Jumat, 10 April 2015

Manajemen Politik Mega Pasca-Kiemas

Manajemen Politik Mega Pasca-Kiemas

Augustinus Simanjuntak ;  Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 09 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

KONGRES IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dimulai hari ini (9/4) di Bali dipastikan akan mengukuhkan lagi Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum untuk periode 2015–2020. Menurut pihak PDIP, pengukuhan itu merupakan hasil konsolidasi kepemimpinan partai mulai tingkat bawah yang secara bulat merekomendasi Mega –sapaan akrab Megawati Soekarnoputri– untuk kembali memimpin PDIP.

Mengapa Mega? Selain meneruskan trah Soekarno, Mega memang sudah berhasil mengantarkan PDIP menjadi peraih suara terbanyak dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014. Selama berada di luar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono (2009–2014), Mega berhasil menyusun kekuatan politik sekaligus melahirkan kader pemimpin nasional (Presiden Joko Widodo/Jokowi) dan lokal seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo serta Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.

Pasca ditinggal Ketua Dewan Pertimbangan PDIP Taufiq Kiemas (TK), Mega memang terkesan lebih fokus dan mandiri dalam penentuan haluan gerak politik partai. Bahkan, komunikasi politik Mega dengan SBY kembali membeku sepeninggal TK, suami Mega. Sebab, TK merupakan tokoh penting dalam menjembatani PDIP dengan pemerintahan SBY (Partai Demokrat) selama kurun waktu sepuluh tahun. Publik bisa membaca adanya perbedaan arah politik yang cukup kentara antara Mega dan TK sejak SBY menjadi presiden pada 2004.

Guyonannya, meskipun di keluarga tetap harmonis, arah politik bisa saja berbeda. Misalnya, dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, TK secara terang-terangan tidak mendukung Jokowi sebagai kandidat gubernur, sedangkan Mega mendukung Jokowi. Menurut TK, PDIP harus cerdas dan tegas dengan mendukung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) karena mereka dinilai paling tahu kondisi Jakarta. Ini tentu membuat Mega berada dalam pilihan yang sulit.

Jokowi yang waktu itu masih wali kota Solo memberikan opsi kepada PDIP, yaitu maju sebagai calon gubernur DKI atau tidak sama sekali (bukan calon wakil gubernur). Akhirnya Mega tetap meminta Jokowi maju sebagai calon gubernur DKI. Selain itu, TK pernah melontarkan usul ke Mega supaya mencalonkan orang lain (bukan Jokowi) dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014. Lalu, apa beda gerak politik Mega dan TK?

Politik Grassroots yang Ternoda

Kepemimpinan Mega pasca-Taufiq Kiemas memang cenderung menimbang kalkulasi politik berdasar keinginan grassroots (akar rumput) ketimbang pola lobi-lobi politik yang bersifat elitis. Mega justru mulai membudayakan pola pencalonan kader berdasar prestasi yang telah dirasakan masyarakat. Sementara Kiemas cenderung menerapkan kalkulasi politik berdasar jumlah kursi di DPR/DPRD sekaligus melakukan manuver dan lobi-lobi politik secara elitis.

Namun, Mega telah membuktikan bahwa pendekatan elitis dalam pilpres/pilkada sudah tidak efektif. Dalam pilkada DKI Jakarta putaran II, Jokowi-Ahok yang hanya diusung PDIP dan Gerindra ternyata berhasil mengalahkan Foke-Nara yang diusung koalisi partai-partai besar (Demokrat, PAN, Golkar, PPP, PKB, dan PKS). Waktu itu Jokowi-Ahok meraih 53,82 persen suara, sedangkan Foke-Nara 46,18 persen suara. Rakyat memilih tokoh, bukan partai.

Pendekatan grassroots itu pula yang terjadi dalam Pilpres 2014. Jokowi-Jusuf Kalla (JK) berhasil meraih 53,15 persen suara atau unggul 6,3 persen dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (46,85 persen suara). Angka itu pun terbalik dengan perolehan suara parpol pendukung capres di Pileg 9 April 2014. Jika perolehan suara parpol pendukung Jokowi-JK (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI) digabung, totalnya hanya 40,88 persen. Sedangkan parpol pendukung Prabowo-Hatta (Gerindra, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PBB) berjumlah 59,12 persen.

Artinya, Prabowo-Hatta seharusnya unggul sekitar 19 persen. Lagi, rakyat ternyata lebih memilih sosok pemimpin yang personal brand-nya kuat ketimbang calon yang dipasang elite parpol. Para pimpinan parpol boleh saja bermanuver di tataran elite, tetapi rakyatlah yang menentukan pemenangnya. Di tengah kian bosannya rakyat terhadap sepak terjang parpol, Mega/PDIP justru mencoba mencalonkan tokoh yang disukai rakyat dan menolak pilpres/pilkada elitis.

Perlu diingat, kemenangan Jokowi-JK di Pilpres 2014 tidak lepas dari citra Jokowi di Solo. Lalu, Jokowi bersama Ahok telah sempat membuat beberapa gebrakan di DKI, terutama dalam pelayanan birokrasi dan program penopang sosial. Sementara JK dikenal sebagai sosok yang tegas dan cepat dalam mengambil kebijakan sewaktu masih mendampingi SBY (wakil presiden 2004–2009). Peran penting JK juga nyata dalam upaya perdamaian di Aceh.

Mega dan PDIP menyadari bahwa semakin kuat citra calon presiden dan kepala daerah di masyarakat, semakin sedikit pula biaya untuk memenangkannya di ajang pilpres maupun pilkada. Pola suksesi itu pula yang ikut memperkuat citra PDIP. Sayang, citra PDIP dan Jokowi tercoreng oleh upaya pelemahan KPK pasca ditetapkannya calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka korupsi. Kasus BG, yang juga ajudan Mega semasa menjadi presiden, membuat para pimpinan KPK ramai-ramai dilaporkan ke Bareskrim Polri.

Pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjojanto) akhirnya dijadikan tersangka oleh Bareskrim. Anehnya, sebagian pelapor pejabat KPK atau saksi berasal dari PDIP dan koalisinya seperti Hasto Kristiyanto (Plt Sekjen PDIP), Sugianto Sabran (anggota DPR dari PDIP), dan Zainal Tahir (caleg Nasdem). Tak tertutup kemungkinan kasus pelemahan KPK membuat citra PDIP yang sudah sempat menguat bisa memudar di mata publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar