Partai Demokrasi Minus Regenerasi
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
KORAN SINDO, 09 April 2015
Ada beberapa hal yang mengherankan dari sistem demokrasi di
Indonesia. Pertama, masa jabatan presiden dan kepala daerah dibatasi hanya
boleh dua kali berturut-turut. Tetapi, mengapa masa jabatan wakil rakyat
(DPR, DPD, dan DPRD) tak ada batasnya? Kedua, partai politik adalah elemen
yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Buktinya, partai selalu berperan
penting dalam mengusung calon-calon pemimpin di aras lokal maupun nasional.
Di aras lokal, sejak 2007, memang telah dibuka peluang bagi
calon independen atau perseorangan untuk mengajukan diri sebagai calon kepala
daerah atau calon wakil kepala daerah. Tetapi, mengapa untuk maju menjadi
calon presiden atau calon wakil presiden dari jalur independen atau
perseorangan itu tidak bisa?
Ketiga, jika partai politik merupakan elemen sangat penting
dalam sistem demokrasi, mengapa ketua umum partai juga tidak dibatasi masa
jabatannya? Mengapa elite politik seperti Megawati Soekarnoputri bisa
terus-menerus memimpin PDI Perjuangan sejak 1999?
Merujuk pemikiran Giovanni Sartori (1976), partai politik yang
modern memiliki empat ciri: 1) partai harus terbuka; 2) partai memiliki
ideologi yang demokratis; 3) partai memiliki sistem regenerasi yang teratur;
4) partai mempunyai sistem kaderisasi yang baik.
Terkait PDI Perjuangan dengan Megawati yang telah lebih dari 15
tahun menjadi ketua umum, tidakkah itu menunjukkan sistem regenerasi
mengalami kemacetan? Kaderisasi, fungsi lainnya, tak dapat disangkal selama
ini berjalan lancar di PDI Perjuangan.
Buktinya, ada banyak kader yang telah mengalami mobilitas
politik di tubuh partai, termasuk yang mengisi posisi-posisi strategis di
lembaga legislatif dan eksekutif. Namun, khusus untuk posisi ketua umum
partai, mengapa tak pernah terjadi pergantian? Herannya, bahkan untuk Kongres
Ke-4 PDI Perjuangan di Bali, 9-12 April ini, sudah bisa dipastikan dari
sekarang bahwa posisi ketua umum partai akan tetap dipegang oleh Megawati.
Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan, selama ini
saban kongres pengukuhan kembali Megawati dilakukan saat akhir kongres. Dalam
kongres mendatang pengukuhan kembali Megawati sebagai “imam politik” partai
berlambang banteng moncong putih itu akan dilakukan awal kongres.
Atas dasar itulah, kita bisa mengatakan, salah satu agenda
kongres partai yang mestinya sangat penting, yakni memilih ketua umum,
menjadi tak penting lagi. Jauh sebelum kongres berlangsung pun siapa yang
kelak menjadi ketua umum untuk periode berikutnya sudah bisa dipastikan.
Tidakkah nilai dan makna demokrasi di partai yang memakai nama
“demokrasi” ini menjadi pupus karenanya? Tidakkah demokrasi merupakan ciri
politik modern? Tetapi, mengapa di dalam sebuah partai yang melabeli dirinya
demokrasi tidak ada regenerasi?
Sebagian orang berkata, itulah aklamasi, dan aklamasi juga
bagian dari demokrasi. Betulkah itu? Pertama, demokrasi di ranah pilih-memilih
pemimpin (election) mestinya
mengedepankan voting atau hitung suara. Untuk itu, seharusnya ada lebih dari
satu calon untuk dipilih. Kalau cuma satu, jelas tak perlu ada election. Kalau tak ada election, benarlah Trimedya: di awal
kongres sudah bisa dikukuhkan bahwa ketua umum PDI Perjuangan periode
berikutnya adalah Megawati.
Pertanyaannya, mengapa tak ada calon alternatif selain Megawati?
Apakah tak ada kader lain yang mampu? Tentu saja ada, bahkan cukup banyak.
Tetapi, mengapa mereka tak dimajukan? Mungkinkah ada “tekanan” dari ketua
umum incumbent yang didukung oleh
para loyalisnya di partai?
Kata seorang kader yang juga anggota DPR di salah satu stasiun
televisi swasta baru-baru ini:
“Kami yang mengenal ketua
umum kami. Jadi tidak benar penilaian dari para pengamat bahwa ada tekanan
dari ketua umum kami kepada kaderkader yang ingin maju menjadi calon ketua
umum.” Betul, “orang dalam” partai pasti lebih
mengenal ketua umumnya daripada para pengamat yang hanya mencermati dari
luar. Tetapi, secara ilmiah ada metode penelitian untuk melakukan cek dan
ricek sebuah kebenaran yang disebut triangulasi.
Untuk itu, justru bukan “orang dalam” yang harus didengarkan,
melainkan “orang-orang luar” (setidaknya tiga pihak) yang juga tahu betul
bagaimana Megawati selama ini di partai. Sebutlah, misalnya, Permadi, Roy BB
Janis, Dimyati Hartono, Kwik Kian Gie, Eros Djarot, Arifin Panigoro, dan
lainnya.
Kedua, aklamasi bisa saja diterima sebagai bagian dari demokrasi
asalkan didahului dengan ditetapkannya lebih dari satu calon untuk dipilih.
Misalkan selain Megawati ada kader lain yang diajukan sebagai calon ketua
umum, tapi ternyata hasil voting memenangkan Megawati secara mutlak (suara
bulat). Ini jelas harus diterima sebagai hasil yang sesuai prosedur demokrasi
di ranah election.
Namun, jika sejak awal calonnya hanya satu, itu bukan aklamasi
namanya karena election juga tak ada. Jadi yang penting dalam sebuah election
adalah kontestasi dan kompetisi. PDI Perjuangan yang selama ini mengklaim
diri sebagai partai wong cilik mestinya membuka diri terhadap dinamika
aspirasi masyarakat.
Cermatilah, misalnya, hasil survei pakar dan opinion leader
Poltracking pertengahan Maret lalu dalam menyongsong Kongres PDI Perjuangan.
Menurut Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda, hasil survei
merekomendasikan Jokowi untuk menjadi ketua umum PDI Perjuangan.
Selain itu, ada nama-nama lain seperti Ganjar Pranowo, Pramono
Anung, Hasto Kristiyanto, Tjahyo Kumolo, Maruarar Sirait, Prananda Prabowo,
dan Puan Maharani. Sementara hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
menyebutkan, PDI Perjuangan berada di persimpangan jalan.
Dari seluruh ketua dan sekretaris DPC partai di daerah yang
ditanyakan tentang apakah yang pantas memimpin PDI Perjuangan harus berasal
dari trah Soekarno, diperoleh hasil bahwa yang setuju hanya 57,4% responden.
Sedangkan di luar trah Soekarno, Jokowi mendapat respons dari 47,3% yang
mengatakan dia pantas memimpin meski tidak berasal dari trah Soekarno.
Berdasarkan itu, mungkin inilah saatnya kita menyatakan dua hal
penting ini demi keberlangsungan modernisasi politik dalam sistem demokrasi
dan sistem kepartaian di Indonesia. Pertama, usangkanlah gerontokrasi (kepemimpinan di tangan kaum tua). Kedua,
tinggalkanlah dinasti politik.
Jika dua hal ini tidak mendapat perhatian serius dari para elite
politik PDI Perjuangan, bukan tak mungkin seiring waktu akan terjadi proses
pembusukan politik (political decay)
di tubuh partai. ●
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
KORAN SINDO, 09 April 2015
|
Ada beberapa hal yang mengherankan dari sistem demokrasi di
Indonesia. Pertama, masa jabatan presiden dan kepala daerah dibatasi hanya
boleh dua kali berturut-turut. Tetapi, mengapa masa jabatan wakil rakyat
(DPR, DPD, dan DPRD) tak ada batasnya? Kedua, partai politik adalah elemen
yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Buktinya, partai selalu berperan
penting dalam mengusung calon-calon pemimpin di aras lokal maupun nasional.
Di aras lokal, sejak 2007, memang telah dibuka peluang bagi
calon independen atau perseorangan untuk mengajukan diri sebagai calon kepala
daerah atau calon wakil kepala daerah. Tetapi, mengapa untuk maju menjadi
calon presiden atau calon wakil presiden dari jalur independen atau
perseorangan itu tidak bisa?
Ketiga, jika partai politik merupakan elemen sangat penting
dalam sistem demokrasi, mengapa ketua umum partai juga tidak dibatasi masa
jabatannya? Mengapa elite politik seperti Megawati Soekarnoputri bisa
terus-menerus memimpin PDI Perjuangan sejak 1999?
Merujuk pemikiran Giovanni Sartori (1976), partai politik yang
modern memiliki empat ciri: 1) partai harus terbuka; 2) partai memiliki
ideologi yang demokratis; 3) partai memiliki sistem regenerasi yang teratur;
4) partai mempunyai sistem kaderisasi yang baik.
Terkait PDI Perjuangan dengan Megawati yang telah lebih dari 15
tahun menjadi ketua umum, tidakkah itu menunjukkan sistem regenerasi
mengalami kemacetan? Kaderisasi, fungsi lainnya, tak dapat disangkal selama
ini berjalan lancar di PDI Perjuangan.
Buktinya, ada banyak kader yang telah mengalami mobilitas
politik di tubuh partai, termasuk yang mengisi posisi-posisi strategis di
lembaga legislatif dan eksekutif. Namun, khusus untuk posisi ketua umum
partai, mengapa tak pernah terjadi pergantian? Herannya, bahkan untuk Kongres
Ke-4 PDI Perjuangan di Bali, 9-12 April ini, sudah bisa dipastikan dari
sekarang bahwa posisi ketua umum partai akan tetap dipegang oleh Megawati.
Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan, selama ini
saban kongres pengukuhan kembali Megawati dilakukan saat akhir kongres. Dalam
kongres mendatang pengukuhan kembali Megawati sebagai “imam politik” partai
berlambang banteng moncong putih itu akan dilakukan awal kongres.
Atas dasar itulah, kita bisa mengatakan, salah satu agenda
kongres partai yang mestinya sangat penting, yakni memilih ketua umum,
menjadi tak penting lagi. Jauh sebelum kongres berlangsung pun siapa yang
kelak menjadi ketua umum untuk periode berikutnya sudah bisa dipastikan.
Tidakkah nilai dan makna demokrasi di partai yang memakai nama
“demokrasi” ini menjadi pupus karenanya? Tidakkah demokrasi merupakan ciri
politik modern? Tetapi, mengapa di dalam sebuah partai yang melabeli dirinya
demokrasi tidak ada regenerasi?
Sebagian orang berkata, itulah aklamasi, dan aklamasi juga
bagian dari demokrasi. Betulkah itu? Pertama, demokrasi di ranah pilih-memilih
pemimpin (election) mestinya
mengedepankan voting atau hitung suara. Untuk itu, seharusnya ada lebih dari
satu calon untuk dipilih. Kalau cuma satu, jelas tak perlu ada election. Kalau tak ada election, benarlah Trimedya: di awal
kongres sudah bisa dikukuhkan bahwa ketua umum PDI Perjuangan periode
berikutnya adalah Megawati.
Pertanyaannya, mengapa tak ada calon alternatif selain Megawati?
Apakah tak ada kader lain yang mampu? Tentu saja ada, bahkan cukup banyak.
Tetapi, mengapa mereka tak dimajukan? Mungkinkah ada “tekanan” dari ketua
umum incumbent yang didukung oleh
para loyalisnya di partai?
Kata seorang kader yang juga anggota DPR di salah satu stasiun
televisi swasta baru-baru ini:
“Kami yang mengenal ketua
umum kami. Jadi tidak benar penilaian dari para pengamat bahwa ada tekanan
dari ketua umum kami kepada kaderkader yang ingin maju menjadi calon ketua
umum.” Betul, “orang dalam” partai pasti lebih
mengenal ketua umumnya daripada para pengamat yang hanya mencermati dari
luar. Tetapi, secara ilmiah ada metode penelitian untuk melakukan cek dan
ricek sebuah kebenaran yang disebut triangulasi.
Untuk itu, justru bukan “orang dalam” yang harus didengarkan,
melainkan “orang-orang luar” (setidaknya tiga pihak) yang juga tahu betul
bagaimana Megawati selama ini di partai. Sebutlah, misalnya, Permadi, Roy BB
Janis, Dimyati Hartono, Kwik Kian Gie, Eros Djarot, Arifin Panigoro, dan
lainnya.
Kedua, aklamasi bisa saja diterima sebagai bagian dari demokrasi
asalkan didahului dengan ditetapkannya lebih dari satu calon untuk dipilih.
Misalkan selain Megawati ada kader lain yang diajukan sebagai calon ketua
umum, tapi ternyata hasil voting memenangkan Megawati secara mutlak (suara
bulat). Ini jelas harus diterima sebagai hasil yang sesuai prosedur demokrasi
di ranah election.
Namun, jika sejak awal calonnya hanya satu, itu bukan aklamasi
namanya karena election juga tak ada. Jadi yang penting dalam sebuah election
adalah kontestasi dan kompetisi. PDI Perjuangan yang selama ini mengklaim
diri sebagai partai wong cilik mestinya membuka diri terhadap dinamika
aspirasi masyarakat.
Cermatilah, misalnya, hasil survei pakar dan opinion leader
Poltracking pertengahan Maret lalu dalam menyongsong Kongres PDI Perjuangan.
Menurut Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda, hasil survei
merekomendasikan Jokowi untuk menjadi ketua umum PDI Perjuangan.
Selain itu, ada nama-nama lain seperti Ganjar Pranowo, Pramono
Anung, Hasto Kristiyanto, Tjahyo Kumolo, Maruarar Sirait, Prananda Prabowo,
dan Puan Maharani. Sementara hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
menyebutkan, PDI Perjuangan berada di persimpangan jalan.
Dari seluruh ketua dan sekretaris DPC partai di daerah yang
ditanyakan tentang apakah yang pantas memimpin PDI Perjuangan harus berasal
dari trah Soekarno, diperoleh hasil bahwa yang setuju hanya 57,4% responden.
Sedangkan di luar trah Soekarno, Jokowi mendapat respons dari 47,3% yang
mengatakan dia pantas memimpin meski tidak berasal dari trah Soekarno.
Berdasarkan itu, mungkin inilah saatnya kita menyatakan dua hal
penting ini demi keberlangsungan modernisasi politik dalam sistem demokrasi
dan sistem kepartaian di Indonesia. Pertama, usangkanlah gerontokrasi (kepemimpinan di tangan kaum tua). Kedua,
tinggalkanlah dinasti politik.
Jika dua hal ini tidak mendapat perhatian serius dari para elite
politik PDI Perjuangan, bukan tak mungkin seiring waktu akan terjadi proses
pembusukan politik (political decay)
di tubuh partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar