara-negara Arab yang selama bertahun- tahun merupakan sumber ancaman utama Israel. Kedekatan Iran dengan Hezbollah dan Hamas juga menjadi perhatian utama Israel. Hamas sendiri telah menggunakan rudal-rudal buatan Iran dalam beberapa perang terakhir melawan Israel.

Terakhir, gangguan terhadap pencapaian kesepakatan final juga akan datang dari dalam Iran sendiri. Salah satu kunci keberhasilan negosiasi Iran dengan P5+1 adalah ada perubahan rezim di Iran. Posisi Presiden Rouhani yang lebih lunak dalam hubunganeksternalIranmenjadi faktor yang signifikan bagi tercapainya kesepakatan.

Ini berbeda dengan posisi yang diambil pemerintahan terdahulu yang didominasi oleh kelompok konservatif. Kekuatan kelompok konservatif di dalam politik domestik Iran sendiri masih besar. Bagi kelompok ini, isu nuklir terkait dengan harga diri Iran sebagai bangsa yang besar.

Keputusan untuk membekukan program pengayaan uranium dan pengurangan simpanan uranium yang telah diperkaya akan dengan mudah diterjemahkan sebagai kekalahan Iran terhadap Barat.

Terlepas dari tiga gangguan tersebut, dukungan terhadap pencapaian kesepakatan final harus tetap diberikan. Pilihan Indonesia untuk mendukung penyelesaian diplomatik harus tetap disampaikan. Ada dua garis batas yang perlu dipegang oleh Indonesia dalam isu ini.

 Pertama, sebagai salah satu negara yang mendorong kesepakatan Non-Proliferation Treaty (NPT), Indonesia harus bersikap jelas untuk menolak upaya pengembangan senjata nuklir oleh negara baru manapun. Mekanisme untuk memastikan bahwa proses weaponization tersebut tidak terjadi yang kemudian harus didorong.

Pengawasan secara penuh oleh IAEA menjadi salah satu opsi yang harus didorong. Kedua, penyelesaian damai melalui negosiasi harus menjadi satu-satunya pilihan. Opsi-opsi di luar negosiasi, terutama opsi militer, harus dijauhkan.

Posisi Iran sebagai kekuatan utama di kawasan akan membawa konsekuensi regional bagi setiap upaya militer terhadap Iran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar