Selasa, 14 April 2015

Cacing

Cacing

Goenawan Mohamad  ;  Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 13 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak
tiap-tiap makhluk pasti akhirnya menggerakkan tenaganya,
kalau ia sudah terlalu teraniaya oleh suatu daya angkara murka!"
Bung Karno, Indonesia Menggugat

Tiap kali ada yang berbicara bahwa tak ada yang universal pada manusia di latar yang berbeda-beda, tiap kali ada orang yang mengulang-ulang bahwa "nilai-nilai kita" berbeda dari "nilai-nilai Barat" dalam hasrat untuk adil dan merdeka, saya baca kembali Indonesia Menggugat. Kemudian saya baca juga yang lain, misalnya, kali ini, Liao Yiwu.

Pada suatu malam bulan Juni 1989, Liao Yiwu, seorang penyair Cina dari wilayah Sichuan di Tiongkok, terkejut ketika mendengar ribuan mahasiswa yang berhimpun di lapangan Tiananmen, di Beijing -- yang menuntut Partai Komunis yang berkuasa agar menegakkan demokrasi -- ditembaki tentara.

Malam itu Liao menulis sajaknya, "Pembantaian". Pedih dan marah. Ketika sajak itu ia bacakan, terdengar nada nyanyian berkabung, ungkapan ketidakberdayaan:

Tak ada pedang untuk diayun
Tubuhmu hanya sarung berkarat,
Tanganmu guyah. Tulangmu membusuk,
Matamu rabun, tak sanggup membidik

Liao tak hanya merekam bacaannya. Ia juga membuat sebuah film, Requiem, bersama beberapa temannya, sebagai tanda solidaritas dengan mereka yang terbunuh di Tiananmen.

Dalam The Corpse Walker, sebuah perkenalan dengan Liao dan karyanya, yang ditulis Wen Huang dan diterbitkan Pantheon Books, New York (2008), kita dapat mengetahui apa yang terjadi kemudian.

Liao ditangkap. Di dingin Februari 1990, ketika ia hendak naik kereta api ke Beijing, polisi menyeretnya turun. Enam orang penyair temannya, juga istrinya yang tengah hamil, ditahan. Liao dihukum empat tahun penjara.

Di dalam kurungan itu ia berkali-kali disetrap: dihajar dengan tongkat listrik, ditambat, diborgol seraya diperintahkan berdiri dengan satu kaki berjam-jam. Dalam sel yang terpencil, pernah tangannya dibelenggu di punggung selama 23 hari sampai ketiaknya menderita abses. Dalam keadaan yang tak tertahankan itu ia pernah dua kali mencoba bunuh diri.

Ketika akhirnya masa hukumannya dianggap berakhir, ia pulang ke rumahnya. Istrinya sudah tak di sana lagi, membawa pergi anak mereka. Kartu penduduknya dibatalkan; ia tak bisa dipekerjakan. Teman-temannya, sesama sastrawan, menghindarinya. Yang ada pada Liao cuma sebatang suling yang ia pelajari memainkannya selama dalam penjara. Dengan itu, tanpa pilihan lain, ia hidup di jalanan sebagai pengamen.

Tapi ia tak berhenti menulis. Dari hidup yang gentayangan itu ia menghimpun sajak-sajak yang ditulis para penyair 20 tahun sebelumnya -- sajak-sajak yang terlarang. Ketika himpunan sajak itu diterbitkan, ia disekap lagi. Seorang wakil perdana menteri RRT menganggap kumpulan puisi itu, Robohnya Kuil Suci, sebagai "usaha berencana menggulingkan pemerintah, didukung kelompok anti-Tiongkok".

Sejak itu, Liao kian terjepit. Ia mencari sesuap nasi dengan bekerja apa saja. Tapi justru sebab itu ia menemukan wilayah kehidupan yang lebih luas dan sama-sama ringsek -- kehidupan mereka yang dikenalnya sejak dalam penjara. Ia mewawancarai mereka satu per satu dan mengumpulkan interview itu dalam beberapa jilid dalam bentuk tanya-jawab: Wawancara dengan Orang-orang di Anak Tangga Terbawah.

Di sini kita akan menjumpai aneka ragam manusia dan kerja yang ditimpa dan ditempa sejarah Tiongkok: pengelola kakus umum, juru tangis perkabungan, bekas tuan tanah, pengikut Falun Gong, penyelundup orang. Mereka bagian diceng, anak-tangga terbawah dalam jenjang masyarakat. Dan terkutuk.
Buku itu, yang mula-mula diselundupkan ke Taiwan dan diterbitkan di sana, kemudian diambil Balai Penerbitan Yangtze, laku keras. Di Tiongkok, orang banyak menyukai kisah-kisah itu -- kisah sesama, kisah manusia.

Tapi dengan korban. Meskipun catatan-catatan Liao sudah disaring dan diperpendek, yang berkuasa tetap murka. Wawancara disingkirkan dari toko-toko buku. Editor Balai Penerbitan Yangtze dihukum. Seluruh staf redaksi mingguan yang mewawancarai Liao dan membahas bukunya dipecat.

Tampaknya penguasa, dengan semangat pembebasan modern, komunisme, tak bisa lepas dari sikap bertakhayul lama: bagi mereka, ada yang mengancam keselamatan dalam lembar kata-kata.

Hanya mereka itu lebih berkuasa ketimbang tokoh-tokoh diceng, yang juga hidup dan terguncang antara takhayul dan komunisme: terjepit kolektivisme lama dan kolektivisme baru, di mana seseorang -- sering salah disebut sebagai "individu" -- bisa diperlakukan bak seekor cacing yang mudah diinjak.

Tapi Liao menunjukkan, seakan-akan membuktikan kata Bung Karno dalam Indonesia Menggugat, bahkan dalam keanekaragamannya, si lemah yang seperti cacing pun seperti makhluk umumnya: akan bergerak, "berkelugat-keluget", bila merasa disakiti. Tak peduli cacing kiri atau cacing kanan, tak peduli di Timur atau di Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar