Selasa, 14 April 2015

Melindungi Anak-Anak dari Regenerasi Teror

Melindungi Anak-Anak dari Regenerasi Teror

Reza Indragiri Amriel ;  Alumnus Psikologi Forensik The  University of Melbourne; Anggota  Asosiasi Psikologi Islami
KORAN SINDO, 13 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Polri menemukan rekaman  terduga teroris Poso, Daeng Koro, sedang melatih  sejumlah anak menggunakan  senjata api.

Sebelumnya beberapa  pekan lalu di laman  YouTube beredar rekaman senada.  Yaitu, sejumlah anak dengan  pakaian serbahitam tampak  tengah berlatih mengoperasikan  senjata api. Laras panjang pula. 

Sebagai latar di belakang anak-anak  itu adalah sebuah bendera  dengan logo sebuah organisasi  yang beberapa bulan terakhir  menyebarkan hawa panas ke  tengkuk negara-negara dunia:  ISIS !  Apabila anak-anak di dua  rekaman itu nanti benar-benar  dilibatkan dalam operasi teror,  ini seperti mengulangi modus  perekrutan para janda sebagai  anggota pasukan bahkan  sebagai pelaku bom bunuh diri. 

Anak-anak, seperti juga kaum  hawa, masih belum sungguh-sungguh  dicap sebagai individu  yang berperan di depan layar  dalam aksi teror kendati sejumlah  negara telah nyata-nyata  berhadapan dengan fenomena  tersebut. Pada sisi itu, organisasi  teror memang memiliki  kepentingan untuk merekrut  anak-anak sebagai senjata  mereka. 

Tema tayangan bahwa  anak-anak itu sedang dikondisikan  untuk menjadi  instrumen kekerasan pastinya  bertolak belakang dengan  prinsip kepentingan terbaik  anak. Kehidupan masa kanak-kanak  yang identik dengan  bermain telah dirampas dan,  sebagai gantinya, mereka  dieksploitasi sedemikian rupa  sebagai tentara kanak-kanak.  Senjata api, sebagai simbol  kekerasan yang berada dalam  dunia orang dewasa, dijadikan  sebagai benda laksana mainan  sehari-hari. 

Pemanfaatan anak-anak sebagai  tenaga kerja paksa termasuk  tentara cilik merupakan  salah satu tujuan utama kejahatan  tindak perdagangan  orang, selain dimanfaatkan  sebagai budak seks dan organ  tubuhnya diperjualbelikan.  Terlebih jika kepada anak-anak  itu juga dibangun keyakinan  bahwa mereka, dengan senjata  yang mereka bawa, adalah calon-calon  pejuang yang diandalkan  untuk mencabut nyawa pihak  lawan. 

Perlakuan semacam itu  pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak  (UU PA) yang secara eksplisit  melarang siapa pun merekrut  dan memperalat anak untuk  kepentingan militer maupun  pelibatan dalam situasi kekerasan.  Demikian pula bila dihubungkan  dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan  Orang (UU TPPO). 

Mungkinkah anak-anak tersebut  dipisahkan secara paksa  dari orang tua atau keluarga  mereka, sebagaimana modus  perekrutan tentara cilik oleh  milisi-milisi di wilayah konflik  di Afrika? Jika itu yang terjadi,  terdapat argumentasi kuat  untuk menyebut anak-anak tersebut  sebagai korban perdagangan  orang. 

Kepentingan Anak

Meski anak-anak di rekaman  Daeng Koro dan YouTube  tidak menunjukkan raut wajah  negatif, bahkan sebaliknya mereka  tampak ceria, tetap tidak  bisa dinyatakan bahwa para  bocah tersebut bersedia secara  sukarela, bahkan bahagia dengan  perlakuan yang mereka  terima. Senyum anak tidak bisa  dijadikan sebagai alasan oleh  pihak perekrut untuk menjustifikasi aksi mereka menjadikan  anak-anak sebagai sumber  daya manusia untuk tujuan  kekerasan.

Usia anak-anak itu  belum memungkinkan untuk  memberikan persetujuan maupun  penolakan sehingga unsur  kemauan bisa diabaikan. Implikasinya,  sepanjang perlakuan  yang dikenakan kepada anak-anak  itu bertentangan dengan  kepentingan terbaik mereka,  terlepas bagaimana pun sikap  anak-anak tersebut, mereka  harus tetap didudukkan sebagai  individu yang harus  dilindungi dari perlakuan salah  tersebut. 

Rekaman di ponsel Daeng  Koro dan video YouTube tentang  anak-anak yang tengah berlatih  di lokasi kelompok teror sangat  mungkin merupakan indikasi  berlangsungnya pergeseran  tren mengenai keterlibatan  keluarga dalam jaringan teror.  Pada waktu silam, ketika seorang  dewasa bergabung ke dalam  kelompok-kelompok kekerasan,  anggota keluarga termasuk  anak-anak biasanya  tidak tahu-menahu. Itu sebabnya,  tak jarang anggota keluarga  terperanjat dan tidak percaya  bahwa orang yang mereka  kasihi ternyata telah terlibat sedemikian  jauh dalam aktivitas  kelompok teror.

Kini kerahasiaan  pelaku teror tampak tidak  lagi diterapkan bagi keluarga  mereka. Seperti yang dilakukan  enam belas wisatawan yang  tiba-tiba menghilang dan diduga  bergabung ke dalam ISIS,  aktivis teror kini justru melibatkan  sanak keluarga  mereka untuk bersama-sama  menjadi bagian dari komunitas  teror.  Pada titik itu, selain UU PA  dan UU TPPO, UU Antikekerasan  Dalam Rumah Tangga (UU  KDRT) juga menjadi peranti  hukum yang relevan untuk ditegakkan. 

Menyikapi kemungkinan  bahwa pola relasi keluarga  pelaku teror sangat didominasi  oleh suami atau ayah sehingga  istri dan anak tidak memiliki  kesempatan untuk menyampaikan  aspirasi serta turut menentukan  arah kehidupan keluarga,  istri dan anak seyogianya  memperoleh proteksi dengan  memanfaatkan UU KDRT  tersebut.  Jelas, berhadapan dengan  tren baru perekrutan anggota  komunitas teror seperti di atas  dibutuhkan pengisolasian seketat  mungkin terhadap  kawasan-kawasan yang diperkirakan  menjadi tujuan atau  basis kelompok teror.

Pemantauan  terhadap masuknya  orang-orang asing secara  berkelompok ke dalam suatu  wilayah juga yang sepertinya  dilakukan oleh unit keluarga  patut dijalankan lebih seksama  guna menangkal terbentuknya  zona dan komunitas teror  baru. 

Anak Muda dan  Indoktrinisasi Mandiri 

Pada era ketika jagat dunia  sudah berada di dalam genggaman  berkat perkembangan  teknologi informasi dan komunikasi,  proses indoktrinisasi  tidak lagi harus melalui pendekatan  konvensional. Sebaran  berbagai pesan atau kampanye  dari kelompok-kelompok kekerasan  di media sosial telah memungkinkan  siapa pun, termasuk  individu-individu belia,  melakukan indoktrinisasi terhadap  diri mereka sendiri. 

Lewat indoktrinisasi mandiri,  mereka tidak lagi perlu disambangi  oleh komplotan-komplotan  jahat. Sebaliknya, merekalah  yang mengambil prakarsa  untuk mendekatkan diri  sendiri ke kelompok-kelompok  tersebut.  Tambahan lagi, dengan kecerdasan  yang orang-orang  muda usia miliki, mereka tidak  lagi terlalu membutuhkan  instruktur guna memberikan  pelatihan tentang serbaneka  keahlian teror.

Selama ini  pelajaran tentang merakit bom  dan modus-modus teror lain  bahkan sudah tersedia secara  gratisan di internet.  Sukar diingkari; di tengah  kian tingginya angka pelaku  kejahatan yang melancarkan  aksi pertamanya pada usia  sangat muda, pelibatan anakanak  muda dalam kelompok  teror merupakan bukti telanjang  betapa nilai kekerasan  sudah disemai lewat lingkungan  paling inti yakni keluarga.

Dahulu dikenal ungkapan  ”demokrasi bermula di meja  makan”. Kini nyaring bunyi  kredo lain, ”Kebrutalan, atas  nama kebenaran dan kejayaan,  adalah keagungan.” Ajaran  maut itu mengalir ke setiap  bulir darah sosok-sosok mungil  tak berdosa yang berloncatan  di sekeliling kita.  Allahu a’lam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar