Selasa, 14 April 2015

Rahasia Megawati

Rahasia Megawati

Asvi Warman Adam  ;  Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto University
KORAN TEMPO, 13 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Megawati Soekarnoputri terpilih kembali secara aklamasi menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan. Ia sudah memimpin partai berlambang banteng itu lebih dari 20 tahun. Apa rahasianya bisa bertahan lama dan partainya tetap solid?

PDI Perjuangan berasal dari fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba pada 1973. Secara teoretis, tentu sulit menyatukan aliran nasionalis, Protestan, dan Katolik itu dalam satu wadah. Hal ini terlihat dalam konflik pada awal fusi antar-unsur, bahkan intern unsur, terutama PNI.

Namun ada sebuah prinsip yang mempersatukan mereka. Semua berasal dari partai yang, meskipun mengakui dan menghormati agama, di dalam sidang Konstituante tahun 1957 menolak agama dijadikan dasar negara. Sejak 1966, rezim Orde Baru melakukan desukarnoisasi—segala sesuatu berbau Sukarno disingkirkan.

Tidak aneh jika 20 tahun setelah dibungkam, pada Pemilu 1987, ikon Sukarno menjadi pilihan rakyat, partai memperoleh lonjakan suara. Tekanan yang semakin keras dari penguasa, seperti yang terjadi dalam kasus penyerangan kantor PDI pada27 Juli 1996, menyebabkan pengurus dan kader partai semakin bersatu. Simpati rakyat muncul, terdengar suara "Mbak Mega, saya ikut sampeyan". Kini fusi itu sudah mengkristal dengan dijadikan PDI Perjuangan sebagai rumah besar kaum nasionalis yang bersifat pluralis, terbuka, dan toleran.

Berbeda dengan pemimpin partai lain, Megawati boleh dikatakan memimpin partai dari hari ke hari, tidak cuma lima tahun sekali. Ia mendisiplinkan pengurus dan kader partai sampai pada hal yang mungkin dianggap sepele, ruang rapat di kantor PDI Perjuangan Lenteng Agung tidak boleh berbau asap rokok. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PDI Perjuangan mengambil sikap oposisi. Konsekuensi sebagai partai oposisi, PDI Perjuangan tidak menempatkan para kadernya pada jabatan-jabatan struktural pemerintah/ eksekutif di tingkat nasional, termasuk kabinet. Dan ini dilaksanakan kader partai secara konsisten.

Yang menarik, Taufiq Kiemas membuat terobosan segar dengan menerima posisi sebagai pemimpin lembaga tinggi negara, yakni Ketua MPR. Selain itu, dapat pula diselenggarakan secara resmi peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni. Pada masa yang akan datang, seyogianya Presiden Joko Widodo menetapkan (kembali) tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.

Setelah menjadi oposisi selama dua periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, partai ini memenangi Pemilihan Umum 2014 yang dilengkapi dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden. Kemenangan ganda ini tidak terlepas dari perubahan yang dibuat, yakni mengambil "darah segar" dari luar pengurus partai.

Memang PDI Perjuangan tidak bisa dilepaskan dari Bung Karno, karena salah satu elemen utamanya adalah PNI yang didirikan oleh Sukarno pada 1927. Dipenjarakannya Sukarno pada 1930 menyebabkan partai yang didirikannya dibubarkan. Setelah Indonesia merdeka, PNI yang dibentuk kembali juga memiliki kedekatan dengan Bung Karno. Meletusnya peristiwa G30S/1965 yang disebut Bung Karno dengan "Gestok" menyebabkan secara bertahap kekuasaan Presiden Sukarno dipreteli dan PNI menjadi bulan-bulanan penguasa. Penyederhanaan partai yang dikehendaki rezim Orde Baru menyebabkan terjadinya fusi antara PNI dan beberapa partai lainnya pada 1973.

Setelah sekian lama memimpin partai dan putrinya sendiri menjadi pengurus utama partai, terdengar tudingan tentang dinasti Sukarno dalam PDI Perjuangan. Hal ini ditanggapi dengan kebijakan baru seperti yang disampaikan Megawati dalam pidato pada hari ulang tahun PDI Perjuangan di Palembang, 31 Januari 2008. Yaitu melakukan kombinasi dalam mengelola posisi partai yang memiliki massa tradisional yang masih melihat penting figur kharismatik di satu sisi, dengan tuntutan masyarakat yang lebih luas untuk menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai modern di sisi lain.

Untuk memenuhi sumber daya manusia yang kompeten, menurut Megawati, "kader partai harus ditingkatkan kualitasnya dengan dua cara: kaderisasi dan membuka diri terhadap 'darah segar'... Darah segar itu haruslah yang punya persamaan ideologi. Darah segar haruslah yang dapat memberi 'nilai tambah' bagi partai dan memperkuat barisan partai."

Jika PDI Perjuangan menjalankan politik dinasti, kata Jokowi, PDI Perjuangan tak mungkin mencalonkannya sebagai presiden pada pemilihan presiden 2014. "Saya itu regenerasi, bukan? Iya. Saya itu trah Bung Karno, bukan? Ndak kan? Jadi masa depan partai ini akan ditentukan dari keberhasilan melakukan pengkaderan dan mendapatkan darah segar."

Apakah darah segar itu akan terlihat dalam kepengurusan partai atau calon-calon kepala daerah mendatang? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar