Belajar dari Iran
Zuhairi Misrawi ; Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah
The Middle East Institute
|
KOMPAS,
10 April 2015
Negara Islam di Irak dan Suriah menjadi momok yang menakutkan
bagi dunia saat ini. Pasalnya, mereka tidak hanya eksis di Irak dan Suriah,
tetapi juga mempunyai jaringan yang relatif kuat di berbagai belahan dunia.
Yang mutakhir, aksi sandera di museum Bardo, Tunisia, dan aksi
bom bunuh diri di Masjid San'a, Yaman, yang menewaskan ratusan warga sipil
yang sedang melaksanakan shalat Jumat diakui sebagai aksi NIIS. Aksi biadab
mereka ini sama sekali tak bisa dinalar dengan menggunakan peranti keislaman
dan kemanusiaan. Bagaimana mungkin seseorang atau kelompok yang
mengatasnamakan Islam membunuh orang-orang yang sedang melaksanakan shalat
Jumat. Sungguh, ini titik nadir peradaban kemanusiaan karena NIIS melakukan
kekerasan dengan menggunakan jubah agama di tempat sakral dan pada hari yang
sakral pula.
Sementara itu, NIIS semakin agresif merekrut kader-kader pejuang
NIIS melalui media sosial. Menurut survei yang dirilis Brooking Institute, negara-negara yang paling banyak melakukan
kicauan di Twitter yang menggambarkan dukungan kepada NIIS, yaitu Arab Saudi,
Suriah, Irak, AS, Mesir, Kuwait, Turki, Palestina, Lebanon, Inggris, dan
Tunisia.
Kita sendiri belum menjadi negara yang darurat NIIS dari segi
dukungan melalui media sosial. Mayoritas publik di negeri ini memandang NIIS
sebagai gerakan yang tidak layak eksis dan berkembang di negara Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, fakta 16 WNI yang ditangkap Pemerintah Turki karena
hendak menyeberang ke Suriah, yang diduga kuat akan ikut serta dengan NIIS,
mengejutkan semua pihak, baik pemerintah maupun publik. Rupanya, setelah
munculnya video ajakan untuk bergabung dengan NIIS tahun lalu dan baiat di
salah satu masjid di Ciputat, agresivitas kaki tangan NIIS di negeri ini
tidak benar-benar lumpuh. Bahkan, justru menunjukkan fakta sebaliknya, yaitu
rekrutmen dan pihak-pihak yang siap bergabung dengan NIIS di Suriah dan Irak.
Fakta ini semestinya membangkitkan kesadaran bersama, baik
pemerintah maupun masyarakat, agar tak main-main dengan fenomena proliferasi
NIIS. Sejujujurnya, mereka yang ingin bergabung dengan NIIS jumlahnya masih
relatif sedikit. Namun, mereka yang punya ideologi serupa NIIS jumlahnya
relatif besar. Realitas inilah yang dijadikan NIIS momentum menjadikan
Indonesia pasar potensial untuk rekrutmen dan kaderisasi NIIS.
Strategi Iran
Harus diakui, Iran salah satu negara di Timur Tengah yang saat
ini paling steril dari NIIS. Dengan populasi penduduk relatif besar dan
potensi yang kuat untuk diinfiltrasi NIIS, Iran dinyatakan berhasil
membentengi dirinya dari pengaruh NIIS. Apalagi, Iran saat ini musuh utama
NIIS karena mayoritas penduduknya menganut paham Syiah. Namun, sekali lagi,
NIIS tak mampu menginjakkan kaki di bumi berperadaban tinggi itu.
Pertama, Iran berhasil membangun kesadaran bersama perihal
bahaya NIIS. Kesadaran dibangun melalui ceramah, diskusi, dan seminar, bahkan
konferensi internasional yang digelar setiap tahun dengan mengundang ribuan
ulama dari berbagai penjuru dunia. Jauh sebelum muculnya NIIS, Pemimpin
Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menegaskan perihal ancaman kaum
takfiri, yaitu mereka yang dengan mudah mengafirkan paham/kelompok lain yang
tidak sepaham, baik dalam intra-agama maupun antar-agama. Menurut Khamenei,
mereka hakikatnya ingin memecah belah umat Islam dan mencoreng citra Islam
yang ramah, damai, dan toleran (rahmatan
lil 'alamin).
Cara yang digunakan Iran dengan membangun kesadaran bersama yang
didukung Pemimpin Tertinggi, pemerintah, dan ulamanya terbukti sangat
efektif. Harus diakui, NIIS pada mulanya adalah paham yang menawarkan angin
surga perihal "Negara Islam". Setiap orang akan mudah tertarik pada
NIIS karena menghadirkan kembali impian lama penuh misteri itu. Faktanya,
mereka yang tak paham sejarah Islam akan mudah didoktrin dengan "Negara
Islam".
Atas dasar itu, Iran melakukan kritik sangat telak terhadap NIIS
bahwa yang ingin dihadirkan sesungguhnya bukan glorifikasi atas Negara Islam,
melainkan ingin meraih ambisi kekuasaan dengan mengatasnamakan Islam.
Ironisnya, NIIS melakukannya dengan menebarkan kekerasan dan kebencian
terhadap sesama Muslim sekaligus non-Muslim. Bahkan, Iran memandang NIIS
hakikatnya boneka yang dibuat pihak asing untuk menimbulkan kekacauan di
dunia Islam. Komitmen pemerintah dan keterlibatan para ulama dalam memerangi
paham NIIS salah satu cara ampuh agar paham ekstrem ini tidak meluas.
Kedua, Iran menjadikan kebudayaan sebagai salah satu peranti
untuk menangkal segala paham yang identik dengan ekstremisme dan terorisme.
Iran dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai peradaban besar dengan
kebudayaan yang tinggi. Sastra, film, dan berbagai industri kreatif lainnya
dibangun untuk memperkokoh kesadaran kaum muda untuk mencintai negara,
membangun kebersamaan, dan tidak mudah putus asa.
Mottaqi, mantan Menteri Luar Negeri Iran, menegaskan kepada
penulis, salah satu cara Iran melawan terorisme dengan menghidupkan kecintaan
pada seni dan kreativitas. Misalnya, karpet buatan Iran yang dikenal sangat
istimewa itu dibuat selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sepintas,
pembuatan karpet itu hal biasa, tetapi di dalamnya terkandung filosofi
tinggi, yaitu mengasah kreativitas, imajinasi, intuisi, plus kesabaran.
Mereka yang bekerja tulus membuat karpet tak akan mudah tergiur janji-janji
palsu kaum ekstremis dan teroris.
Ketiga, Iran berhasil membangun ekonomi berbasis pada
kesejahteraan sosial. Kita tahu, Iran sudah lama diembargo negara-negara
Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa. Mereka tak bisa menjual minyak
yang menjadi salah satu kekayaan mereka.
Iran tidak melihat embargo sebagai tantangan, melainkan justru sebagai
kekuatan untuk membangun revolusi mental dengan mengambil inspirasi dari
revolusi yang dipimpin Imam Khamenei. Selama kurun waktu 36 tahun pasca
Revolusi Islam, Iran berhasil meningkatkan pendapatan negara dari sektor
pertanian, ilmu pengetahuan, dan industri kreatif.
Jika kita berkunjung ke Iran, akan takjub dengan pembangunan
yang sangat pesat, yang tidak hanya berpusat di Kota Teheran, ibu kota Iran.
Di beberapa provinsi lain akan terlihat denyut pembangunan, yang disesuaikan
dengan potensi daerah. Iran berhasil membangun negara dari pinggiran.
Maka dari itu, tidak ada salahnya jika kita mau belajar dari
Iran dalam mengantisipasi proliferasi NIIS di negeri ini. Pendekatan yang
diambil pemerintah sebaiknya tidak bersifat parsial, apalagi artifisial.
Memikulkan beban NIIS kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan
Polri hampir bisa dikatakan akan
berakhir dengan kegagalan. Apalagi, kita belum mempunyai payung hukum yang
efektif memberikan efek jera bagi mereka yang menyebarkan dan bergabung
dengan NIIS.
Sejatinya, pemerintah mengambil langkah-langkah yang tidak hanya
berjangka pendek, melainkan berjangka panjang. Karena itu, pemerintah harus
merangkul para ulama, budayawan, dan kalangan profesional. NIIS harus dilawan
dengan gagasan besar dan langkah-langkah yang bersifat komprehensif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar