Selasa, 14 April 2015

Benang Kusut Sepak Bola Nasional

Benang Kusut Sepak Bola Nasional

Abdullah Yazid  ;  Alumnus Universitas Trilogi Jakarta; Peneliti Institut Nusantara
JAWA POS, 13 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

UPAYA Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) membenahi persepakbolaan nasional mendapatkan perlawanan serius PSSI dan PT Liga Indonesia. Hasil verifikasi BOPI yang tidak meloloskan Persebaya dan Arema Cronus untuk mengikuti kompetisi ISL 2015 (sekarang QNB League) tidak diindahkan. Kedua klub tetap menggelar pertandingan, bahkan disiarkan langsung televisi nasional.

Babak baru kemelut sepak bola dimulai lagi. Seakan beradu kekuatan, PSSI dan PT Liga yang merasa didukung FIFA dengan gagah berani mengobarkan perlawanan dengan otoritas pemerintah. Kemelut sepak bola kali ini bukanlah hal baru. Pada 2011, jagat sepak bola nasional pernah menggegerkan Indonesia dengan dualisme kompetisi, yakni ISL dan IPL. Problem organisasi PSSI yang berimbas pada sepak bola nasional benar-benar seperti benang kusut yang sulit diurai.

Tuntutan Profesional

Ada banyak catatan tentang era profesional sepak bola Indonesia. Kompetisi ISL yang digelar sejak 2008 awalnya ditujukan untuk mewujudkan profesionalisme penuh persepakbolaan Indonesia. Pertimbangan lainnya, format Liga Indonesia 2007 berlangsung setengah kompetisi sehingga mengakibatkan tingginya ketegangan pertandingan dan berpotensi memicu kerusuhan. Apalagi, peserta Liga Indonesia dinilai terlalu banyak, yakni 36 tim.

Kompetisi sekarang hanya setengahnya, yakni 18 tim. Ini berdasar ketentuan FIFA dan AFC yang menyatakan liga teratas suatu negara harus diikuti paling sedikit 18 klub, dan setiap klub diharapkan profesional murni tanpa dibantu dana subsidi pemerintah. Syarat lainnya adalah klub peserta harus mengembangkan tim U-21 yang diikutkan paralel dalam kompetisi ISL U-21.

Hingga dua tahun pertama ISL, kompetisi berjalan lancar. Bahkan, pada musim 2009–2010, AFC menobatkan ISL sebagai liga terbaik peringkat ke-8 se-Asia dan liga terbaik se-Asia Tenggara. Permasalahan justru muncul dari segi pengelolaan organisasi. Misalnya, hanya empat tim yang murni mengandalkan keuangan sendiri dan tidak berdasar pada subsidi pemerintah lewat APBD. Beberapa tim juga masih dikelola pelatih level rendah. AFC dan FIFA sendiri terus-menerus menuntut pengelolaan sepak bola yang profesional.

Asas Profesional

Sebagai lembaga yang ditunjuk berdasar amanat UU Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) No 3/2005, BOPI bertugas mengawasi dan menegakkan profesionalitas tersebut. Asas-asas profesionalitas itu, antara lain, legalitas badan hukum; laporan pajak (NPWP, bukti pembayaran dan pelunasan pajak); validasi status bidang usaha SIUP; melunasi tunggakan kewajiban kepada seluruh pemain, pelatih, dan ofisial tim dengan menyertakan bukti pelunasan, menyertakan dokumen kontrak kerja profesional pemain, pelatih dan ofisial tim; serta garansi bank. Dalam penyelenggaraan kompetisi, rekomendasi BOPI menjadi salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi dalam proses perizinan keramaian yang dikeluarkan Polri.

Pada kompetisi 2015 ini, BOPI melakukan verifikasi pada 5 Februari 2015–31 Maret 2015. Berdasar dokumen dan temuan di lapangan, klub kategori A (memenuhi persyaratan penuh) adalah Semen Padang, Sriwijaya FC, Persib Bandung, Persija Jakarta, dan Persipura Jayapura. Kategori B (memenuhi persyaratan dengan catatan ringan) adalah Bali United, Barito Putera, Persiram Raja Ampat, Pusamania Borneo, PSM Makassar, Persiba Balikpapan, Mitra Kukar, Persela Lamongan, Perseru Serui, Pelita Bandung Raya, dan Gresik United. Kategori C (belum mendapatkan rekomendasi) adalah Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya.

Klub yang masuk kategori A dan B otomatis lolos verifikasi. Sementara itu, lima klub, yakni PBR, Gresik United, Perseru Serui, Persela Lamongan, dan Mitra Kukar, diminta melunasi tunggakan hingga putaran pertama kompetisi. Jika tidak, rekomendasi akan dicabut.

Arema Cronus, yang tidak diloloskan BOPI, memang bermasalah dalam aspek legalitas. Mereka menggunakan dokumen pengelola lama. Ini ibarat kita mengendarai mobil, tapi BPKB dan STNK-nya memakai surat-surat mobil yang lain. Untuk Persebaya, klub ini juga bermasalah dalam aspek legalitas seperti Arema. Surat izin usahanya untuk properti, bukan untuk olahraga. Padahal, kedua klub, begitu pula dengan klub lainnya, diberi toleransi waktu yang cukup panjang, tepatnya sejak 2014. Faktanya, banyak klub meremehkan.

Sikap Tegas

Berkat sikap tegas dari pemerintah, sekarang aspek-aspek mendasar dan penting dari pengelolaan klub profesional sudah berhasil dibereskan. Mulai Persib Bandung sampai Perseru Serui sekarang punya NPWP. Setidaknya sudah punya NPWP. Hampir semua, kecuali Arema dan Persebaya, juga sudah beres dokumen-dokumen legalnya. Kini, sepak bola profesional di Indonesia setidaknya berada di level tertinggi ISL/QNB League, hampir memenuhi persyaratan-persyaratan yang sifatnya mendasar.

Yang perlu dilakukan pemerintah dan BOPI saat ini adalah terus menjalin komunikasi dengan klub-klub dari kategori A dalam verifikasi BOPI. Perlu dijelaskan bagaimana visi pemerintah dalam tata kelola kompetisi sepak bola dan memastikan mereka paham bahwa verifikasi BOPI dan rekomendasi ISL dari Menpora adalah peluang bagi mereka untuk ikut serta membangun kompetisi yang sehat, liga yang akuntabel demi industri sepak bola yang lebih baik.

Jangan pernah iseng bermain-main dan meremehkan peraturan dan perundangan. Indonesia adalah negara hukum. Siapa pun tanpa terkecuali harus tunduk di depan hukum. Dan ini domain pemerintah, bukan FIFA.

Bahkan, kalau mengikuti saran Djoko Susilo, salah seorang anggota Tim Sembilan yang dibentuk Menpora, secara ekstrem malah disarankan satu-satunya upaya memperbaiki persepakbolaan nasional adalah membubarkan PSSI. Sudah terlalu lama, yakni 7 tahun, kompetisi kita dikelola PSSI dan PT Liga dengan standar yang begitu longgar. Hemat saya, memidanakan perlawanan PT Liga dan PSSI ke ranah hukum, bahkan langkah membubarkan organisasi ini, adalah jalan terakhir yang dapat ditempuh jika memang sudah tidak ditemukan lagi iktikad baik menata dan menegakkan profesionalitas sepak bola kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar