Belajar
dari Benjina
Wahyu Susilo ; Analis Kebijakan Migrant Care
|
KOMPAS, 17 April 2015
Liputan investigasi media asing tentang praktik perbudakan yang
dialami pekerja kapal penangkap ikan di kawasan Benjina, Maluku, telah
mencelikkan mata dunia mengenai eksploitatif rantai pasokan produk sektor
perikanan.
Selama ini kampanye tentang makanan laut yang aman lebih
diarahkan pada produk tangkapan yang prosesnya diperoleh dengan cara tak keji
dan bersahabat dengan lingkungan, bukan hasil tangkapan yang terlarang
menurut aturan konservasi.Kesimpulan provokatif—dan perlu—dari liputan
praktik perbudakan di Benjina dengan pertanyaan lugas ”apakah kita makan
produk perikanan laut dari yang dihasilkan melalui praktik perbudakan” harus
jadi cermin betapa selama ini kita abai pada persoalan pemenuhan hak pekerja
sektor perikanan dan kelautan.
Perkara praktik perbudakan di sektor perikanan dan kelautan
sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Pada dekade 1990-an, beberapa
lembaga nirpemerintah yang memperjuangkan pemenu- han hak anak di Sumatera
Utara mengungkap praktik penggunaan pekerja anak dalam industri perikanan,
terutama di jermal- jermal (rumah pengolahan ikan teri), di sepanjang pantai
timur Sumatera. Kala itu muncul kecaman juga dari komunitas inter- nasional,
tetapi hingga saat ini situasi itu masih terus terjadi.
Dalam laporan rutin tentang situasi perbudakan global (Global
Slavery Index) 2014, lembaga anti perbudakan modern dunia Walk Free juga
menempatkan sektor perikanan sebagai sektor yang masih mempraktikkan cara
perbudakan menggerakkan industri. Di Indonesia ada tiga sektor utama yang
memungkinkan warga terperangkap dalam praktik perbudakan modern, yaitu di
sektor perikanan, perkebunan (terutama kelapa sawit), dan pekerja rumah
tangga (PRT).
Situasi ini juga tak jauh beda dari kondisi buruh migran
Indonesia yang bekerja di luar negeri sepanjang 2014. Migrant Care mencatat,
selain PRT migran yang selalu dalam situasi rentan hampir di semua negara
penempatan, hal sama juga dialami buruh migran Indonesia yang bekerja di
sektor kelautan. Dalam dua tahun terakhir terjadi eskalasi kasus-kasus anak
buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal asing. Kasus itu antara lain
soal pengupahan yang tak sesuai dengan kontrak, penipuan, dan penelantaran.
Sepanjang 2014 terjadi beberapa kali kecelakaan kapal di Selat Malaka dan
Laut Bering, Rusia, mengakibatkan puluhan ABK Indonesia menjadi korban.
Kerumitan kasus buruh migran Indonesia di sektor kelautan juga
terjadi karena ketakjelasan institusi negara mana yang bertanggung jawab
mengenai penegakan hukum dan sandaran bagi buruh migran mendapatkan keadilan.
Selama ini, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Perhubungan, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) terkesan saling lempar tanggung jawab.
Jika tekad pemerintahan Jokowi menjadikan sektor maritim sebagai
salah satu tulang punggung menyejahterakan rakyat, yang terjadi di Benjina
harus benar-benar jadi pelajaran.Praktik penggunaan pekerja anak di jermal,
perbudakan di Benjina, serta kerentanan dan penderitaan yang dialami buruh
migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK memperlihatkan selama ini wilayah
operasi bisnis di sektor maritim hampir tak tersentuh upaya penegakan hukum
dan akses keadilan bagi pekerja. Yang jamak terjadi: suap dan korupsi untuk
melestarikan situasi buruk itu agar terus berlangsung.
Fakta ini juga mengonfirmasi praktik perbudakan dan perdagangan
manusia akan terus subur kala birokrasi dan penegak hukum memperkaya diri
dari praktik pengambilan untung ilegal melalui suap dan korupsi.Pemerintahan
Jokowi harus mengakhiri praktik buruk itu tak hanya dengan tindakan represif
menangkap dan membakar kapal, tetapi juga mereformasi tata kelola dan
kebijakan sektor kelautan yang berorientasi pada pemenuhan hak atas keadilan
bagi para pekerja sektor kelautan, mengelola dan mengolah hasil kelautan yang
ramah lingkungan, tidak dari proses eksploitatif.
Temuan bahwa para pekerja yang jadi korban perbudakan di Benjina
tak hanya berasal dari Indonesia (juga dari Laos, Myanmar dan Thailand)
memperlihatkan kejahatan lintas nasional di sektor kelautan akan jadi
keniscayaan jika tak ada kerja sama pencegahan di tingkat regional.
Pemerintahan Jokowi harus bisa ambil prakarsa membuat komitmen di tingkat
ASEAN memerangi kejahatan lintas negara (perbudakan, perdagangan manusia,
penjarahan ikan dan produk laut lain) di sektor kelautan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar