Selasa, 14 April 2015

Pengelolaan Gas Nasional

Pengelolaan Gas Nasional

Marwan Batubara  ;  Pengamat Energi dari Indonesian Resources Studies (IRESS)
KOMPAS, 13 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedang menyusun cetak biru pembangunan infrastruktur dan neraca gas nasional. Untuk itu, pemerintah telah membentuk Komite Gas yang berfungsi menyelesaikan berbagai masalah seputar pengelolaan gas yang meliputi alokasi, infrastruktur, pasokan, kebutuhan, agregator, hingga harga gas.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said (3/3) mengatakan, "Dalam jangka waktu 4-5 tahun ke depan, seluruh infrastruktur sudah terkoneksi secara lengkap dan gas bisa termanfaatkan dengan maksimal."

Rencana Kementerian ESDM itu layak diapresiasi sebab selama ini gas sebagai sumber energi murah dan bersih tidak termanfaatkan secara optimal di dalam negeri. Hal ini terjadi antara lain karena sumber gas dan konsumen gas tidak terhubung, pasokan tak tersedia, atau alokasi gas bermasalah. Permasalahan timbul akibat regulasi yang sangat liberal, penguasaan negara yang minim, dan upaya perbaikan oleh pemerintah yang rendah.

Tulisan ini membahas pengelolaan gas nasional, terutama alokasi, serta langkah perbaikan sementara yang perlu diambil Komite Gas yang akan dituangkan dalam sebuah peraturan pemerintah (PP) dan secara permanen bagi Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas.

Paradigma pengelolaan migas

Solusi masalah alokasi gas perlu dimulai dengan menekankan kembali dan menjalankan secara konsisten paradigma pengelolaan gas nasional. Sebelumnya gas dianggap sebagai komoditas yang diupayakan maksimalisasi pendapatannya bagi penerimaan negara.

Paradigma ini harus berubah dengan menjadikan gas sebagai modal pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu, di samping untuk menciptakan ketahanan energi, gas harus berperan sebagai salah satu komponen membangun keunggulan daya saing nasional, baik sebagai energi maupun sebagai bahan baku yang memberi nilai tambah pada sektor industri.

Selanjutnya, alokasi gas harus memperhatikan prioritas pemanfaatan yang sejalan dengan perubahan paradigma di atas. Pasal 6 Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 3 Tahun 2010 mengatur bahwa Menteri ESDM berfungsi menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Penetapan itu dilaksanakan sesuai dengan prioritas pemanfaatan untuk a) peningkatan produksi migas, b) industri pupuk, c) tenaga listrik, dan d) industri lainnya. Urutan prioritas alokasi pemanfaatan gas ini tidak konsisten dengan paradigma pengelolaan sehingga perlu diperbaiki untuk memperoleh alokasi yang optimal.

Salah satu wujud alokasi pemanfaatan gas yang optimal adalah memberi porsi lebih besar bagi sektor industri yang menjadikan gas sebagai energi dan bahan baku. Gas sebagai bahan baku memiliki industri turunan yang luas, memberikan kontribusi minimal enam kali lebih besar daripada industri migas dan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak bagi perekonomian nasional.

Pada produk domestik bruto 2012, industri migas berkontribusi 3,1 persen, sedangkan industri nonmigas 20,9 persen. Pada 2013 dan 2014 kontribusi industri migas masing-masing 2,9 persen dan 3 persen, sedangkan industri nonmigas 20,8 persen dan 20 persen.

Pentingnya pengalokasian gas yang lebih besar untuk sektor industri sebagai bahan baku, misalnya, mendesak untuk segera dijalankan karena semakin meningkatnya kebutuhan. Pasar industri petrokimia di ASEAN saat ini didominasi Tiongkok (25,3 persen), Jepang (21,4 persen) dan Korea Selatan (16,7 persen). Pangsa pasar produk petrokimia Indonesia hanya 2,5 persen.

Setiap tahun Indonesia mengimpor produk petrokimia cukup besar, termasuk dari Malaysia, Thailand, dan Singapura, dengan nilai 15,6 miliar dollar AS, 16,1 miliar dollar AS, dan 16,4 miliar dollar AS, masing-masing pada 2012, 2013, dan 2014.

Padahal, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura tidak memiliki sumber daya migas guna mendukung industri petrokimia. Sebagian kebutuhan gas sebagai bahan baku industri tersebut bahkan diimpor dari Indonesia. Ironisnya, produk industri tersebut diimpor kembali oleh Indonesia dengan membayar nilai tambah lebih dari enam kali lipat! Karena itu, di samping melakukan optimasi alokasi pemanfaatan gas, sudah waktunya Indonesia segera memulai pengurangan ekspor gas secara terencana untuk akhirnya menghentikan ekspor.

Selanjutnya, solusi masalah alokasi gas harus dikaitkan dengan infrastruktur gas: bahwa badan usaha yang memperoleh alokasi wajib memiliki dan membangun infrastruktur. Karena itu, alokasi gas kepada badan usaha harus menjamin terwujudnya sinergi dan sinkronisasi kepastian dan perencanaan pasokan gas, kesiapan konsumen menyerap gas, dan ketersediaan infrastruktur.

Tumbuhnya pasar membutuhkan waktu lama. Karena itu, dibutuhkan kesiapan badan usaha berinvestasi jangka panjang, kemampuan bersinergi dengan berbagai pihak untuk mengembangkan pasar, dan perlindungan dari pemerintah melalui pemberlakuan pola bundled service.

Berdasarkan kajian Institute for Development of Economics and Finance/Indef (2014), sejak 2008 hingga 2013 besarnya kekurangan pasokan gas bumi nasional berkisar 20 persen hingga 30 persen, dengan salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan infrastruktur. Karena itu, alokasi gas harus diutamakan kepada BUMN pengguna gas, seperti PLN dan industri pupuk, serta BUMN pengelola dan pengembang gas, yakni Pertamina dan PGN. Sejalan dengan itu, pemerintah harus mencegah adanya alokasi gas yang diberikan kepada badan usaha yang tidak memiliki infrastruktur atau yang hanya berperan sebagai broker.

Kemudian, masalah alokasi gas harus diatur sesuai amanat konstitusi dengan mengganti undang-undang dan berbagai peraturan yang berlaku saat ini yang sangat liberal. Memang sebagian ketentuan UU Migas No 22 Tahun 2001, seperti Pasal 5, 10, dan 28 yang terkait liberalisasi gas, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, peraturan yang merujuk ketentuan UU yang telah batal tersebut masih digunakan tanpa koreksi sehingga kerugian masyarakat berupa ketiadaan pasokan, tidak tersedianya infrastruktur, atau mahalnya harga gas masih terus berlangsung.

Peraturan yang meliberalisasi industri gas nasional antara lain adalah PP No 36 Tahun 2004, Permen ESDM No 7 Tahun 2005, Permen ESDM No 19 Tahun 2009, dan Pedoman Tata Kerja (PTK) No 29 Tahun 2009. Pasal 9 PP No 36 Tahun 2004, misalnya, mengatur lelang pembangunan pipa transmisi kepada badan usaha. Namun, karena hanya berorientasi profit, pembangunan sejumlah pipa transmisi tertunda cukup lama seperti Kalija I dan II, Cirebon-Semarang dan Semarang-Gresik, sehingga konsumen, termasuk PLN, gagal mendapat pasokan gas.

Permen ESDM No 19 Tahun 2009 mengatur pemisahan kegiatan usaha pengangkutan dan niaga berupa pola unbundling (Pasal 19), pembukaan infrastruktur gas hilir menjadi akses terbuka (Pasal 13), dan perusahaan niaga tanpa fasilitas, trader/broker (Pasal 9). Hasil dari liberalisasi pada Permen No 19 Tahun 2009 ini antara lain adalah alokasi gas tidak tepat sasaran atau tidak langsung kepada konsumen dan semakin tingginya harga gas akibat berlapis "fungsi perantara" atau "calo" yang diperankan para broker.

Perbaikan regulasi

Menilik besarnya dampak negatif yang timbul akibat liberalisasi industri gas nasional, sudah waktunya bagi pemerintah mengembalikan penguasaan sumber daya alam (SDA) gas bumi kepada negara. Menurut Pasal 33 UUD 1945, penguasaan negara atas SDA diwujudkan dalam penetapan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Khusus terhadap aspek pengelolaan, konstitusi mengamanatkan bahwa pengelolaan SDA harus dilakukan BUMN dan BUMD. Oleh sebab itu, cetak biru pembangunan infrastruktur dan neraca gas nasional yang saat ini sedang disusun Komite Gas (ESDM) haruslah tetap konsisten dengan konstitusi yang menjamin dominasi pengelolaan oleh BUMN. Perbaikan yang diambil dalam PP yang akan diterbitkan harus bersifat sementara dan tidak akan menimbulkan gejolak jika kelak UU Migas baru diberlakukan.

RUU Migas baru harus menjamin didominasinya pengelolaan gas oleh BUMN. RUU Migas memang telah ditetapkan menjadi salah satu dari 37 RUU prioritas dalam program legislasi nasional 2015. Beberapa ketentuan yang diusulkan untuk ditetapkan adalah pemberian hak monopoli alami kepada BUMN dalam hal alokasi, pengelolaan dan distribusi gas. Badan usaha yang hanya berperan sebagai trader dan tak punya sarana penyaluran gas harus dihapus. Adapun keterlibatan BUMD dan badan usaha swasta dalam industri gas, termasuk yang saat ini telah memiliki infrastruktur, seharusnya hanya dilakukan melalui kerja sama dengan BUMN.

Penegasan MK atas prinsip penguasaan negara terhadap SDA pada putusan No 36 Tahun 2012 dalam memutus gugatan atas UU Migas No 22 Tahun 2001 dan putusan No 85 Tahun 2013 dalam gugatan atas UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004, hendaklah menjadi dasar utama bagi pemerintah dan DPR dalam memperbaiki regulasi sektor migas. Kementerian Pekerjaan Umum akan menetapkan bahwa seluruh keterlibatan swasta dalam penyediaan air harus dilakukan melalui BUMN atau BUMD. Oleh sebab itu, perubahan radikal terhadap ketentuan yang ada dalam berbagai peraturan yang berlaku saat ini harus dilakukan secara tegas tanpa kompromi.

Pengaturan yang ketat terhadap keikutsertaan badan usaha swasta dalam industri gas harus sejalan dengan kebutuhan untuk mewujudkan dominasi pengelola dan monopoli alami oleh negara melalui BUMN. Keterlibatan swasta yang hanya melayani wilayah yang padat konsumen dan menguntungkan harus dicegah. Dengan dominasi BUMN terjadi subsidi silang pembangunan infrastruktur antara wilayah padat dan wilayah minim konsumen sehingga ketersediaan infrastruktur untuk melayani dan mengembangkan konsumen gas dapat tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar