Yaman dan Perang Proxy Saudi-Iran?
Indriana Kartini ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 09 April 2015
Perang di Yaman menambah deretan panjang konflik di kawasan
Timur Tengah. Kali ini kekuatan asing yang diwakili koalisi negaranegara Arab
yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan intervensi atas situasi politik dalam
negeri Yaman.
Koalisi negara-negara Arab yang bergabung antara lain Uni Emirat
Arab, Kuwait, Qatar, Bahrain, Maroko, Sudan, dan Yordania. Koalisi ini juga
didukung oleh Turki, Pakistan, Mesir, AS, dan Israel. AS dalam hal ini
memberikan dukungan intelijen dan logistik melalui the United States Central Command yang bertanggung jawab untuk
wilayah Timur Tengah.
Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi menggelar serangan udara
pada 26 Maret guna menghancurkan kekuatan militan Houthi atau kelompok
Ansarullah yang berlatar belakang Syiah Zaydiyah dan sangat diperhatikan oleh
Saudi.
Dinamika Politik Yaman
Yaman merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang terkena
imbas Arab Spring 2011. Yaman merupakan negara termiskin di Dunia Arab. Yaman
berada di peringkat keempat terendah dalam Human Development Index di Dunia Arab setelah Sudan, Djibouti,
dan Mauritania.
Selain itu, Yaman juga berada di peringkat ke-146 dalam Corruption Perceptions Index menurut
Transparansi Internasional 2010 dan peringkat ke-8 dalam Failed States Index
pada 2012 (naik dua peringkat dari 2010). Jatuhnya ibu kota Yaman, Sanaa, ke
tangan kelompok militan Houthi pada 21 September 2014 menandai babak baru
dalam dinamika politik Yaman pasca-Revolusi 2011.
Kelompok Houthi berhasil menguasai ibu kota Yaman dan melemahkan
pengaruh elite politik di masa rezim Ali Abdullah Saleh yang dijatuhkan
pascarevolusi. Ironisnya, kelompok Houthi justru semakin kuat karena mendapat
dukungan dari mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang masih menjadi aktor
utama di Yaman meski telah dijatuhkan pada 2012.
Saleh disinyalir menggunakan unit militer yang masih loyal
terhadapnya untuk membantu Houthi melawan kekuatan Presiden Abd Rabbo Mansour
Hadi yang kemudian meminta suaka ke Arab Saudi setelah dikuasai Sanaa oleh
Houthi.
Kepentingan Arab Saudi
Kebijakan Arab Saudi di Yaman secara historis didorong oleh
salah satu faktor yakni problem wilayah perbatasan sepanjang 1.800 km. Garis
tegas perbatasan menjadi faktor permasalahan dan akhirnya didemarkasi pada
Juni 2000 tatkala Yaman secara formal menerima kedaulatan Saudi atas provinsi
wilayah selatan yakni Asir, Najran, dan Jizan yang sebelumnya menjadi bagian
wilayah Imamate Yaman.
Sebaliknya, Saudi mengabaikan ambisinya memperluas teritorinya
melalui Hadramaut hingga Laut Merah. Meski telah ada resolusi isu perbatasan,
Saudi terus mengkhawatirkan bahwa rakyat Yaman tidak sepenuh hati menerima
hilangnya tiga provinsi yang diambil alih Arab Saudi.
Arab Saudi juga telah diingatkan oleh perkembangan politik di
Yaman sejak unifikasi pada 1990. Pengalaman liberalisasi politik di negara
tetangganya, dengan adanya pemilu, persaingan partai, dan media yang relatif
bebas, menjadi alarm bagi pemerintah otoritarian Saudi. Saudi juga khawatir
akan gerakan Houthi di wilayah utara (Provinsi Saadah) dan mencurigai ada
keterkaitan antara Houthi dan Iran.
Perang Proxy Saudi-Iran?
Jika dianalisis, intervensi Arab Saudi di Yaman didasari oleh
beberapa faktor: pertama, pihak Arab Saudi mengklaim bahwa berdasarkan
observasi melalui gambar satelit menunjukkan ada pemindahan rudal Scud ke
wilayah perbatasan Saudi di utara Yaman (basis wilayah Houthi) yang diyakini
dapat menjangkau wilayah Saudi.
Kedua, Saudi memandang kelompok Houthi sebagai boneka Iran.
Riyadh sangat mengkhawatirkan masa depan Yaman di bawah kendali Houthi dan
menyamakannya dengan kelompok Hizbullah di Lebanon.
Ketiga, situasi politik Yaman yang mengalami kekacauan dan
diyakini akanmenjadi “negara gagal” (failed state ) dipandang oleh para
pemimpin negaranegara Arab dapat mengancam keamanan regional Timur Tengah.
Keempat, perundingan nuklir Iran dengan lima negara anggota
Dewan Keamanan PBB plus Jerman (P5+1), yang ditentang olah Arab Saudi,
berhasil mencapai kesepakatan. Ini ditakutkan oleh Saudi karena dapat
memarginalkan Saudi dan mengancam nilai strategis Saudi bagi AS.
Karena itu, Saudi berupaya memengaruhi atmosfer perundingan
dengan menampilkan Iran sebagai “pengacau” keamanan di Timur Tengah.
Pertanyaannya kemudian, apakah perang di Yaman bisa dikatakan sebagai perang
proxy Saudi-Iran?
Apabila dianalisis, peran Iran di Yaman sebenarnya kurang
signifikan. Ini didukung oleh beberapa faktor: pertama , Teheran memandang
Yaman tidak memiliki nilai strategis bagi kepentingan nasional maupun
ambisinya untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah.
Kedua, untuk melibatkan diri di negara miskin dan terpecah
seperti Yaman justru akan sangat membebani Teheran, mengingat pasukan Iran
hadir di Suriah dan Irak serta Iran masih menderita akibat sanksi ekonomi
dari negara-negara Barat.
Ketiga, peran Iran lebih signifikan di Irak, Suriah, dan Lebanon
ketimbang Yaman mengingat jaringan aliansi dengan negara-negara tersebut
memberikan akses bagi Iran ke wilayah Mediterania dan perbatasan Israel.
Khusus dengan kelompok Hizbollah di Lebanon, peran Iran sangat signifikan
karena Teheran memandang sebagai partner strategis dalam menghadapi Israel.
Keempat, seandainya Saudi tidak melakukan intervensi dan Houthi
berhasil membentuk pemerintahan di Yaman, Iran tidak serta-merta melibatkan
diri dan menancapkan pengaruhnya mengingat Teheran tidak memiliki sumber daya
yang memadai.
Karena itu, terlalu dini untuk memandang perang di Yaman sebagai
bentuk perang proxy antara Saudi-Iran. Berdasarkan konteks politik lokal,
kekerasan yang terjadi di Yaman merefleksikan kontestasi antara pihak mana
yang akan menguasai negara dan siapa yang memenangkan status quo .
Perang ini juga bukan perang sektarian antara Sunni-Syiah,
melainkan perang kekuatan yang tidak berimbang antara beberapa negara melawan
faksi politik sebuah negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar