Aktor
Ekonomi Akar Rumput
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha
|
KOMPAS, 17 April 2015
Abun (Bunyamin), reparator arloji di sebuah sudut Jakarta Timur,
pamit—dari jadwal latihan pingpong—pulang ke Tasikmalaya. ”Bolehkah saya
titip sesuatu untuk anak-anak Kang Daud?” ujar saya. ”Dengan senang hati,”
jawab Abun.
Abun adalah pemain pingpong Pendi- dikan Guru Agama (PGA) di
Singaparna, Tasikmalaya, akhir 1980-an. Para guru mengapresiasi kemahirannya
ini dengan memberi gratis ijazah PGA. Lulus dari situ, ia mengajar di sebuah
ibtidaiyah dengan gaji Rp 200.000. Tak kunjung diangkat pegawai negeri, ia
nekat ke Cibubur menekuni profesi reparasi arloji sejak 1996. Pingpong
menjadi mediasi pertemuannya dengan saya sejak 2007. Dari November 2014
hingga April tahun ini, selepas latihan pingpong dini hari, saya merekam
cerita- nya tentang apa yang saya sebut aktor eko- nomi akar rumput. Melihat
dengan mata cacing, meminjam frasa mantan aktivis mahasiswa Bandung akhir
1990-an, Asep Supriyatna,geliat aktor ekonomi ini sedi- kit dapat kita
tangkap: bagaimanakah cara aktor-aktor ekonomi akar rumput ini bertahan?
Adakah dalam taraf paling mini- mal terjadi semacam gerak mobilitas vertikal
di kalangan mereka?
Tertiup angin, sekadar
bertahan
Daud (nama samaran), tokoh yang telah disebut, adalah salah satu
aktor ekonomi akar rumput ini. Berasal dari Tasikmalaya, ia bertarung hidup
di Jakarta sejak 1980- an sebagai kreditor keliling, pencukur rambut, dan
akhirnya tukang gorden. Lepas dari tempat penampungan seorang bos kredit,
Daud tak bertempat tinggal. Menjajakan jasanya, ia berjalan kaki Cibu-
bur-Cibinong. Di tempat terakhir ini, seperti dikisahkan Abun, Sabtu, 1
November 2014, Daud menginap di warung sembako milik adik iparnya. Esoknya
dengan cara serupa ia ke Cibubur. Di tempat ini Daud tidur di kios Abun atau
warung kopi—seperti akan disinggung—milik adiknya.
Modal Daud hanya tiga: dua kaki yang senantiasa berdebu,
peralatan sederhana, dan keterampilan membuat gorden. Untuk keperluan membeli
bahan gorden, Daud harus meminjam dana kepada orang lain. Abun tiga kali jadi
”kreditor” Daud: Rp 500.000, Rp 200.000, Rp 700.000—tanpa bunga. Belakangan
Daud menolak tawaran tanpa dana tanda jadi sebab pernah tertipu pelanggan yang
menolak membayar setelah pekerjaannya selesai.
Daud punya empat anak. Putra tertua bekerja sebagai pencuci
piring sebuah restoran di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Adiknya, dalam
rush penerbitan kurikulum baru 2013, sementara terekrut jadi buruh sebuah
percetakan. Dua anak perempuannya—masih di SMA dan SD— tinggal di
Tasikmalaya. Kepada kedua gadis kecil inilah saya menitipkan sesuatu melalui
Abun sebab ibu mereka, istri Da- ud, telah meninggal pada 27 Januari 2012.
Dan, pada 27 Desember 2013, Daud menyusul sang istri ke alam baka. Sejak ia
memulai pertarungan hidup pada 1980-an hingga meninggal, Daud bukan saja
homeless, melainkan tak mampu mengontrak bilik termurah sekalipun.
Surya, juga nama samaran, pedagang rokok asongan sekampung
dengan Daud, telah bertarung di Jakarta sejak 1990-an. Kamis, 20 November
2014, Abun bercerita bahwa Surya tak berjualan pada Rabu, 19 November
2014.”Pasar” rokok Surya adalah para sopir angkot rute Cililitan-Munjul yang
melintasi Jalan Lapangan Tembak, Cibubur, Jakarta Timur. Hari itu bertepatan
rencana mogok Organda sebagai protes kenaikan harga BBM diumumkan pemerintah
sehari sebelumnya, yang membuat dagangan Surya praktis tanpa ”pasar”. Namun,
dia punya kompensasi lain, jadi buruh bangunan pengecoran tiang rumah ketua
rukun warga (RW) setempat.
Surya, yang selalu mengucapkan bismillah tiap memulai kerja
pukul 06.30, memang cenderung meninggalkan kotak rokok tiap pintu kesempatan
kerja bangunan terbuka. Ini strategi sintas. Dibantu ibunya, Nai (nama
samaran), istri Surya asal Betawi memang berusaha membuat kue pesanan arisan,
pengajian, atau hajatan. Dua atau tiga kali sepekan keduanya menerima pesanan
100 atau 200 kue untuk keperluan itu dengan harga Rp 2.000 atau Rp 3.000 per
satuan, kisah Abun, Ahad, 15 Maret 2015. Namun, semua ini tak cukup membiayai
pendidikan anak laki-lakinya yang kelas V SD. Sementara anak perempuannya
bersiap masuk SD tahun ini. Apalagi, istrinya sedang mengandung lima bulan.
Inilah yang mendorong Surya memilih kerja bangunan tiap ada kesempatan untuk
mendapat uang tunai lebih besar daripada menjual rokok secara asongan dalam
sehari.
Strategi yang sama dikenakan tokoh ekonomi akar rumput lain:
Dullah (juga nama samaran), asal Betawi, yang menjajakan sarapan pagi seperti
nasi kuning, nasi uduk, dan aneka gorengan dengan harga rata-rata Rp 3.000.
Abun langganan potensialnya. Mengapa? Karena tiap belanja sarapan itu, Surya,
pedagang asongan di atas, dan Tarli (nama samaran), buruh layanan pompa air
dekat kios Abun, turut bergabung. Karena itu, Dullah suatu pagi pernah
berteriak kecewa menemukan Abun justru di rumah Hasan (nama samaran), pemilik
grosir perlengkapan tamia, sedang bermain pingpong. ”Pantesan! Di sini,” seru
Dullah, seperti dikisahkan Abun. Di tempat pingpong itu tuan rumah telah menyediakan
goreng-gorengan untuk sarapan. Tentu saja Abun tak perlu membeli makanan dari
Dullah pagi itu.
Namun, kisah Abun, Dullah baru berjualan lagi 4 Maret 2015
setelah absen sejak 28 Februari. Ini terjadi berkali-kali sebab beberapa hari
sampai dengan 25 Februari itu Dullah ”terekrut” jadi buruh bangunan
pemasangan bata dan penyemenan tembok sebuah rumah di daerah itu. Sebelumnya
ia juga absen berjualan karena ada pekerjaan membuang puing bangunan dengan
gerobak. Tugas ini mengandung untung berganda: mendapat upah membuang,
sementara puing bangunan itu dibeli orang.
Abun menjelaskan, Dullah baru memulai menjual makanan sarapan
ini pada 2014. Sebelumnya ia berjualan camilan, seperti keripik, kacang, kue
kering, kacang ijo, dan sukro, masing-masing Rp 2.000. Untuk ini Dullah harus
berkeliling sejak pukul 08.00 hingga pukul 12.00, dan sore hari mulai 16.00
hingga 18.30. Itulah pergeseran pekerjaan Dullah yang kedua sebab pada 2001
Dullah bekerja sebagai buruh usaha bakso dan tahu goreng (batagor) milik Haji
Fulan (nama samaran), asal Karawang di Cibubur. Usaha yang diberi nama
”Batagor Cipayung” ini sangat maju sampai terpaksa berhenti ketika nilai sewa
tanah untuk usaha itu dinaikkan. Karena Haji Fulan memindahkan usahanya ke
tempat lain, Dullah memutuskan berjualan camilan—sebelum beralih menjual
makanan sarapan pagi.
Berbeda dengan Daud, dua tokoh ekonomi akar rumput terakhir ini
relatif beruntung. Melalui perkawinan dengan perempuan Betawi, Surya tak
perlu menyewa tempat tinggal karena mertuanya, pemilik tiga petak kontrakan,
memberikan salah satu pintu kepadanya untuk dihuni. Dullah, dengan anak
tunggal kelas III SD hasil perkawinan dengan perempuan asal Jawa yang
ditemuinya ketika bekerja di ”Batagor Cipayung”, mampu membayar kontrakan Rp
350.000 per bulan.
Mobilitas vertikal akar
rumput?
Sabtu sore, 30 Januari 2015, saya melihat perempuan setengah
baya duduk termenung di depan Pasar Cibubur. Di depannya tegak sebuah gerobak
es buah. Abun berbisik, ”Itu Bude.” Perempuan ini sudah enam bulan aktif
kembali berjualan. Sebelumnya, di suatu siang, ia pernah digotong orang ke
sebuah kontrakan di depan kios Abun dalam keadaan pingsan. Pasalnya, uang
hasil jualannya dicuri orang ketika ditinggal mengambil air. Sabtu, 24
Januari 2015, Abun bercerita, usaha ”Bude” agak tersendat sebab sesuai Perda
Nomor 8 Tahun 2007, sejak Januari lalu, lurah baru melancarkan pendisiplinan
melarang penggunaan trotoar untuk berdagang. ”Bude”, bersama pedagang kaki
lima lain, sejak saat itu bermain kucing-kucingan dengan petugas penertiban
kelurahan.
Datang ke Jakarta awal 2000-an dari Jawa, ”Bude” berjualan buah
di pinggir jalan, dekat Pasar Cibubur. Untuk itu, ia hanya jadi penghuni
sebuah gubuk supersederhana dengan harga Rp 25.000 per bulan. Kendati dibantu
putranya, usaha ini tak berkembang. Seperti dikisahkan Abun, Kamis, 11
Desember 2014, perubahan bisnis ”Bude” ke penjualan gorengan dan kopi di
dalam pasar juga tak berhasil. Titik terang tampak ketika ”Bude” kedatangan
mantu laki-laki beserta istrinya yang mengkhususkan diri berjualan es buah.
Dengan strategi menekan harga ”belanja barang”, yaitu hanya membeli
buah-buahan ”afkir”, dagangan pasangan suami-istri ini lebih ”kompetitif”.
Ketika menantu laki-lakinya pindah ke usaha lain, bersama anak perempuannya,
”Bude” mengambil alih penjualan es buah itu hingga kini. Belakangan, di
samping es buah, menantunya juga menjajakan rempeyek ke kios-kios di pasar
dan perorangan.
Setelah berjuang 10 tahun, usaha ulet mertua, menantu, dan anak
perempuannya ini membawa hasil. Pada 2012, ”Bude” mampu menanggalkan status
penghuni gubuk Rp 25.000 per bulan yang, menggunakan deskripsi Abun, seperti
”kandang kambing” itu. Sayang, ketika berkunjung ke sana, saya tak lagi
sempat melihat gubuk-gubuk itu karena telah dibongkar Pemda DKI untuk serapan
air. Yang jelas, bersama anak dan menantunya, ”Bude” kini tinggal lebih
”nyaman” di kontrakan Rp 350.000 per bulan.
”Kemajuan” sama dialami Usman (nama samaran), adik Daud, tukang
gorden, yang telah disebut. Sejak 1980-an dan 1990-an Usman aktif sebagai tukang
kredit di sekitar Cibubur. Usaha ini tenggelam akibat krisis finansial
1997-1998. Agar bertahan, ia bekerja di sebuah warung kopi milik Aka (nama
samaran), juga asal Tasikmalaya. Usman, seperti dikisahkan Abun, menyewa
gubuk dekat ”Bude” seharga Rp 35.000 per bulan. Ketika Pasar Cibubur
direnovasi pada 2004, Aka memutuskan pulang kampung. Usman melanjutkan usaha
warung kopi itu dengan membukanya mulai pukul 03.00 hingga pukul 15.00 esok
harinya sepanjang Sabtu hingga Kamis dalam sepekan. Baru pada Jumat pagi ia
menutup warung itu dan pulang ke rumah istrinya di Cibinong.
Usaha Usman ini cukup ”berhasil”. Ini terbukti, seperti halnya
dengan “Bude”, sejak 2010 ia mampu mengontrak rumah petak seharga Rp 150.000
per bulan, meninggalkan masa lalu sebagai penghuni gubuk
supersederhananya.Pada 1990, di depan kios Abun terdapat petak-petak
kontrakan kumuh, setengah tembok setengah bilik. Di salah satu petak itu
tinggal suami-istri Trisno (nama samaran) asal Jawa. Dengan ”gerobak mati”,
istri Trisno berjualan nasi di depan kontrakannya. Sambil menjual soto dengan
gerobak dorong, Trisno jadi kenek bangunan. Akhir 1990-an, jerih payah
suami-istri—yang hanya punya anak tunggal--ini berbuah kemampuan membeli
rumah di seberang jalan arah selatan kios Abun.
Maka, periode warung nasi ”gerobak mati” sang istri berakhir
karena kini dipindahkan ke rumah itu, sementara Trisno sejak 2005-2006,
berbekal pengalaman sebagai kenek bangunan ”nekat” bertindak jadi pemborong
bangunan. Dengan merekrut tenaga dari kampungnya atau sekitar Cibubur, ia
berhasil merenovasi lebih dari 10 rumah. Status pemborong ini krusial baginya
sebab pada 2013 ia dapat kepercayaan bank meminjamkan dana merenovasi rumah
yang dibeli akhir 1990-an berbentuk bangunan bertingkat. Sabtu, 4 April 2015,
Abun berkisah, warung nasi istri Trisno di lantai dasar rumah ”baru” itu
berkembang lebih mapan.
Akhir Maret lalu, seperti saya saksikan, rumah Trisno telah
memperlihatkan dinamika baru. Sekitar 15 orang terlihat sibuk bekerja,
sementara Trisno melayani dan bercakap-cakap dengan beberapa orang di sebuah
kios sebelah kanan depan rumahnya. Ini terjadi karena sejak akhir 2014,
Trisno mengalihkan usahanya kepada pemotongan batu akik. Sebagaimana
dijelaskan Abun, Trisno menginvestasikan Rp 4 juta pada 2014 ke mesin pemotong
batu akik itu. Di tengah-tengah booming bisnis batu akik, menjadi
satu-satunya jasa pemotongan batu akik di daerah itu, membuat usaha Trisno
berkembang pesat dengan penghasilan Rp 600.000 per hari. Tak mengherankan,
sampai Maret lalu, Trisno bukan saja telah menggunakan dua mesin potong untuk
melayani langganannya, melainkan juga telah menjual empat set mesin potong
batu yang dipajangbersama dengan bebatuan hasil pemotongannya.
Dalam keheningan sore, tokoh utama film Forrest Gump (diputar
kembali oleh HBO Signature, 18 Oktober 2014), berpidato seorang diri di depan
makam istrinya: ”Entah ibu atau Komandan Dan yang benar bahwa kita punya
takdir sendiri-sendiri atau bagai daun gugur yang melayang-layang terbawa
angin.” Film itu memang diakhiri jatuhnya sehelai daun yang tertiup angin
melayang ke angkasa.
Daud, tukang gorden, mirip ”daun yang melayang terbawa angin” di
dalam pertarungan ekonomi akar rumput. Surya dan Dullah masih berusaha
bertahan dari embusan angin di atas permukaan ”rumput” tempat mereka
berartikulasi. Berjuang selama lebih dari 10 tahun, ”Bude” dan Usman hanya
secara minimal mampu ”mengangkat diri”: berhasil meninggalkan status sebagai
penghuni gubuk seharga Rp 25.000 dan Rp 35.000 per bulan menjadi penghuni
kontrakan Rp 350.000 dan Rp 150.000 per bulan. Satunya-satunya yang memiliki
prospek cerah keluarga Trisno yang mampu mengangkat diri ke ambang batas
”ekonomi resmi”, ketika eksistensi dirinya diakui sistem perbankan, yang rela
meminjamkan uang renovasi rumahnya.
Di balik kisah ini, puluhan juta aktor ekonomi akar rumput
seperti mereka diam-diam sedang bertarung mempertahankan diri. Sering tanpa
diketahui elite politik, yang sibuk dengan permainan mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar