Mata Air, Air Mata
Dedi Mulyadi
; Bupati
Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 06 April 2015
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Itulah bunyi Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 yang sudah kita hafal sejak sekolah dasar. Dalam implementasinya,
pasal tersebut mengalami perubahan wujud seiring dengan dinamika dan karakter
pertumbuhan ekonomi yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan yang cukup
tajam.
Konsep negara yang berorientasi pada pasar telah melahirkan
perubahan yang cukup tajam dari berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang tata kelola sumber daya alam. Dari konsep pengelolaan yang
berbasiskan negara untuk kemakmuran rakyat, menjadi konsepsi pengelolaan yang
berbasiskan modal untuk pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Konsepsi pengelolaan tersebut telah melahirkan perdebatan yang
cukup panjang tentang pola pengelolaan ekonomi Indonesia yang melahirkan dua
kutub pemikiran antara pemikiran ekonomi kerakyatan dengan pemikiran ekonomi
liberal.
Ekonomi kerakyatan merupakan sebuah pemikiran yang mengarah pada
distribusi pemerataan ekonomi secara utuh dan menyeluruh, sedangkan ekonomi
liberal menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh beberapa
tangan atau kapitalisasi yang tertumpu pada orang atau kelompok.
Sudahlah, seluruh perdebatan tentang konsepsi tersebut biarkan
berjalan seiring dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai mazhab dan kutub
ekonomi Indonesia. Namun secara esensial, semestinya pengelolaan sumber daya
alam yang dikelola oleh kelompok profesional yang memiliki kapital besar
tidaklah menyentuh pada sumber daya alam yang murah, berlimpah, dan tidak
memerlukan sentuhan modal besar dan teknologi yang tinggi.
Air merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah di negeri
ini. Apalagi ketika musim hujan, air seperti tidak dibutuhkan lagi; terbuang
bebas, mengalir mengikuti kelok-kelok sungai, menari di belantara jalan raya,
berkumpul di sudutsudut kota yang kadang oleh sebagian orang dianggap sebagai
sebuah petaka. Namun di rumah-rumah warga, air sangat sulit mengalir dengan
gesit.
Tetesannya terasa tersendat, berliku mengikuti alur pipa-pipa
tua berkarat yang entah kapan akan mengalami perubahan. Jangankan di musim
kemarau, bahkan di musim hujan pun kala masyarakat tertimpa banjir, justru
mereka mengalami krisis air bersih. Sebuah ironi di negeri yang penuh dengan
mata air.
Hampir di seluruh rumah hari ini masyarakat mengonsumsi air
minum dalam kemasan dengan berbagai varian harga. Dari hanya Rp1.500 per
botol di kaki lima sampai Rp15.000 per botol yang biasa diminum di
hotel-hotel berbintang. Bahkan lebih mahal dari itu, dengan berbagai bumbu
warna pengobatan yang membuat harganya semakin beragam.
Dari mulai kemasan dengan simbol-simbol khasiat tertentu yang
dikelola secara apik oleh kelompok-kelompok intelektual sampai pada air yang
berisi jampe (mantra) ala kampung yang khasiatnya tidak bisa kita duga karena
semuanya bersifat sugesti.
Yang membedakan cuma satu, kalau air jampe-jampe dari kampung
yang tidak menggunakan tarif dan hanya dibeli dengan harga sekadarnya, banyak
orang yang sering memberikan label musyrik, sedangkan air kemasan yang
bertarif dengan tulisan beragam khasiat, tak ada satu pun orang yang
mengatakannya musyrik.
Ma Icih, perempuan tua yang begitu paham tentang masalah air,
hari ini banyak mengeluhkan sumur tua di belakang rumahnya yang sering
mengalami kekeringan di musim kemarau akibat adanya eksploitasi penjualan air
yang menggunakan tangki oleh orang kaya, tetangga di kampungnya.
Dengan nada lirih Ma Icih berkata, ”Makin lama Ema makin bingung
dengan perilaku manusia sekarang. Kalau bicara seperti yang benar, ngomong
falsafah Pancasila, hakikat agama, tapi hidup tak ada sarinya, segala macam
dihitung dengan uang. Tak pernah memikirkan kesusahan orang lain, asal
kenyang perutnya sendiri.
” Mang Udin menimpali, ”Betul Icih, sawah dan kolam kita juga
sering kering karena sumber air yang jadi andalan kita kini berantakan oleh
penambangan pasir sedot. Entah manusia macam apa ini yang usaha, sampai pasir
juga disedot. Entah sebesar apa perutnya, kuat diisi pasir segala.
Menurut catatan si Uja, anak Mang Udin, mobil yang mengangkutnya
juga sebesar jurig (hantu), bannya besar-besar, banyak lagi. Setiap hari
melewati jalan desa dan kabupaten dengan tonase lebih dari 40 ton. Aki
bingung, kok bisa truktruk dengan beban yang sangat besar melewati
jalan-jalan pemerintah yang ada tulisan larangannya ‘maksimal 20 ton’ dan
bisa melewati jembatan timbang dengan senang hati.
Sebagai orang bodoh dari kampung, Aki jadi bingung, punya ilmu
apa ini supirnya, kalau masuk jembatan timbang beratnya jadi berkurang. Mobil
truk itu juga suka ”berak” di pinggir jalan yang sekali beraknya cukup untuk
2 colt diesel dan suka kencing yang sekali kencingnya cukup untuk 3 mobil
pikap.
Mereka berak di tempat yang terbuka, bisa dilihat oleh seluruh
petugas dengan baik, dipikir- pikir apa tidak bau, yang berak di pinggir
jalan dibiarkan saja. Pantas jalan sekarang gampang rusak, gampang bolong,
gampang pecah betonnya, beban kendaraannya melebihi kapasitas, sih. Tidak
tahu ini tugas siapa, kayanya tidak dianggap penting untuk diselesaikan.
Padahal kalau diteliti, berapa triliun rupiah kerugian negara
akibat kerusakan jalan. Tetapi mungkin karena bukan isu sensitif yang menarik
media, hal ini jadi dianggap biasa. Akan dianggap luar biasa apabila ada
orang asing yang terjatuh dari motor di jalan berlubang kemudian menggugat di
forum internasional.
Ma Icih kembali berkata, ”Sepengetahuan Ema, leluhur kita
mengajarkan tentang kecintaan terhadap tanah air. Apalagi orang Sunda,
nama-nama kampungnya selalu menggunakan ‘cai’; Ciasem, Cimahi, Cibeureum,
Ciamis, Cibodas, Cijunti, dan lainnya. Artinya betapa kuat peran air terhadap
pembentukan karakter dan watak manusia.
Ema juga sempat pusing, nama-nama tersebut kini banyak hilang,
bahkan Ema sempat tersesat ketika berkunjung ke kota. Nama tempat yang
menjadi tujuan Ema berkunjung kini sudah tidak ada, tidak tahu ditelan oleh
siapa dan berubah menjadi serba residen. Padahal residen mah kan adanya di
jaman Belanda, jabatannya di atas bupati, di bawah gubernur.
Sekarang mah residen teh
jadi nama kompleks. Nama-nama itu dibuat dan diizinkan oleh orang-orang yang
setiap Senin apel kecintaan terhadap tanah air, setiap tanggal 17 tiap bulan
Upacara Peningkatan Disiplin Nasional, tetapi dengan mudah mengubah nama
kampung-kampung yang dibuat oleh leluhur.
Ema sangat kecewa atas ketersesatan ini.” Mang Udin menimpali,
”Sudahlah Icih, jangan terlalu banyak mengeluh. Mungkin sudah menjadi nasib
kita asing dan tersesat di tanah air kita sendiri. Aki juga sama pernah
ketipu, sudah kadung merasa gagah diberi fried chicken oleh incu.
Kirain apa fried chicken itu ternyata goreng ayam yang diberi
terigu. Lebih enak goreng ayam buatanmu, Ma. Ayamnya diberi pakan gabah,
menyembelihnya dengan doa, sebelum digoreng diungkeb dulu dan jelas jantan
atau betinanya.
Dibanding yang itu, ayamnya kegemukan, terlalu banyak pakan
nampaknya. Yang kegemukan kan kurang gerak, yang kurang gerak itu malas,
pantas saja kalau cucu kita sekarang kerjanya malas karena terlalu banyak
makan ayam malas. Malah, anak tetangga kita sekarang teh kaya bencong.
Kayanya itu pengaruh makan ayam yang tidak jelas jenis kelaminnya.
Asa palalaur aing mah (Rasanya jadi khawatir). Makanya, waktu
kumpulan di desa, Aki marah sama Pa Kades yang pidato berapiapi tentang
peningkatan kecintaan terhadap tanah dan air. Ceuk aing teh Nini, gandeng sia
kaluman (Saya bilang, berisik ah).
Cinta Tanah Air nanahaon, tanah beak dijual, cai beak ditengkian
(tanah habis dijual, air habis diangkut tangki). Waktu Aki ngomong begitu,
tiba-tiba si Uja ngomong, sambil popolotot. Cinta tanah air model apa
sekarang ini, imah ngontrak, cai meuli (rumah ngontrak, air beli).” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar