Tragedi Kemanusiaan dari Yaman
Andi Purwono
; Dosen
Hubungan Internasional, Dekan FISIP
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 28 Maret 2015
RANGKAIAN bom
meledak di dua masjid Syiah di Yaman saat berlangsung shalat jumat (20/3)
yang menewaskan 142 orang dan melukai 345 lainnya. Militan Islamic State (IS)
di Yaman mengklaim bertanggung jawab atas aksi bom bunuh diri itu dengan
target pendukung milisi Syiah Houthi. Kecaman internasional pun bermunculan,
termasuk dari Arab Saudi, AS, dan PBB.
Mengapa kejadian mengerikan itu terus berlanjut dan mendesakkah intervensi
internasional bagi krisis Yaman?
Selain
sebagai identitas, agama sering berperan sebagai sumber legitimasi kekuatan
pembenar meskipun kadang bagi tindakan yang keliru. David Little dalam
tulisannya ‘’Religious Militancy’’ (1996) menyebut fenomena ini sebagai
intoleransi yang kasar. Fox dan Sandler dalam buku Bringing Religion Into
International Relations (2004: 38) menyebut sebagai mekanisme pertahanan diri
yang diperlukan.
Dalam konteks
itu, bom di Masjid Badr Sanaa dan Masjid Al Hashahush Yaman terjadi dan
menjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan. Terlepas dari kebenaran apakah IS
pelakunya, kombinasi sentimen agama dan motif politik tersirat secara jelas
dari pernyataan IS Yaman yang menganggap kelompok Syiah Houthi kafir dan ia
akan terus memberantasnya.
Pada saat
bersamaan ia juga menyebut tindakannya sebagai bagian dari upaya menghentikan
campur tangan Safavid (Iran) di Yaman. Islamic
State cabang Yaman didirikan pada November 2014 dan diragukan koordinasi
komandonya untuk mengerakkan serangan itu. Amerika misalnya, meragukan IS
berada di balik serangan karena kelompok itu kerap mengaku bertanggung jawab
hanya untuk propaganda.
Dua masjid
itu memang digunakan oleh pendukung gerakan pemberontak Zaidi dari kelompok
Syiah Houthi yang menguasai Sanaa. Al Houthi adalah gerakan Syiah Saidiah di
utara Yaman yang dibentuk sekitar 1980-an dan terus memerangi pemerintah
untuk memperjuangkan hak sipil mereka. Mereka memprotes aksi pemerintah yang
membatasi kelompok ini dari aktivitas agama dan politik.
Warga Syiah Yaman sejak lama mengalami
diskriminasi seperti tidak diberi hak mendirikan sekolah agama khusus Syiah,
pembakaran buku Syiah seperti Nahjul Balaghah dan Shahifah Sajjadiah,
pelarangan perayaan khas Syiah seperti Idul Ghadir dan lainnya. Mayoritas
penduduk Yaman bermazhab Sunni dan sekitar 42% penduduk Yaman bermazhab
Syiah, terutama Zaidiyah yang mayoritas lalu Ismailiyah dan Itsna Asyari.
Fragmentasi
identitas makin akut ketika masuk ke ranah politik. Kelompok Houthi yang
memberontak kini mengontrol 21
provinsi di Yaman dan mengakibatkan instabilitas politik. Dibantu pasukan
setia mantan presiden Ali Abdullah Saleh, mereka merebut ibu kota Sanaa pada
September 2014 sehingga Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi melarikan diri ke
kota pelabuhan selatan Aden.
Kekosongan Pemerintahan
Pembicaraan
antara Houthi dan faksi-faksi politik utama Yaman untuk mencari jalan keluar
gagal mencapai kesepakatan. Situasi makin tidak menentu setelah terjadi
kekosongan pemerintahan sejak presiden mengundurkan diri pada Januari lalu.
Pemberontak Houthi telah membubarkan parlemen pada awal Februari lalu dan
menunjuk sebuah dewan sebagai presiden.
Legitimasi
Houthi di ranah domestik sebenarnya rendah sebagaimana terlihat dari puluhan
ribu warga Yaman (24/1) yang turun ke jalan menentangnya. Di tingkat
regional, legitimasi juga lemah sebagaimana tercermin dari sikap negara Arab
seperti Bahrain, Oman, Qatar, UEA, Arab Saudi, dan Kuwait yang bulan lalu
menyerukan urgensi keterlibatan dunia internasional guna merespons krisis
politik Yaman. Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) pada 15 Maret lalu bahkan sepakat
menjadikan Saudi sebagai tuan rumah untuk mengakhiri krisis Yaman.
Namun dalam
situasi krisis politik berbasis fragmentasi identitas, intervensi
internasional yang netral mutlak diperlukan. Kelompok Sunni menuduh peran dan
dukungan Iran terhadap Houthi, sebaliknya kelompok Houthi menuduh Arab
berpihak dalam transformasi Yaman. Ini yang ditakutkan oleh Presiden Mansour
Hadi bahwa baik ekstremis Syiah Houthi maupun
ekstremis Sunni Al-Qaedah terlibat menghancurkan stabilitas Yaman.
Dewan
Keamanan PBB telah menyelenggarakan pertemuan di New York (22/3) untuk
membicarakan situasi di Yaman. Ini sekaligus merespons surat Presiden Mansour
Hadi yang meminta intervensi lembaga itu. Kita menanti langkah PBB sebagai
cermin masyarakat internasional agar krisis Yaman segera berakhir. Dari
krisis Yaman kita belajar betapa mahal
persatuan dan berharganya perasaan menghargai perbedaan. Agama
bukanlah alasan untuk saling meniadakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar