Rabu, 01 April 2015

Tragedi Kemanusiaan dari Yaman

Tragedi Kemanusiaan dari Yaman

Andi Purwono  ;  Dosen Hubungan Internasional, Dekan FISIP
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

RANGKAIAN bom meledak di dua masjid Syiah di Yaman saat berlangsung shalat jumat (20/3) yang menewaskan 142 orang dan melukai 345 lainnya. Militan Islamic State (IS) di Yaman mengklaim bertanggung jawab atas aksi bom bunuh diri itu dengan target pendukung milisi Syiah Houthi. Kecaman internasional pun bermunculan, termasuk dari  Arab Saudi, AS, dan PBB. Mengapa kejadian mengerikan itu terus berlanjut dan mendesakkah intervensi internasional bagi krisis Yaman?

Selain sebagai identitas, agama sering berperan sebagai sumber legitimasi kekuatan pembenar meskipun kadang bagi tindakan yang keliru. David Little dalam tulisannya ‘’Religious Militancy’’ (1996) menyebut fenomena ini sebagai intoleransi yang kasar. Fox dan Sandler dalam buku Bringing Religion Into International Relations (2004: 38) menyebut sebagai mekanisme pertahanan diri yang diperlukan.

Dalam konteks itu, bom di Masjid Badr Sanaa dan Masjid Al Hashahush Yaman terjadi dan menjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan. Terlepas dari kebenaran apakah IS pelakunya, kombinasi sentimen agama dan motif politik tersirat secara jelas dari pernyataan IS Yaman yang menganggap kelompok Syiah Houthi kafir dan ia akan terus memberantasnya.

Pada saat bersamaan ia juga menyebut tindakannya sebagai bagian dari upaya menghentikan campur tangan Safavid (Iran) di Yaman. Islamic State cabang Yaman didirikan pada November 2014 dan diragukan koordinasi komandonya untuk mengerakkan serangan itu. Amerika misalnya, meragukan IS berada di balik serangan karena kelompok itu kerap mengaku bertanggung jawab hanya untuk propaganda.

Dua masjid itu memang digunakan oleh pendukung gerakan pemberontak Zaidi dari kelompok Syiah Houthi yang menguasai Sanaa. Al Houthi adalah gerakan Syiah Saidiah di utara Yaman yang dibentuk sekitar 1980-an dan terus memerangi pemerintah untuk memperjuangkan hak sipil mereka. Mereka memprotes aksi pemerintah yang membatasi kelompok ini dari aktivitas agama dan politik.

Warga  Syiah Yaman sejak lama mengalami diskriminasi seperti tidak diberi hak mendirikan sekolah agama khusus Syiah, pembakaran buku Syiah seperti Nahjul Balaghah dan Shahifah Sajjadiah, pelarangan perayaan khas Syiah seperti Idul Ghadir dan lainnya. Mayoritas penduduk Yaman bermazhab Sunni dan sekitar 42% penduduk Yaman bermazhab Syiah, terutama Zaidiyah yang mayoritas lalu Ismailiyah dan Itsna Asyari.

Fragmentasi identitas makin akut ketika masuk ke ranah politik. Kelompok Houthi yang memberontak kini mengontrol  21 provinsi di Yaman dan mengakibatkan instabilitas politik. Dibantu pasukan setia mantan presiden Ali Abdullah Saleh, mereka merebut ibu kota Sanaa pada September 2014 sehingga Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi melarikan diri ke kota pelabuhan selatan Aden.

Kekosongan Pemerintahan

Pembicaraan antara Houthi dan faksi-faksi politik utama Yaman untuk mencari jalan keluar gagal mencapai kesepakatan. Situasi makin tidak menentu setelah terjadi kekosongan pemerintahan sejak presiden mengundurkan diri pada Januari lalu. Pemberontak Houthi telah membubarkan parlemen pada awal Februari lalu dan menunjuk sebuah dewan sebagai presiden.

Legitimasi Houthi di ranah domestik sebenarnya rendah sebagaimana terlihat dari puluhan ribu warga Yaman (24/1) yang turun ke jalan menentangnya. Di tingkat regional, legitimasi juga lemah sebagaimana tercermin dari sikap negara Arab seperti Bahrain, Oman, Qatar, UEA, Arab Saudi, dan Kuwait yang bulan lalu menyerukan urgensi keterlibatan dunia internasional guna merespons krisis politik Yaman. Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) pada 15 Maret lalu bahkan sepakat menjadikan Saudi sebagai tuan rumah untuk mengakhiri krisis Yaman.

Namun dalam situasi krisis politik berbasis fragmentasi identitas, intervensi internasional yang netral mutlak diperlukan. Kelompok Sunni menuduh peran dan dukungan Iran terhadap Houthi, sebaliknya kelompok Houthi menuduh Arab berpihak dalam transformasi Yaman. Ini yang ditakutkan oleh Presiden Mansour Hadi bahwa baik ekstremis Syiah Houthi maupun  ekstremis Sunni Al-Qaedah terlibat menghancurkan stabilitas Yaman.

Dewan Keamanan PBB telah menyelenggarakan pertemuan di New York (22/3) untuk membicarakan situasi di Yaman. Ini sekaligus merespons surat Presiden Mansour Hadi yang meminta intervensi lembaga itu. Kita menanti langkah PBB sebagai cermin masyarakat internasional agar krisis Yaman segera berakhir. Dari krisis Yaman kita belajar betapa mahal  persatuan dan berharganya perasaan menghargai perbedaan. Agama bukanlah alasan untuk saling meniadakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar