Waspadai Paham Radikal
Azyumardi Azra
; Guru Besar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan AIPI dan Council on Faith, World
Economic Forum, Davos
|
KOMPAS,
07 April 2015
Bahwa Indonesia sejak masa demokrasi 1998 yang penuh euforia
keterbukaan dan kebebasan telah menjadi ranah terbuka bagi berbagai jaringan
transnasional sulit dibantah. Jaringan narkoba internasional, kriminalitas
lintas negara, sampai paham dan gerakan transnasional keagamaan radikal bebas
memasuki Tanah Air.
Apakah sikap radikal itu? Dalam berbagai kamus,
"radikal" sebagai kata sifat yang berarti "secara mencolok
menyerukan atau meninggalkan cara biasa untuk kemudian mengikuti paham serta
cara revolusioner dan ekstrem guna perubahan menyeluruh yang berdampak luas
dan panjang". Sementara radikalisme adalah ideologi yang memercayai
perubahan menyeluruh hanya bisa dilakukan dengan cara radikal, tidak dengan
cara evolusioner dan damai.
Sikap radikal dan ideologi radikalisme secara historis terkait
awalnya dengan politik, khususnya sayap kiri sejak masa Revolusi Perancis
(1787-1789). Pengertian ini terus berkembang sehingga mencakup tidak hanya radical left atau radical right dalam politik, tetapi juga bidang keagamaan (religious radical). Meski tidak baru,
bahkan muncul lebih dulu daripada Revolusi Perancis, radikalisme keagamaan
menemukan kembali momentum sejak pertengahan 1980-an ketika berbagai agama
mengalami kebangkitan agama (religious
revivalism) menantang modernitas dan sekularisme.
Penyebaran berbagai jaringan radikal dalam masa kontemporer
jelas lebih cepat. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan antarnegara yang
kian mudah dan murah, dan lebih lagi karena informasi dan komunikasi instan
melalui dunia maya atau internet, telepon genggam, dan televisi.
Dalam beberapa hari belakangan terjadi perdebatan tentang situs
radikal yang diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika. Semula
jumlahnya 22 situs, tetapi kemudian menjadi 19 situs. Situs-situs itu
dianggap mengandung gagasan dan paham radikal, khususnya terkait Negara Islam
di Irak dan Suriah (NIIS) yang dapat berdampak negatif terhadap kehidupan
keagamaan dan kebangsaan.
Sementara aktivis dari beberapa ormas atau lembaga Islam
mengklaim, pemblokiran itu merupakan pemberangusan situs-situs Islam atau
bahkan Islam. Klaim yang merupakan generalisasi ini perlu dicermati karena
secara tersirat dapat menampilkan sikap simpati atau condoning (merestui) situs-situs yang mengandung gagasan, paham,
dan praksis radikal.
Klaim seperti itu disebut Akil N Awan (2015), guru besar
kekerasan politik dan terorisme Royal Holloway Universitas London, sebagai
terkait "narasi umat yang terkepung (besieged
ummah)". Dalam kerangka ini, gerakan dan praksis radikal yang muncul
dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan asing yang
"berkonspirasi" menghancurkan Islam dan umatnya.
Pertimbangan ahli agama
Berbagai kajian (Awan,
2015; Barton, 2015; Bagci, 2015) memperlihatkan, NIIS sangat mahir
menggunakan dunia maya untuk rekrutmen pendukung dan radikalisasi diri (self radicalization). Karena itu,
situs-situs berbahasa Indonesia yang secara eksplisit atau implisit
memperlihatkan dukungan kepada NIIS atau paham dan gerakan radikal lain juga
potensial menjadi lokus rekrutmen dan radikalisasi. Karena itu, cukup beralasan
jika situs-situs semacam itu diblokir.
Namun, pemblokiran itu patut mempertimbangkan penilaian ahli
agama atau ulama yang memahami berbagai aspek substansi pemikiran dan gerakan
Islam. Pemblokiran tidak patut dilakukan hanya dengan "kata kunci"
tertentu semacam "NIIS" atau "radikal", yang hasilnya
secara gebyah-uyah memblokir semua situs yang mengandung istilah atau kata
kunci tersebut.
Seberapa besar bahaya paham radikal di Indonesia? Radikalisme
terkait Islam di Indonesia punya akar cukup panjang; pertama kali muncul
lewat gerakan Padri di Sumatera Barat sejak perempatan terakhir abad ke-18
yang berpuncak dengan Perang Padri melawan Belanda (1821-1837).
Bermula dengan upaya evolusioner dan damai di kalangan pengikut
Tarekat Syattariyah untuk lebih setia pada syari'ah dan fiqh, gerakan ini
berubah radikal ketika sebagian pendukung pembaruan mengadopsi paham dan
praksis ala Wahabi di Arab pada awal abad ke-19 yang dengan kekerasan dan
revolusioner menolak kompromi Islam dengan adat Minangkabau. Pasca Perang
Padri, tidak pernah ada lagi gerakan radikal dalam skala sama.
Tradisi Islam Wasatiyah
yang merupakan paradigma dan praksis dominan di Indonesia tidak bisa diubah
dengan paham dan praksis keagamaan radikal semacam gerakan Padri. Pembaruan
Islam Indonesia hanya bisa terjadi melalui evolusi dan secara damai yang
hasilnya tidak lain merupakan penguatan Islam
Wasatiyah.
Berkaca dari kegagalan gerakan Padri, tidak mengherankan jika di
tengah meningkatnya penyebaran paham radikal dalam dua dasawarsa terakhir,
paradigma dan praksis Islam Wasatiyah
Indonesia tidak tergoyahkan. Berkat ormas-ormas Wasatiyah, Indonesia
bukan lahan yang subur bagi paham dan praksis radikal.
Ormas Islam Wasatiyah Indonesia telah berulang kali menegaskan,
pemahaman dan praksis radikal NIIS menyimpang dari ajaran Islam rahmatan lil 'alamin. Selain
itu, entitas khilafah NIIS juga bertentangan dengan NKRI, Pancasila, dan
Bhinneka Tunggal Ika yang telah menjadi komitmen final umat Islam Indonesia.
Berbagai upaya perlu secara komprehensif dilakukan sejak dalam keluarga,
pertetanggaan, lembaga pendidikan, sampai lingkungan lebih luas, termasuk
dunia maya. Tak kurang pentingnya peran negara yang dengan otoritasnya
semestinya mencegah penyebaran paham radikal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar