Demokrasi dan Partai Politik
Ignas Kleden ; Sosiolog;
Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
10 April 2015
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di mata banyak pengamat asing,
demokrasi Indonesia saat ini berada dalam tahap perkembangan yang positif dan
layak diapresiasi. Pendapat ini merujuk beberapa realitas politik seperti
pelaksanaan pemilu yang demikian banyak pada tingkat kabupaten/kota,
provinsi, dan akhirnya pada tingkat nasional, yang berlangsung relatif aman dan
terkendali, tanpa menimbulkan gejolak atau kekerasan dan tidak membawa
kekacauan.
Dalam pada itu, pers Indonesia relatif bebas dan tidak mengalami
kekangan atau hambatan politik sebagaimana yang dapat dilihat pada beberapa
negara tetangga. Kebebasan berpendapat dan berkumpul dijamin, sementara
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan sipil tanpa direcoki intervensi
militer. Ada beberapa aksi teroris yang muncul secara sporadis di sana-sini,
tetapi keamanan umum tetap terjaga dan stabilitas politik tidak terganggu.
Secara rata-rata pendapat pengamat dan analis asing lebih optimistis
dibandingkan dengan opini dan kritik pengamat dalam negeri yang setiap saat
mempertanyakan pelaksanaan demokrasi.
Inkonsistensi politik
Salah satu pertanyaan yang perlu mendapat perhatian ialah
hubungan di antara partai-partai politik dan perkembangan demokrasi. Semua
kita tahu bahwa dalam demokrasi tak langsung yang diterapkan di hampir semua
negara modern, termasuk Indonesia, partai politik jadi pilar utama dan
terpenting bagi terlaksananya demokrasi perwakilan. Rakyat tak dapat
memerintah secara langsung seperti di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi.
Untuk memungkinkan terlaksananya pemerintahan, rakyat harus memercayakan
hak-hak politiknya kepada para wakilnya di DPR, sementara para wakil rakyat
ini direkrut melalui partai-partai politik yang ada dan memenuhi syarat untuk
dipilih.
Di sini muncul pertanyaan yang memperlihatkan suatu
inkonsistensi politik. Kalau benar pendapat para pengamat asing bahwa
demokrasi Indonesia mengalami perkembangan positif, mengapa gerangan
partai-partai politik yang menjadi pendukung utama demokrasi tidak bisa
dikatakan berada dalam perkembangan yang positif juga? Mengapa demokrasi
dalam sistem politik Indonesia tidak diimbangi hidupnya internal demokrasi
dalam kalangan partai politik? Mengapa stabilitas politik dalam demokrasi
Indonesia tidak diimbangi dengan stabilitas politik dalam partai politik yang
cenderung mengalami perpecahan ke dalam (internal
fractioning) sebagaimana terjadi pada Golkar dan PPP saat ini? Dalam
politik nasional seorang presiden dan wakil presiden dapat dipilih secara
bebas, sementara partai-partai politik besar, seperti PDI-P atau Demokrat,
masih berdebat tentang perlu tidaknya ada calon tunggal ketua umum di kongres
partai mereka.
Diskrepansi ini selayaknya jadi perhatian partai-partai politik
dalam kaitan dengan peran mereka sebagai pilar utama demokrasi tak langsung.
Kita berhadapan dengan kemungkinan munculnya dua pertanyaan. Pertama,
bagaimana menjelaskan demokrasi Indonesia dapat stabil, sementara
partai-partai politik yang jadi soko gurunya tidak memperlihatkan stabilitas
politik dalam dirinya? Dari mana integrasi politik nasional diperoleh,
sementara partai-partai politik selalu diancam disintegrasi politik? Mengapa
kebebasan memilih dapat terjamin dan terlaksana dengan baik dalam politik
nasional, sementara kebebasan memilih dalam partai-partai politik relatif
terkekang?
Kedua, jangan-jangan kita harus mengubah pendapat bahwa partai
politik yang de jure merupakan pilar demokrasi, de facto tidak ada
sumbangannya terhadap demokrasi Indonesia. Secara lebih tajam, partai-partai
politik di Indonesia tidak ada peranannya dalam produksi demokrasi di
Indonesia, tetapi hanya jadi konsumen utama demokrasi yang diproduksi oleh
kekuatan-kekuatan sosial lainnya, seperti media, kelompok masyarakat sipil,
gerakan mahasiswa dan kalangan akademisi, gerakan buruh dan nelayan, gerakan
kaum perempuan dan berbagai kelompok penekan yang muncul silih berganti dalam
perkembangan politik.
Dalam kilas balik asumsi ini dapat diuji dengan dua pengalaman
politik. Pertama, dengan adanya Dekrit Presiden pada Juli 1959, hampir semua
kekuasaan politik jadi terpusat pada diri Presiden Soekarno yang melansir
sistem Demokrasi Terpimpin setelah Konstituante dibubarkan dan UUD 1945
diberlakukan kembali. Trias Politika praktis dibekukan karena Soekarno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi beranggapan: tata negara dengan pembagian
kekuasaan ke dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak sesuai dengan tujuan
revolusi yang menghendaki perubahan cepat dengan cara ”menjebol dan
membangun” (sic). Perkembangan ini
jelas menggelisahkan kaum demokrat seperti Mohamad Hatta yang menulis risalah
kritis Demokrasi Kita, untuk menguraikan secara terbuka penyelewengan asas
demokrasi melalui sistem Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno.
Keadaan jadi tambah panas dan meruncing karena PKI dapat
membonceng kekuasaan Soekarno dan menimbulkan kekhawatiran terhadap dominasi
politik kiri yang akhirnya mengancam demokrasi. Kecemasan ini muncul terutama
di kalangan kelompok agama, khususnya Islam, dan menimbulkan rasa waswas di
kalangan militer. Dengan meletusnya Peristiwa 30 September 1965, mulai
terjadi kristalisasi politik antara pro-demokrasi dan pro-Demokrasi
Terpimpin. Presiden Soekarno dengan berbagai cara mengalami political
containment atau pengurungan politik dan kekuasaan politik beralih ke tangan
Jenderal Soeharto, yang kemudian diresmikan jadi Presiden RI.
Faktor obyektif lain yang mendorong jatuhnya Soekarno ialah kebangkrutan
ekonomi dengan inflasi yang melampaui 600 persen. Dengan situasi yang
demikian, Orde Baru praktis dibangun oleh tiga kekuatan utama: mahasiswa yang
tak bisa lagi menerima politik yang semakin otokratis; militer yang menjadi
kekuatan yang melumpuhkan politik kiri PKI; dan para teknokrat yang harus
memulihkan ekonomi yang amat merosot. Dalam perubahan politik ini, sukar
mencatat peranan berarti partai-partai politik dalam mendorong perubahan
politik ke arah yang lebih demokratis.
Kedua, reformasi politik 1998 menghentikan politik yang otoriter
dari Presiden Soeharto. Ketidakpuasan umum saat itu merupakan akumulasi dari
akibat beberapa praktik politik. Dari segi ideologis, kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat mengenai ideologi negara semakin hari makin terkekang
karena adanya keharusan mengikuti interpretasi tunggal versi rezim Soeharto
tentang Pancasila. Interpretasi tunggal ini disosialisasikan dengan biaya
negara yang tidak kecil melalui kursus Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) pada berbagai tingkat dalam birokrasi pemerintahan, serta
bahkan menjadi prasyarat bagi kenaikan pangkat dalam jenjang birokrasi.
Dari segi pemerintahan, makin meluas rasa cemas bahwa kesempatan
melaksanakan pemerintahan sipil yang diamanatkan oleh sistem demokrasi punya
prospek suram karena meluasnya intervensi militer dalam pemerintahan melalui
dwifungsi ABRI. Di satu pihak kalangan TNI tetap hidup dengan keyakinan bahwa
mereka bertumbuh bukan sebagai tentara profesional, melainkan sebagai tentara
pejuang yang bertempur bersama rakyat, hidup bersama rakyat dan bahkan
dilindungi oleh rakyat dalam perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Di pihak lain kalangan terpelajar, khususnya para mahasiswa, sangat sadar
militer adalah alat negara sehingga suatu pemerintahan dengan banyak
intervensi militer pada dasarnya bukanlah government
by the people, yaitu pemerintahan oleh rakyat, tetapi government by the state, yaitu
pemerintahan oleh negara. Sementara itu, partai politik dalam bentuk
multipartai mengalami penyederhanaan yang drastis. Pada Januari 1973, lima
partai yang berhaluan nasionalis mengalami fusi menjadi satu partai dalam
Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Demikian juga empat partai politik dengan
asas Islam mengalami fusi menjadi satu partai saja dalam PPP.
Penyederhanaan partai jelas memudahkan kontrol oleh pemerintah.
Bersama Golkar yang dianggap bukan partai politik, melainkan merupakan
Golongan Karya, tetapi mempunyai semua hak partai politik, rezim Presiden
Soeharto hanya perlu mengawasi dua partai politik, sambil mendesakkan
kemenangan Golkar dalam tiap pemilu. Pegawai negeri diharuskan menjadi
anggota Golkar dengan alasan monoloyalitas, sementara suara untuk Golkar dari
tiap institusi pemerintah dan lembaga negara diawasi secara ketat. Lembaga
pengawasan resmi seperti DPR dibuat tak berdaya di bawah kontrol eksekutif.
Pers diawasi dengan ketat dan tiap telepon dari pejabat ke redaksi
koran/majalah berita jadi alarm bahwa penerbitan koran dan majalah itu dapat
berakhir dengan ditariknya surat izin usaha penerbitan pers oleh Kementerian
Penerangan.
Semua ini menyebabnya meluasnya proses delegitimasi kekuasaan
Presiden Soeharto, yang mencapai titik nadirnya pada Mei 1998. Pada 13 Mei
1998, rakyat meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pada 18 Mei 1998,
mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR dan Ketua DPR/MPR Harmoko membuat
pernyataan agar Presiden mengundurkan diri. Dalam pada itu sejumlah menteri
kabinet mulai mengambil jarak dari Soeharto. Akhirnya, di luar dugaan banyak
orang, Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 pagi menyatakan mundur dan
menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie. Dengan itu dimulailah reformasi
politik di Indonesia, sebagai perubahan besar dalam politik di Indonesia
setelah peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru 32 tahun sebelumnya.
Sibuk dengan hal-hal kecil
Dalam dua perubahan politik yang besar ini, sulit sekali kita
dapat mencatat apa peran partai politik dalam mendorong perubahan,
dibandingkan dengan peran para mahasiswa misalnya. Lebih tepat untuk
mengatakan bahwa partai politik adalah pihak yang menikmati perubahan politik
yang digerakkan oleh kekuatan sosial lainnya. Mengapa demikian?
Kalau diperhatikan agak cermat, ada dua kecenderungan yang
semakin meluas dalam praktik politik kita dan tecermin juga dalam perilaku partai
politik. Pertama, kesibukan dengan diri sendiri cenderung lebih tinggi
intensitasnya daripada kemampuan membuka diri untuk dikonfrontasikan dengan
pengalaman-pengalaman dari luar. Sikap self-centered
ini menandai taraf kematangan yang belum tinggi, seperti halnya anak kecil
yang melihat dirinya sebagai pusat dunia sehingga segala sesuatu harus
disesuaikan dengan keinginannya. Sebagai contoh soal, anggota DPR kita cukup
sering melakukan studi banding ke luar negeri, tetapi belum pernah kita
mendengar/membaca laporan mereka tentang apa yang dipelajari dari parlemen
negara-negara lain yang mereka kunjungi. Tentulah akan berguna untuk kerja
DPR dan bagi pendidikan politik masyarakat luas kalau mereka bisa melaporkan
bagaimana parlemen negara lain melaksanakan tugas legislasi: berapa banyak UU
yang harus mereka hasilkan dalam satu tahun kerja, apa saja kriteria dalam
menentukan UU yang harus dibuat, bagaimana parlemen membuka kesempatan untuk
debat publik tentang sebuah RUU yang menjadi syarat terlaksananya demokrasi
deliberatif dan apakah ada sanksi kalau parlemen gagal menghasilkan jumlah UU
yang diharuskan.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang partai politik. Adakah
pelajaran yang dapat mereka peroleh dari kontak dan interaksi dengan partai
di negara lain? Misalnya tentang keuangan dan pembiayaan partai politik,
tentang institution building partai, tentang pendidikan politik para kader
partai, tentang pelaksanaan dan pengawasan demokrasi internal partai, tentang
perekrutan untuk posisi-posisi tertentu dalam struktur partai dan
kepemimpinan yang lebih demokratis dalam partai.
Hal kedua: trivialisme, yaitu kecenderungan untuk
sibuk dengan hal-hal kecil yang kurang penting karena ketiadaan perspektif
untuk melihat dan terlibat dalam suatu common
cause atau tujuan bersama yang besar yang harus diperjuangkan bersama. Pikiran dan orientasi pada suatu tujuan besar akan
merelatifkan berbagai hambatan oleh hal-hal kecil yang sering berhubung
dengan kepentingan diri. Dalam politik pun berlaku dalil: ekologi akan menyingkirkan
banyak unsur ekologi. Pengetahuan dan wawasan tentang ekologi politik akan
merelatifkan kepentingan-kepentingan kecil yang berhubung dengan tuntutan ego
setiap orang.
Semua ini memerlukan reorientasi besar dan determinasi yang kuat
dan bukan sesuatu yang given dalam
praktik politik. Kata Alexis de Tocqueville, a man cannot gradually enlarge his mind as he does his house.
Memperbesar dan memperluas rumah secara bertahap itu lebih mudah dilakukan
daripada memperluas pemikiran dan wawasan seseorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar