Ironi Kehidupan Lansia
Razali Ritonga ;
Direktur
Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
|
MEDIA
INDONESIA, 04 April 2015
TERSERETNYA
nenek Asyani, 63, dalam kasus hukum akibat dakwaan mencuri dua batang pohon
jati milik PT Perhutani cukup memprihatinkan masyarakat. Keprihatinan itu
bukan semata karena kasus hukum yang menimpanya, melainkan kasus itu juga
merefleksikan kesulitan beliau dalam menyambung hidup.
Boleh jadi,
munculnya sosok Asyani merupakan puncak gunung es yang merepresentasikan
betapa rendahnya kesejahteraan penduduk lanjut usia (lansia) di Tanah Air. Padahal,
bagi kebanyakan orang, masa tua kerap dipersepsikan sebagai periode untuk
menikmati hidup. Namun, faktanya, tidak sedikit lansia yang terus bergulat
untuk bertahan hidup. Sungguh ironis, memang.
Indonesia jauh tertinggal
Secara
faktual, kondisi lansia di Tanah Air kini masih jauh dari sejahtera.
Publikasi the Global Age Watch Index (2014), misalnya, menyebutkan peringkat
kesejahteraan lansia Indonesia berada di urutan ke-71 dari 96 negara. Posisi
Indonesia jauh tertinggal, misalnya, jika dibandingkan dengan Thailand
(peringkat ke-36), Filipina (ke-44), dan Vietnam (ke-45).
Celakanya,
meski pendapatan per kapita Indonesia termasuk menengah, kesejahteraan
lansianya berada jauh di bawah jika dibandingkan dengan, misalnya, Bangladesh
yang pendapatan per kapitanya jauh lebih rendah. Dengan pendapatan per kapita
sebesar US$1.544 per tahun, Bangladesh mampu mencapai peringkat ke-59 dalam
soal kesejahteraan lansianya. Adapun pendapatan per kapita di Indonesia
sebesar US$4.071 per tahun.
Bahkan, bila
dibandingkan dengan negara berpenduduk jauh lebih besar, Tiongkok dan India,
tingkat kesejahteraan lansia di Indonesia berada di bawah kedua negara itu.
Tiongkok berada di peringkat ke-48 dan India di peringkat ke-69 dari 96
negara.
Rendahnya
derajat kesehatan dan minimnya jaminan hidup lansia, antara lain, yang
menyebabkan rendahnya kesejahteraan lansia di Tanah Air. Publikasi the Global Age Watch Index (2014)
menyebutkan lansia di Tanah Air masih memiliki harapan hidup 18 tahun lagi.
Akan tetapi, dari 18 tahun itu, rata-rata hanya 14,3 tahun dalam kondisi
sehat.
Sementara itu,
dari sisi jaminan hidup, terdeteksi dari rendahnya cakupan pensiun yang hanya
sebesar 8%, dan jaminan penghasilan sekitar 18%. Maka, tak mengherankan jika
cukup banyak lansia yang terpaksa bekerja di usia tuanya, tetapi yang
berkemampuan menghasilkan pendapatan hanya sekitar 35%.
Rendahnya
kemampuan lansia di Tanah Air dalam memperoleh pendapatan menyebabkan tidak
sedikit di antara mereka yang menjadi tanggungan anak dan keluarga. Padahal,
lansia kerap memerlukan biaya besar untuk perawatan kesehatannya mengingat
mereka rentan terkena penyakit seperti jantung, diabetes, dan kanker. Dalam
kasus Asyani, misalnya, yang saat in masih dirawat di rumah sakit, membua
keluarga kesulitan untuk membayar biaya selama pengobatan.
Bonus demografi kedua
Padahal,
berasarkan pengalaman sejumlah negara yang kini mengalami penuaan penduduk,
kehadiran lansia bukan merupakan beban, melainkan sebaliknya menjadi suatu
berkah. Bertambahnya lansia ternyata mampu menghadirkan bonus demografi, yang
kerap disebut bonus demografi kedua. Adapun bonus demografi pertama berasal
dari pertambahan usia produktif (15-64 tahun).
Di Jepang,
misalnya, lansia yang sekitar 33% tidak menjadi beban karena masih mampu berkontribusi
besar terhadap pertumbuhan ekonomi di negerinya. Selama 1980-2005, misalnya,
dari pertumbuhan ekonomi aktual sebesar 1,72%, sekitar 1,21% di antaranya
merupakan kontribusi lansia (Mason, 2005).
Bahkan, hasil
studi Mason (2005) menunjukkan bonus demografi kedua di beberapa negara mampu
berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonominya jika dibandingkan
dengan kontribusi bonus demografi pertama. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, misalnya, kontribusi bonus
demografi kedua terhadap pertumbuhan ekonomi selama 1970-2000 rata-rata sebesar
1,31% per tahun, sedangkan kontribusi , bonus demografi pertama terhadap pertumbuhan
ekonomi rata-rata hanya sebesar 0,59% per tahun.
Lebih jauh
Mason (2006) menjelaskan kontribusi lansia terhadap pertumbuhan ekonomi,
antara lain, melalui aset yang diperoleh sejak usia produktif, yang apabila
diinvestasikan akan memberikan keun tungan bagi negara atau daerah tempat
tinggal mereka. Bahkan, kontribusi lansia terhadap pertumbuhan ekonomi dapat
berlipat ganda jika mereka masih produktif bekerja.
Maka, atas
dasar itu, pemerintah perlu menyiapkan SDM berkualitas agar dapat bekerja
dengan perolehan pendapatan yang layak dan bisa menabung untuk hari tuanya.
Fakta rendahnya kesejahteraan lansia yang terjadi saat ini merupakan refleksi
ketidakmampuan mereka dalam menghimpun aset pada usia produktif.
Jelasnya,
jika lansia di masa mudanya saja susah, bagaimana di usia tua mereka? Hal ini
ditengarai bertalian dengan rendahnya kualitas sumber daya lansia sejak usia
produktif sehingga tak mampu menghimpun aset secara memadai di hari tuanya.
Namun, untuk
menebus kekurangsiapan meningkatkan SDM masa lalu sehingga menyebabkan
rendahnya kesejahteraan saat ini, pemerintah barangkali perlu menyiapkan
bantuan terhadap lansia. Penyiapan rumah tinggal bagi lansia dari keluarga
tak mampu, misalnya, diperkirakan dapat meringankan beban hidup lansia.
Untuk ke depan, pemerintah
perlu menyiapkan grand design
pembangunan kependudukan yang lebih komprehensif, terutama akibat kian
bertambahnya lansia di Tanah Air. Proyeksi Penduduk 2010-2035, misalnya,
menunjukkan Indonesia akan mengalami penuaan penduduk (ageing population) pada 2020, dengan jumlah lansia (usia 60 tahun
ke atas) sekitar 10%. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar