Rabu, 01 April 2015

Timur Tengah dalam Pepatah

Timur Tengah dalam Pepatah

Novriantoni Kahar  ;  Pengamat Timur Tengah; Dosen Paramadina
KORAN TEMPO, 30 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Apa yang bisa kita simpulkan dari benang kusut yang kini melilit-lilit Timur Tengah? Kalau bagi saya, persoalannya sederhana saja: yang gatal kepala, yang digaruk malah punggung! Atau mungkin dapat juga disimpulkan dengan perkataan lain: lain yang sakit, lain pula yang dirawat. Kenapa bisa begitu, apa pula masalahnya?

Kalau kita ikuti urut-urutan pergolakan di sana secara saksama, tepatnya sejak rezim-rezim lapuk status quo mulai bertumbangan, dimulai oleh kaburnya Ben Ali dari Tunisia (14 Januari 2011), diikuti tergulingnya Husni Mubarak di Mesir (10 Februari 2011), disusul matinya Muammar Qadhafi (Agustus 2011), berlanjut ke hengkangnya Ali Abdullah Saleh dari Yaman (23 November 2012), lalu menjalar ke Bashar al-Assad yang masih liat saja di Suriah (sejak Januari 2012), sebetulnya penyakit Timur Tengah ini sudah jelas dan kentara: tak mau berkongsi di bidang kekuasaan. Dalam bahasa kerennya: power sharing.

Saya masih berpegang pada tesis ini, sampai ada tesis lain yang lebih tepercaya. Sebab, dari enam negara yang konon diterpa badai Musim Semi Arab sejak 2011, hanya Tunisia yang masih menjanjikan peralihan menuju demokrasi yang menjanjikan. Kuncinya: kemauan berbagi porsi kekuasaan secara damai di antara elite-elitenya. Makan nangka sama-sama, terkena getah pun sama-sama pula. Sebab, nangka yang dipanen pada masa peralihan ini tampaknya sangat bergetah, bahkan berdarah.

Nun dari Raqqa, Ibu Kota Khilafah, Al-Baghdadi mulai menjulurkan lengan-lengannya ke arah nangka yang mereka perebutkan. Di Bahrain, perebutan nangka reda sejak dini karena dititipkan untuk sementara di Kerajaan Saudi.

Pada nangka Suriah tak hanya terkandung getah, melainkan lebih banyak unsur darah. Sudah empat tahun nangka itu menyemburkan darahnya, dan sepertiga nangka-getah-darah itu kini justru dimangsa para petualang dari berbagai belahan dunia. Sepertiga nangka Suriah ini-oleh seorang yang kreatif bernama Al-Baghdadi-lalu dikawinkan dengan separuh nangka Irak yang tak lagi manis sejak diolah Amerika pada 2003. Namun gabungan nangka Suriah dan Irak ini justru melahirkan spesies nangka Khilafah yang diklaim akan utuh dan akan terus membesar.

Anehnya, para penguasa Timur Tengah sampai kini masih memandang remeh nangka Khilafah. Padahal spesies ini telah mengancam nangka-nangka dalam negeri mereka. Yang mereka persoalkan justru nangka Houthi asal Yaman yang mereka anggap berbau Persia. Dimotori Saudi, ramai-ramailah mereka menghantam nangka Yaman yang rupanya juga perpaduan jenis Houthi dan jenis Ali Salehi yang belum mati. Dan kalaupun ada aroma Persia sebagaimana nangka Suriah, ini tentulah jenis nangka yang agak liat.

Saya tak paham, akan ke mana arah sengitnya perebutan nangka yang kadang dianggap mengandung unsur Sunni-Syiah ini. Kalau persoalannya mereka benar-benar lapar, tentu akan lebih bijak bila mereka menanam dan merawat nangka bersama-sama. Bukan malah menebar getah atau malah memancitkan darahnya. Tapi entahlah, apalah saya. Mungkin hanya pungguk yang merindukan nangka!

Yang pasti saya khawatir, semua mereka semua justru hanya memperebutkan getah dan darah, sementara yang di sana asyik menonton pertunjukan mereka, sambil mengunyah apel Washington dan atau mengupas jeruk Tel Aviv!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar