Nabi Palsu Bisnis Tembakau
Mohamad Sobary
; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 06 April 2015
Di dalam sejarah pertanian kita, belum pernah ada semangat
memojokkan tembakau, termasuk produk olahannya, seperti terjadi saat ini.
Berbagai cara ditempuh, demi mencapai tujuan pokoknya. Tapi jika
diamati baik-baik, tampaknya, alhamdulillah, semangat itu tidak mematikan,
dan boleh jadi tidak akan pernah mematikan. Nafsu untuk— istilah
mereka—memuseumkan ”keretek”, produk olahan tembakau tadi, tak bakalan bisa
dicapai.
Kita tahu dasar pertimbangan yang disiarkan secara global
semangat itu dibangun demi alasan yang begitu indah dan manusiawi: kesehatan
masyarakat. Tapi jika ditelusuri secara lebih saksama dan lebih mendalam,
semangat itu berdiri di belakang perang dagang.
Pemilik industri olahan tembakau di luar negeri, yang ingin
mencaplok secara serakah bisnis di bidang itu, dengan canggih tapi penuh tipu
muslihat, dan bohong, menggunakan isu kesehatan untuk memenangkan pertarungan
di negeri kita. Isu bahwa merokok merusak kesehatan, dengan berbagai macam
penjelasan yang menakutkan, di sini tidak mempan.
Para perokok tetap merokok. Kelihatannya mereka tak begitu takut
pada ancaman itu. Ketika isu kesehatan tak mengubah keadaan, dipakailah isu
ekonomi, yang kelihatannya sama saja. Suara mereka tak begitu didengar orang.
Muncul isu lain, yang merupakan kalkulasi strategis, dengan melihat bahwa
dilihat dari komposisi penduduk kita, mayoritas kita pemeluk Islam.
Di sana kata halal-haram menjadi isu moral yang luar biasa
penting, karena hal itu langsung berhubungan dengan Tuhan. Maka
strategicanggihmereka, disertai dana besar yang pendukung strategi itu,
memandang penggunaankataharamakanmanjur. Lalu disebutlah bahwa merokok itu
haram. Tapi pilihan langkah ini pun membentur tembok.
Para perokok tak peduli pada fatwa itu, karena ada fatwa lain,
dari komunitasorang-orangberiman yang jumlahnya lebih besar, tidak
mengharamkan merokok. Status hukum merokok bagi mereka hanya makruh. Ini
pilihan pribadi. Strategi yang tak mempan ini membuat mereka kecewa.
Sekarang, mereka kembali lagi ke alasan semula: alasan kesehatan.
Ancaman yang menyebutkan bahwa, dulu, merokok mengganggu
kesehatan ini dan itu, kini diganti, merokok: ”membunuhmu”. Ini bukan bahasa
ilmu pengetahuan, bukan pula kebijakan yang dilandasi oleh suatu temuan yang
meyakinkan, melainkan cerminan dari bahasa politik dagang yang tak melarang
menggunakan kebohongan di sana sini.
Bahasa ancaman, dan manipulasi di dalamnya, boleh dipakai, asal
bisa dianggap mendukung langkah untuk menuju kemenangan. Kelihatannya perlu
sekali diwaspadai, bahwa ancaman ”merokok membunuhmu”, yang dipasang di
tiap-tiap bungkus keretek, disertai gambargambar mengerikan, itu contoh
strategi politik dagang. untuk memenangkan persaingan di pasar bebas.
Sekali lagi, ”merokok membunuhmu”, merupakan ancaman agar
industri olahan tembakau di negeri kita tidak berkembang. Untuk sementara,
mereka dibunuh dulu, dengan dukungan para pejabat kita sendiri. Kalau
industri kita sudah mati, gampanglah mengatur strategi baru, sesudah semuanya
dikuasai dan sepenuhnya di tangan bangsa asing.
Mungkin kelak mereka akan
berteriak: merokok tanda orang sehat? Sekarang ini, ancaman ”merokok
membunuhmu”, sebetulnya tidak lain dari sikap politik dagang, dan kebijakan
pemerintah yang mendukung politik dagang bangsa asing itu, untuk memenangkan
perang dagang yang didambakan bangsa asing di negeri kita ini.
Sikap pemerintah yang lebih mengutamakan impor tembakau
sebesar-besarnya, jelas dirasuki semangat membunuh petani tembakau kita
sendiri. Pejabat kita hanya tampil sebagai orang netral? Kalau mereka netral,
tanpa unsur pengaruh kepentingan asing, itu sudah mulia.
Netral pun mereka tidak. Kecenderungannya jelas: mereka
memojokkan petani tembakau kita sendiri. Selain itu, berbagai langkah
ditempuh agar petani beralih ke pertanian lain yang bukan tembakau. Kalau
mereka mendengar saran berbahaya ini—tapi tidak ada petani yang menggubris
ajakan pejabat—tanaman tembakau mati.
Dan kelak, sebentar lagi, bangsa asing yang datang sesudahnya,
akan menghidupkan kembali tanaman tembakau itu untuk kepentingan dagang yang
sangat menguntungkan itu.
Langkah menaikkan cukai, dari tahun ke tahun selalu naik, dan
kini cukai kita menghasilkan sumbangan ratusan triliun buat APBN, apa artinya
bila bukan untuk membunuh industri kita sendiri, dan menggelar karpet merah
bagi usaha dagang asing di negeri kita?
Semangat menaikkan cukai ini telah membunuh tiga ratusan ”home
industries” di bidang pengolahan tembakau, yang merupakan kebanggaan daerah
masingmasing, dan itu artinya juga kebanggaan bangsa kita. Tapi mengapa
kekejaman ini ditempuh terusmenerus, hingga kini, jumlah industri kita
tinggal ibarat ”segenggam”, dan jumlah pengusaha asing makin meningkat dan
makin meningkat?
Dalam bulanbulan terakhir ini, isu menaikkan cukai dikutuk
media, sebagai langkah pemerintahan yang malas, yang tak bisa mencari sumber
APBN yang lain. DPR menyesalkan dan minta kenaikan cukai ditunda. Dan
berbagai unsur masyarakat sipil menyuarakan semangat yang sama, sebagai tanda
komitmen kebangsaan yang besar.
Omong kosong apakah yang ada di balik ”merokok membunuhmu” itu,
ketika kita ketahui bangsa produksi tahunan industri keretek asing, yang ada
di negeri kita ini malah meningkat dan meningkat menjadi produk maha raksasa
yang keuntungannya menggiurkan para pedagang?
Merokok membunuh orang, tapi produk rokok mereka meningkat
begitu mengerikannya. Apakah mereka sengaja mau mengabaikan peringatan itu?
Tidak. Mereka orang baik dan sangat manusiawi. Pedagang bukan pembunuh.
Mereka hanya ingin menggaet untung besar, sebesar-besarnya, tanpa saingan,
tanpa musuh.
Pendeknya, mereka hanya akan melakukan monopoli datang. Hanya
itu. Selebihnya, pemerintah kita membantu, dan siap berdiri di belakang
kepentingan asing itu. Mereka bersuara seperti nabi-nabi yang ingin
menyelamatkan manusia di dunia, tapi intinya bukan itu. Tujuan mereka jelas
hanya satu: memenangkan persaingan dagang.
Dan bukan urusan kesehatan. Kelak, sesudah menang dalam
persaingan, barulah bicara keuntungan yang pasti sudah ada dalam genggaman.
Selain itu, kebohongan apa lagi yang ada di balik ”merokok membunuhmu” kalau
kenyataannya, pengusaha demi pengusaha asing, kelihatan berebut lahan bisnis
pengolahan tembakau di negeri kita, dengan keserakahan seperti serigala
berebut mangsa di hutan belantara?
Apa mereka mau mengabaikan ancaman ”merokok membunuhmu” tadi?
Tidak. Sama sekali tidak. Mereka tak peduli pada omongan itu. Apa yang mereka
cari, dengan berbagai cara untuk menang, ialah keuntungan, duit, keuntungan
dan duit, dan kejayaan.
Bangsa-bangsa asing yang jauh, dan bangsa-bangsa asing di Asia,
yang dekat, hadir di sini, saling mencakar saling ”menubruk” untuk menguasai
tembakau dan produk olahannya. Mereka bersuara seperti nabi-nabi baru, untuk
menyelamatkan manusia di bumi. Tapi sebenarnya mereka tak punya rasa peduli
apa pun kecuali berbisnis dan merebut keuntungan dan keuntungan.
Mereka nabi-nabi palsu di dalam bisnis tembakau yang kejam.
Suara mereka seolah hendak menyelamatkan manusia di bumi ini, tapi sebenarnya
mereka mencari selamat sendiri-sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar