Selasa, 14 April 2015

"E-Budgeting" dan Korupsi

"E-Budgeting" dan Korupsi

Ratna Wardhani  ;  Ketua Program Studi S-1 Ekstensi Akuntansi
dan Pengajar "Good Governance" pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
KOMPAS, 13 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Dalam beberapa hari terakhir ini kepada kita dipertontonkan polemik anggaran yang terjadi antara Pemerintah Provinsi DKI dan DPRD DKI. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan bahwa terdapat pengeluaran-pengeluaran dengan nilai total Rp 12,1 triliun yang sebelumnya tidak masuk dalam RAPBD yang diajukan Pemprov DKI. Kisruh antara DPRD dan Gubernur DKI Jakarta terkait penyusunan APBD ini masih berkepanjangan. Bahkan, upaya mediasi yang di-prakarsai Kementerian Dalam Negeri belum menghasilkan solusi atas polemik tersebut. Menurut pengakuan Basuki, adanya perbedaan antara anggaran versi Pemprov DKI dan anggaran versi DPRD dapat diidentifikasikan melalui e-budgeting.

E-budgeting merupakan sistem informasi berbasis web yang digunakan untuk memfasilitasi proses penyusunan anggaran belanja daerah. Melalui e-budgeting, pemerintah dapat melakukan pengendalian anggaran dengan lebih baik karena proses penyusunan anggaran dapat dilakukan secara lebih transparan, tepat waktu, anggaran dapat dialokasikan sesuai dengan kebutuhan dalam program kerja, kronologis anggaran dapat ditelusuri dengan jelas, dan pembuatan laporan seputar realisasi anggaran dapat dibuat dengan lebih mudah.

E-budgeting sebagai bagian dari konsep e-government kemudian dipandang sebagai mekanisme yang positif yang dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah melalui peningkatan akuntabilitas, transparansi, dan pemberdayaan dari warga negara (Kauvar, 1998, dan Demchak dkk, 2000).

Anggaran dalam era reformasi pelayanan publik

Era New Public Management (NPM) merupakan era reformasi pelayanan sektor publik yang terjadi di sejumlah negara. NPM merupakan gagasan yang diusung Hood (1991) yang merupakan pendekatan pemodernisasian kebijakan-kebijakan sektor publik sehingga pola pengelolaannya berorientasi pada pasar dan akan meningkatkan efisiensi biaya bagi pemerintah.

NPM memiliki orientasi terhadap hasil (outcome) dan efisiensi melalui pengelolaan anggaran publik yang lebih baik sehingga manfaat akhir dapat diperoleh masyarakat berupa peningkatan kualitas pelayanan, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, kesejahteraan, dan lain-lain. Dalam NPM, outcome dan efisiensi dari pengelolaan anggaran publik salah satu indikator kinerja sektor publik.

Dalam era NPM, pemerintah dituntut menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang mencakup, di antaranya, akuntabilitas dan transparansi. Anggaran merupakan salah satu mekanisme utama dalam menjalankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Anggaran pada sektor publik sering kali dilihat dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu perspektif ekonomi, manajemen, dan politik. Perspektif ekonomi sering kali berfokus pada efisiensi anggaran dan alokasi dari jasa dan benda yang disediakan oleh pemerintah. Perspektif manajemen mengaitkan anggaran dengan administrasi publik, di mana anggaran merupakan proses yang bersifat teknikal. Sementara perspektif politik sering kali menitikberatkan dimensi politik dalam alokasi sumber daya dan peran anggaran dalam proses pengambilan keputusan politik (Hackbart dan Ramsey, 2002). Perspektif politik sering kali membuat anggaran tersandera oleh berbagai kepentingan, yang berlawanan dengan tujuan utama dalam NPM, yaitu kualitas pelayanan publik yang baik.

Pada era NPM ini masyarakat menjadi lebih kritis dan menuntut pemerintah untuk dapat lebih memberikan pelayanan publik yang lebih baik, termasuk di antaranya menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah. Hal ini didukung oleh arus informasi dan kekuatan media dalam memonitor proses penganggaran tersebut. Monitoring dari masyarakat dan media membantu kesuksesan sistem e-budgeting dalam era NPM.

Korupsi pengadaan

Apabila dilihat dari postur anggaran sektor publik di Indonesia, jumlah pengadaan barang dan jasa di institusi publik rata-rata mencapai 15-30 persen dari PDB. Besarnya nilai pengadaan barang dan jasa di institusi pemerintah tersebut merupakan potensi risiko yang sangat tinggi untuk terjadinya korupsi. Bank Dunia bahkan menyatakan bahwa korupsi di pengadaan pemerintah paling luas dan merajalela. Nilai korupsi yang terjadi dapat mencapai 10-50 persen dalam proses pengadaan barang.

Besarnya kerugian akibat korupsi diperkirakan mencapai 10-25 persen pada skala normal. Dalam beberapa kasus, kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai 40-50 persen dari nilai kontrak. Belum lagi termasuk kerugian ekonomis akibat tidak tepat sasarannya pengeluaran pemerintah yang akan membuat pengeluaran pemerintah tersebut tidak dapat secara efisien meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terorganisasi dengan tahapan yang bisa jadi cukup panjang. Proses anggaran merupakan tahapan awal yang merupakan tahap penilaian atas kebutuhan/penentuan kebutuhan.

Dengan menggunakan sistem e-budgeting, pengajuan anggaran belanja dan nilainya dapat dilakukan cross check and balance dan tracking dalam peng-input-annya lebih mudah. Dari sisi audit, akan lebih mudah menemukan jejak audit (audit trail) dalam penggunaan sistem ini. Hal ini tentu saja akan meminimalkan tindakan arbiter dan diskresi yang dapat mengarah pada korupsi.

Global Corruption Report tahun 2003 menyatakan bahwa e-government dan termasuk di dalamnya e-budgeting menawarkan solusi parsial dalam menghadapi permasalahan korupsi yang kompleks. Sistem ini mensyaratkan adanya pemeliharaan atas data mendetail dari transaksi yang memungkinkan untuk melacak dan menghubungkannya dengan tindakan koruptif. Andersen (2009) juga membuktikan secara empiris bahwa penggunaan e-government merupakan salah satu alat yang signifikan dalam menurunkan tingkat korupsi di sejumlah negara.

Namun, mengingat kompleksnya aspek korupsi itu sendiri tampaknya tidak akan ada satu obat yang mujarab yang dapat berdiri sendiri. Pada kenyataannya korupsi di Indonesia telah mengakar dalam seluk beluk budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Meskipun teknologi informasi sering kali terbukti dapat membantu mendeteksi dan menghindari terjadinya korupsi, diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang mencakup baik desain sistem informasi maupun faktor organisasi dan kepemimpinan, lingkungan, dan institusional dalam mengimplementasikan sistem pengendalian atas korupsi.

Pada akhirnya kebijakan apa pun, baik yang bersifat langkah yang besar maupun yang bersifat hanya solusi parsial, untuk menahan laju korupsi adalah kebijakan yang layak dilakukan. Dengan cara apa pun korupsi harus dilawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar