Manajemen Politik Mega Pasca-Kiemas
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 09 April 2015
KONGRES IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang
dimulai hari ini (9/4) di Bali dipastikan akan mengukuhkan lagi Megawati
Soekarnoputri sebagai ketua umum untuk periode 2015–2020. Menurut pihak PDIP,
pengukuhan itu merupakan hasil konsolidasi kepemimpinan partai mulai tingkat
bawah yang secara bulat merekomendasi Mega –sapaan akrab Megawati
Soekarnoputri– untuk kembali memimpin PDIP.
Mengapa Mega? Selain meneruskan trah Soekarno, Mega memang sudah
berhasil mengantarkan PDIP menjadi peraih suara terbanyak dalam Pemilihan
Umum Legislatif (Pileg) 2014. Selama berada di luar pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono (2009–2014), Mega berhasil menyusun kekuatan
politik sekaligus melahirkan kader pemimpin nasional (Presiden Joko
Widodo/Jokowi) dan lokal seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo serta
Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.
Pasca ditinggal Ketua Dewan Pertimbangan PDIP Taufiq Kiemas
(TK), Mega memang terkesan lebih fokus dan mandiri dalam penentuan haluan
gerak politik partai. Bahkan, komunikasi politik Mega dengan SBY kembali
membeku sepeninggal TK, suami Mega. Sebab, TK merupakan tokoh penting dalam
menjembatani PDIP dengan pemerintahan SBY (Partai Demokrat) selama kurun
waktu sepuluh tahun. Publik bisa membaca adanya perbedaan arah politik yang
cukup kentara antara Mega dan TK sejak SBY menjadi presiden pada 2004.
Guyonannya, meskipun di keluarga tetap harmonis, arah politik
bisa saja berbeda. Misalnya, dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, TK secara
terang-terangan tidak mendukung Jokowi sebagai kandidat gubernur, sedangkan
Mega mendukung Jokowi. Menurut TK, PDIP harus cerdas dan tegas dengan
mendukung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) karena mereka
dinilai paling tahu kondisi Jakarta. Ini tentu membuat Mega berada dalam
pilihan yang sulit.
Jokowi yang waktu itu masih wali kota Solo memberikan opsi
kepada PDIP, yaitu maju sebagai calon gubernur DKI atau tidak sama sekali
(bukan calon wakil gubernur). Akhirnya Mega tetap meminta Jokowi maju sebagai
calon gubernur DKI. Selain itu, TK pernah melontarkan usul ke Mega supaya
mencalonkan orang lain (bukan Jokowi) dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres)
2014. Lalu, apa beda gerak politik Mega dan TK?
Politik Grassroots yang
Ternoda
Kepemimpinan Mega pasca-Taufiq Kiemas memang cenderung menimbang
kalkulasi politik berdasar keinginan
grassroots (akar rumput) ketimbang pola lobi-lobi politik yang bersifat
elitis. Mega justru mulai membudayakan pola pencalonan kader berdasar
prestasi yang telah dirasakan masyarakat. Sementara Kiemas cenderung
menerapkan kalkulasi politik berdasar jumlah kursi di DPR/DPRD sekaligus
melakukan manuver dan lobi-lobi politik secara elitis.
Namun, Mega telah membuktikan bahwa pendekatan elitis dalam
pilpres/pilkada sudah tidak efektif. Dalam pilkada DKI Jakarta putaran II,
Jokowi-Ahok yang hanya diusung PDIP dan Gerindra ternyata berhasil
mengalahkan Foke-Nara yang diusung koalisi partai-partai besar (Demokrat,
PAN, Golkar, PPP, PKB, dan PKS). Waktu itu Jokowi-Ahok meraih 53,82 persen
suara, sedangkan Foke-Nara 46,18 persen suara. Rakyat memilih tokoh, bukan
partai.
Pendekatan grassroots itu pula yang terjadi dalam Pilpres 2014.
Jokowi-Jusuf Kalla (JK) berhasil meraih 53,15 persen suara atau unggul 6,3
persen dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (46,85 persen suara).
Angka itu pun terbalik dengan perolehan suara parpol pendukung capres di
Pileg 9 April 2014. Jika perolehan suara parpol pendukung Jokowi-JK (PDIP,
Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI) digabung, totalnya hanya 40,88 persen.
Sedangkan parpol pendukung Prabowo-Hatta (Gerindra, Golkar, PKS, PAN, PPP,
dan PBB) berjumlah 59,12 persen.
Artinya, Prabowo-Hatta seharusnya unggul sekitar 19 persen.
Lagi, rakyat ternyata lebih memilih sosok pemimpin yang personal brand-nya
kuat ketimbang calon yang dipasang elite parpol. Para pimpinan parpol boleh
saja bermanuver di tataran elite, tetapi rakyatlah yang menentukan
pemenangnya. Di tengah kian bosannya rakyat terhadap sepak terjang parpol,
Mega/PDIP justru mencoba mencalonkan tokoh yang disukai rakyat dan menolak
pilpres/pilkada elitis.
Perlu diingat, kemenangan Jokowi-JK di Pilpres 2014 tidak lepas
dari citra Jokowi di Solo. Lalu, Jokowi bersama Ahok telah sempat membuat
beberapa gebrakan di DKI, terutama dalam pelayanan birokrasi dan program
penopang sosial. Sementara JK dikenal sebagai sosok yang tegas dan cepat
dalam mengambil kebijakan sewaktu masih mendampingi SBY (wakil presiden
2004–2009). Peran penting JK juga nyata dalam upaya perdamaian di Aceh.
Mega dan PDIP menyadari bahwa semakin kuat citra calon presiden
dan kepala daerah di masyarakat, semakin sedikit pula biaya untuk
memenangkannya di ajang pilpres maupun pilkada. Pola suksesi itu pula yang
ikut memperkuat citra PDIP. Sayang, citra PDIP dan Jokowi tercoreng oleh
upaya pelemahan KPK pasca ditetapkannya calon Kapolri Komjen Budi Gunawan
(BG) sebagai tersangka korupsi. Kasus BG, yang juga ajudan Mega semasa
menjadi presiden, membuat para pimpinan KPK ramai-ramai dilaporkan ke
Bareskrim Polri.
Pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjojanto) akhirnya
dijadikan tersangka oleh Bareskrim. Anehnya, sebagian pelapor pejabat KPK
atau saksi berasal dari PDIP dan koalisinya seperti Hasto Kristiyanto (Plt
Sekjen PDIP), Sugianto Sabran (anggota DPR dari PDIP), dan Zainal Tahir
(caleg Nasdem). Tak tertutup kemungkinan kasus pelemahan KPK membuat citra
PDIP yang sudah sempat menguat bisa memudar di mata publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar