Lee
Goenawan Mohamad
; Esais; Mantan
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
30 Maret 2015
Seorang pemimpin besar mangkat,
Lee Kuan Yew meninggal; setelah itu apa? Mudah-mudahan: sebuah kursi kosong.
Dunia mengakui betapa hebatnya
pembangun Singapura ini: ia meletakkan dasar yang membuat negerinya, bekas
koloni Inggris yang kecil itu, yang tak punya sumber kekayaan alam apa pun,
dalam 10 tahun terakhir mampu melampaui Amerika Serikat dalam kemakmuran.
Tapi mungkin melihat kemungkinan
itulah Lee justru cemas. Ia melihat dirinya bagian dari manusia yang
ulung-dan agaknya ia tak salah. Ia yakin benar akan kemampuannya memegang
wewenang tanpa harus menanyakan pendapat rakyat. "Tanpa ragu sedikit pun
saya mampu mengatur mereka jauh lebih efektif untuk kepentingan mereka."
Maka ia membangun politik
Singapura sebagai sebuah meritokrasi, bukan sebuah demokrasi. Negeri kecil
itu tak hendak dikelola dengan mengikuti suara rakyat, melainkan dengan
kualitas pemimpin yang unggul.
Lee: "Bila orang mengatakan,
'Ah, tanya saja pendapat rakyat!' itu ocehan kekanak-kanakan."
Lee tak percaya seorang penjual es
tahu konsekuensi dari suara yang diberikannya ketika pemilu. Di masyarakat, orang
lebih mendengarkan bujukan berlezat-lezat ketimbang seruan untuk bekerja
berat ("more to the carrot than to
the stick"). Di masa kampanye, politikus pun tak berani menghardik.
Dan itu biang sebuah masalah.
"Ketika dibutuhkan kerja yang lebih keras dan untung yang lebih kecil
untuk meningkatkan modal, prinsip satu-orang-satu-suara hanya menghasilkan
yang sebaliknya."
Dengan kata lain: demokrasi adalah
jalan ke kebangkrutan.
Yang tak hendak diakui orang
seperti Lee ialah bahwa apa pun kekurangan sebuah demokrasi, sistem ini bisa
jadi proses buat menempatkan seseorang ke dalam kekuasaan. Meritokrasi tak
menjelaskan dari mana para pemimpin-manusia yang ulung-datang.
Pada saat yang sama, meritokrasi
bertolak dari asumsi dasar bahwa manusia ulung itu langka.
"Aneh, tapi benar bahwa nasib
jutaan manusia sering berkisar di sekitar kualitas,
kekuatan, dan visi
sejumlah kecil yang menentukan…," kata Lee dalam satu seminar.
"Mereka memutuskan apakah sebuah negeri mencapai kesatupaduan seraya
maju dengan teratur, atau berantakan dan merosot jadi chaos."
Di situ juga awal rasa cemas Lee.
Pada 1966 ia mengakui, seluruh pemerintahan Singapura terbangun dari the key
digits yang terbatas, dari satu "lapis yang tipis". Seluruh tata
laksana pemerintahannya berjalan berdasarkan "kemampuan dan
dedikasi" sekitar 150 orang saja. Bila ada yang ingin menghancurkan
masyarakat ini, kata Lee pula, tinggal kenali saja orang yang 150 itu dan
bunuh mereka. Ketika pada 1971 angka 150 manusia ulung itu jadi 300, Lee
berteori tentang satu kemungkinan buruk yang lain: "Bila ke-300 orang
itu berada dalam sebuah pesawat jet jumbo dan jatuh, Singapura akan
runtuh."
Tapi terutama bukan karena
kemungkinan bencana macam itu Lee cemas. Ia melihat apa yang negatif dari
rasa tenteram. Kian makmur Singapura, kian aman, tenang, dan stabil republik
kecil itu, makin terbuka pula pilihan bagi generasi mudanya untuk tak hanya
memilih dunia politik jika mereka ingin jadi pemimpin. Apalagi ketika makin
tak ada keinginan membuat perubahan politik.
Ketika saya mewawancarainya di
awal 1970-an, Lee mengutarakan rasa cemas itu. Yang saya dengar sebenarnya
sebuah pernyataan off-the-record,
tapi kemudian ia mengemukakannya dalam sebuah pidato di depan kepala-kepala
sekolah: "Problem saya adalah begitu banyaknya sekarang kesempatan
membangun karier, dan bila kita tak membuat bidang politik menawarkan
insentif yang lebih menarik, orang-orang terbaik kita akan masuk ke bidang
manajemen dan eksekutif [di dunia bisnis]." Akhirnya yang akan mengetuk
pintu politik hanyalah "para pemburu karier dengan mutu kelas dua".
Itu yang dilihat Lee di Eropa
Timur di bawah Partai Komunis. Generasi pertama orang-orang komunis siap
dipenjarakan Hitler, dan dengan ketangguhan itulah kepemimpinan teruji dan
terbentuk. Tapi setelah Partai Komunis berkuasa generasi berikutnya hanyalah
mereka yang bergabung ke dalam Partai karena mencari kedudukan.
Padahal seharusnya memasuki bidang
politik bukan untuk mendapatkan posisi. "Ini sebuah panggilan,"
kata Lee, "tak berbeda dengan kependetaan."
Dari sini tampak, Lee, seperti
sering dikatakan, menghidupkan kembali pandangan antidemokratik Plato: negara
idealnya dipimpin raja yang juga filosof yang ditopang satu lapisan
"wali penjaga". Para "wali penjaga" ini hidup tanpa harta;
hasrat mereka untuk "lebih" adalah hasrat ke arah keagungan. Dengan
itu mereka mengabdikan hidup sepenuhnya bagi masyarakat. Mereka berbeda
dengan lapisan sosial yang di bawah.
Pembagian sosial politik itu, juga
ketentuan tentang apa yang seharusnya dan yang tidak dalam struktur itu
(Rancière menyebutnya partage du
sensible), bertolak dengan asumsi bahwa legitimasi kekuasaan para
"wali penjaga" tak pantas dan tak akan digugat. Pandangan Lee, dan
agaknya juga Plato, cenderung menafikan sejarah: ada yang permanen dalam
sifat manusia.
Lee menyebutnya
"kebudayaan". Ketika ia anggap "kebudayaan Cina" lebih
unggul karena sifatnya lebih "intens" ketimbang "kebudayaan
Hindi" atau "Melayu", ia tak melihat bahwa
"kebudayaan" hanyalah jawaban kreatif manusia kepada tantangan yang
berubah. Bukan takdir.
Juga bukan takdir sebuah kaum
untuk melahirkan kelas pemimpin. Tak ada yang ulung yang kekal. Demokrasi,
apa pun cacatnya, tak punya nujum bahwa kekuasaan akan seutuhnya baik dan tak
berubah. Di sini memang ada ilusi, tapi tak banyak. Demokrasi
bergerak karena tiap kali seorang besar meninggal akan tampak ia hanya
penghuni sementara kursi yang kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar