Sabtu, 11 April 2015

Yaman dan Perang Proxy Saudi-Iran?

Yaman dan Perang Proxy Saudi-Iran?

Indriana Kartini ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
KORAN SINDO, 09 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Perang di Yaman menambah deretan panjang konflik di kawasan Timur Tengah. Kali ini kekuatan asing yang diwakili koalisi negaranegara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan intervensi atas situasi politik dalam negeri Yaman.

Koalisi negara-negara Arab yang bergabung antara lain Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Bahrain, Maroko, Sudan, dan Yordania. Koalisi ini juga didukung oleh Turki, Pakistan, Mesir, AS, dan Israel. AS dalam hal ini memberikan dukungan intelijen dan logistik melalui the United States Central Command yang bertanggung jawab untuk wilayah Timur Tengah.

Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi menggelar serangan udara pada 26 Maret guna menghancurkan kekuatan militan Houthi atau kelompok Ansarullah yang berlatar belakang Syiah Zaydiyah dan sangat diperhatikan oleh Saudi.

Dinamika Politik Yaman

Yaman merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang terkena imbas Arab Spring 2011. Yaman merupakan negara termiskin di Dunia Arab. Yaman berada di peringkat keempat terendah dalam Human Development Index di Dunia Arab setelah Sudan, Djibouti, dan Mauritania.

Selain itu, Yaman juga berada di peringkat ke-146 dalam Corruption Perceptions Index menurut Transparansi Internasional 2010 dan peringkat ke-8 dalam Failed States Index pada 2012 (naik dua peringkat dari 2010). Jatuhnya ibu kota Yaman, Sanaa, ke tangan kelompok militan Houthi pada 21 September 2014 menandai babak baru dalam dinamika politik Yaman pasca-Revolusi 2011.

Kelompok Houthi berhasil menguasai ibu kota Yaman dan melemahkan pengaruh elite politik di masa rezim Ali Abdullah Saleh yang dijatuhkan pascarevolusi. Ironisnya, kelompok Houthi justru semakin kuat karena mendapat dukungan dari mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang masih menjadi aktor utama di Yaman meski telah dijatuhkan pada 2012.

Saleh disinyalir menggunakan unit militer yang masih loyal terhadapnya untuk membantu Houthi melawan kekuatan Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi yang kemudian meminta suaka ke Arab Saudi setelah dikuasai Sanaa oleh Houthi.

Kepentingan Arab Saudi

Kebijakan Arab Saudi di Yaman secara historis didorong oleh salah satu faktor yakni problem wilayah perbatasan sepanjang 1.800 km. Garis tegas perbatasan menjadi faktor permasalahan dan akhirnya didemarkasi pada Juni 2000 tatkala Yaman secara formal menerima kedaulatan Saudi atas provinsi wilayah selatan yakni Asir, Najran, dan Jizan yang sebelumnya menjadi bagian wilayah Imamate Yaman.

Sebaliknya, Saudi mengabaikan ambisinya memperluas teritorinya melalui Hadramaut hingga Laut Merah. Meski telah ada resolusi isu perbatasan, Saudi terus mengkhawatirkan bahwa rakyat Yaman tidak sepenuh hati menerima hilangnya tiga provinsi yang diambil alih Arab Saudi.

Arab Saudi juga telah diingatkan oleh perkembangan politik di Yaman sejak unifikasi pada 1990. Pengalaman liberalisasi politik di negara tetangganya, dengan adanya pemilu, persaingan partai, dan media yang relatif bebas, menjadi alarm bagi pemerintah otoritarian Saudi. Saudi juga khawatir akan gerakan Houthi di wilayah utara (Provinsi Saadah) dan mencurigai ada keterkaitan antara Houthi dan Iran.

Perang Proxy Saudi-Iran?

Jika dianalisis, intervensi Arab Saudi di Yaman didasari oleh beberapa faktor: pertama, pihak Arab Saudi mengklaim bahwa berdasarkan observasi melalui gambar satelit menunjukkan ada pemindahan rudal Scud ke wilayah perbatasan Saudi di utara Yaman (basis wilayah Houthi) yang diyakini dapat menjangkau wilayah Saudi.

Kedua, Saudi memandang kelompok Houthi sebagai boneka Iran. Riyadh sangat mengkhawatirkan masa depan Yaman di bawah kendali Houthi dan menyamakannya dengan kelompok Hizbullah di Lebanon.

Ketiga, situasi politik Yaman yang mengalami kekacauan dan diyakini akanmenjadi “negara gagal” (failed state ) dipandang oleh para pemimpin negaranegara Arab dapat mengancam keamanan regional Timur Tengah.

Keempat, perundingan nuklir Iran dengan lima negara anggota Dewan Keamanan PBB plus Jerman (P5+1), yang ditentang olah Arab Saudi, berhasil mencapai kesepakatan. Ini ditakutkan oleh Saudi karena dapat memarginalkan Saudi dan mengancam nilai strategis Saudi bagi AS.

Karena itu, Saudi berupaya memengaruhi atmosfer perundingan dengan menampilkan Iran sebagai “pengacau” keamanan di Timur Tengah. Pertanyaannya kemudian, apakah perang di Yaman bisa dikatakan sebagai perang proxy Saudi-Iran?

Apabila dianalisis, peran Iran di Yaman sebenarnya kurang signifikan. Ini didukung oleh beberapa faktor: pertama , Teheran memandang Yaman tidak memiliki nilai strategis bagi kepentingan nasional maupun ambisinya untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah.

Kedua, untuk melibatkan diri di negara miskin dan terpecah seperti Yaman justru akan sangat membebani Teheran, mengingat pasukan Iran hadir di Suriah dan Irak serta Iran masih menderita akibat sanksi ekonomi dari negara-negara Barat.

Ketiga, peran Iran lebih signifikan di Irak, Suriah, dan Lebanon ketimbang Yaman mengingat jaringan aliansi dengan negara-negara tersebut memberikan akses bagi Iran ke wilayah Mediterania dan perbatasan Israel. Khusus dengan kelompok Hizbollah di Lebanon, peran Iran sangat signifikan karena Teheran memandang sebagai partner strategis dalam menghadapi Israel.

Keempat, seandainya Saudi tidak melakukan intervensi dan Houthi berhasil membentuk pemerintahan di Yaman, Iran tidak serta-merta melibatkan diri dan menancapkan pengaruhnya mengingat Teheran tidak memiliki sumber daya yang memadai.

Karena itu, terlalu dini untuk memandang perang di Yaman sebagai bentuk perang proxy antara Saudi-Iran. Berdasarkan konteks politik lokal, kekerasan yang terjadi di Yaman merefleksikan kontestasi antara pihak mana yang akan menguasai negara dan siapa yang memenangkan status quo .

Perang ini juga bukan perang sektarian antara Sunni-Syiah, melainkan perang kekuatan yang tidak berimbang antara beberapa negara melawan faksi politik sebuah negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar