Sabtu, 11 April 2015

Partai Demokrasi Minus Regenerasi

Partai Demokrasi Minus Regenerasi

Victor Silaen ;  Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan 
KORAN SINDO, 09 April 2015

Ada beberapa hal yang mengherankan dari sistem demokrasi di Indonesia. Pertama, masa jabatan presiden dan kepala daerah dibatasi hanya boleh dua kali berturut-turut. Tetapi, mengapa masa jabatan wakil rakyat (DPR, DPD, dan DPRD) tak ada batasnya? Kedua, partai politik adalah elemen yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Buktinya, partai selalu berperan penting dalam mengusung calon-calon pemimpin di aras lokal maupun nasional.

Di aras lokal, sejak 2007, memang telah dibuka peluang bagi calon independen atau perseorangan untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah. Tetapi, mengapa untuk maju menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dari jalur independen atau perseorangan itu tidak bisa?

Ketiga, jika partai politik merupakan elemen sangat penting dalam sistem demokrasi, mengapa ketua umum partai juga tidak dibatasi masa jabatannya? Mengapa elite politik seperti Megawati Soekarnoputri bisa terus-menerus memimpin PDI Perjuangan sejak 1999?
Merujuk pemikiran Giovanni Sartori (1976), partai politik yang modern memiliki empat ciri: 1) partai harus terbuka; 2) partai memiliki ideologi yang demokratis; 3) partai memiliki sistem regenerasi yang teratur; 4) partai mempunyai sistem kaderisasi yang baik.

Terkait PDI Perjuangan dengan Megawati yang telah lebih dari 15 tahun menjadi ketua umum, tidakkah itu menunjukkan sistem regenerasi mengalami kemacetan? Kaderisasi, fungsi lainnya, tak dapat disangkal selama ini berjalan lancar di PDI Perjuangan.

Buktinya, ada banyak kader yang telah mengalami mobilitas politik di tubuh partai, termasuk yang mengisi posisi-posisi strategis di lembaga legislatif dan eksekutif. Namun, khusus untuk posisi ketua umum partai, mengapa tak pernah terjadi pergantian? Herannya, bahkan untuk Kongres Ke-4 PDI Perjuangan di Bali, 9-12 April ini, sudah bisa dipastikan dari sekarang bahwa posisi ketua umum partai akan tetap dipegang oleh Megawati.

Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan, selama ini saban kongres pengukuhan kembali Megawati dilakukan saat akhir kongres. Dalam kongres mendatang pengukuhan kembali Megawati sebagai “imam politik” partai berlambang banteng moncong putih itu akan dilakukan awal kongres.

Atas dasar itulah, kita bisa mengatakan, salah satu agenda kongres partai yang mestinya sangat penting, yakni memilih ketua umum, menjadi tak penting lagi. Jauh sebelum kongres berlangsung pun siapa yang kelak menjadi ketua umum untuk periode berikutnya sudah bisa dipastikan.

Tidakkah nilai dan makna demokrasi di partai yang memakai nama “demokrasi” ini menjadi pupus karenanya? Tidakkah demokrasi merupakan ciri politik modern? Tetapi, mengapa di dalam sebuah partai yang melabeli dirinya demokrasi tidak ada regenerasi?

Sebagian orang berkata, itulah aklamasi, dan aklamasi juga bagian dari demokrasi. Betulkah itu? Pertama, demokrasi di ranah pilih-memilih pemimpin (election) mestinya mengedepankan voting atau hitung suara. Untuk itu, seharusnya ada lebih dari satu calon untuk dipilih. Kalau cuma satu, jelas tak perlu ada election. Kalau tak ada election, benarlah Trimedya: di awal kongres sudah bisa dikukuhkan bahwa ketua umum PDI Perjuangan periode berikutnya adalah Megawati.

Pertanyaannya, mengapa tak ada calon alternatif selain Megawati? Apakah tak ada kader lain yang mampu? Tentu saja ada, bahkan cukup banyak. Tetapi, mengapa mereka tak dimajukan? Mungkinkah ada “tekanan” dari ketua umum incumbent yang didukung oleh para loyalisnya di partai?

Kata seorang kader yang juga anggota DPR di salah satu stasiun televisi swasta baru-baru ini:

“Kami yang mengenal ketua umum kami. Jadi tidak benar penilaian dari para pengamat bahwa ada tekanan dari ketua umum kami kepada kaderkader yang ingin maju menjadi calon ketua umum.” Betul, “orang dalam” partai pasti lebih mengenal ketua umumnya daripada para pengamat yang hanya mencermati dari luar. Tetapi, secara ilmiah ada metode penelitian untuk melakukan cek dan ricek sebuah kebenaran yang disebut triangulasi.

Untuk itu, justru bukan “orang dalam” yang harus didengarkan, melainkan “orang-orang luar” (setidaknya tiga pihak) yang juga tahu betul bagaimana Megawati selama ini di partai. Sebutlah, misalnya, Permadi, Roy BB Janis, Dimyati Hartono, Kwik Kian Gie, Eros Djarot, Arifin Panigoro, dan lainnya.

Kedua, aklamasi bisa saja diterima sebagai bagian dari demokrasi asalkan didahului dengan ditetapkannya lebih dari satu calon untuk dipilih. Misalkan selain Megawati ada kader lain yang diajukan sebagai calon ketua umum, tapi ternyata hasil voting memenangkan Megawati secara mutlak (suara bulat). Ini jelas harus diterima sebagai hasil yang sesuai prosedur demokrasi di ranah election.

Namun, jika sejak awal calonnya hanya satu, itu bukan aklamasi namanya karena election juga tak ada. Jadi yang penting dalam sebuah election adalah kontestasi dan kompetisi. PDI Perjuangan yang selama ini mengklaim diri sebagai partai wong cilik mestinya membuka diri terhadap dinamika aspirasi masyarakat.

Cermatilah, misalnya, hasil survei pakar dan opinion leader Poltracking pertengahan Maret lalu dalam menyongsong Kongres PDI Perjuangan. Menurut Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda, hasil survei merekomendasikan Jokowi untuk menjadi ketua umum PDI Perjuangan.

Selain itu, ada nama-nama lain seperti Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Hasto Kristiyanto, Tjahyo Kumolo, Maruarar Sirait, Prananda Prabowo, dan Puan Maharani. Sementara hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan, PDI Perjuangan berada di persimpangan jalan.

Dari seluruh ketua dan sekretaris DPC partai di daerah yang ditanyakan tentang apakah yang pantas memimpin PDI Perjuangan harus berasal dari trah Soekarno, diperoleh hasil bahwa yang setuju hanya 57,4% responden. Sedangkan di luar trah Soekarno, Jokowi mendapat respons dari 47,3% yang mengatakan dia pantas memimpin meski tidak berasal dari trah Soekarno.

Berdasarkan itu, mungkin inilah saatnya kita menyatakan dua hal penting ini demi keberlangsungan modernisasi politik dalam sistem demokrasi dan sistem kepartaian di Indonesia. Pertama, usangkanlah gerontokrasi (kepemimpinan di tangan kaum tua). Kedua, tinggalkanlah dinasti politik.

Jika dua hal ini tidak mendapat perhatian serius dari para elite politik PDI Perjuangan, bukan tak mungkin seiring waktu akan terjadi proses pembusukan politik (political decay) di tubuh partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar