Jumat, 17 April 2015

Aktor Ekonomi Akar Rumput

Aktor Ekonomi Akar Rumput

Fachry Ali  ;  Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha
KOMPAS, 17 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Abun (Bunyamin), reparator arloji di sebuah sudut Jakarta Timur, pamit—dari jadwal latihan pingpong—pulang ke Tasikmalaya. ”Bolehkah saya titip sesuatu untuk anak-anak Kang Daud?” ujar saya. ”Dengan senang hati,” jawab Abun.

Abun adalah pemain pingpong Pendi- dikan Guru Agama (PGA) di Singaparna, Tasikmalaya, akhir 1980-an. Para guru mengapresiasi kemahirannya ini dengan memberi gratis ijazah PGA. Lulus dari situ, ia mengajar di sebuah ibtidaiyah dengan gaji Rp 200.000. Tak kunjung diangkat pegawai negeri, ia nekat ke Cibubur menekuni profesi reparasi arloji sejak 1996. Pingpong menjadi mediasi pertemuannya dengan saya sejak 2007. Dari November 2014 hingga April tahun ini, selepas latihan pingpong dini hari, saya merekam cerita- nya tentang apa yang saya sebut aktor eko- nomi akar rumput. Melihat dengan mata cacing, meminjam frasa mantan aktivis mahasiswa Bandung akhir 1990-an, Asep Supriyatna,geliat aktor ekonomi ini sedi- kit dapat kita tangkap: bagaimanakah cara aktor-aktor ekonomi akar rumput ini bertahan? Adakah dalam taraf paling mini- mal terjadi semacam gerak mobilitas vertikal di kalangan mereka?

Tertiup angin, sekadar bertahan

Daud (nama samaran), tokoh yang telah disebut, adalah salah satu aktor ekonomi akar rumput ini. Berasal dari Tasikmalaya, ia bertarung hidup di Jakarta sejak 1980- an sebagai kreditor keliling, pencukur rambut, dan akhirnya tukang gorden. Lepas dari tempat penampungan seorang bos kredit, Daud tak bertempat tinggal. Menjajakan jasanya, ia berjalan kaki Cibu- bur-Cibinong. Di tempat terakhir ini, seperti dikisahkan Abun, Sabtu, 1 November 2014, Daud menginap di warung sembako milik adik iparnya. Esoknya dengan cara serupa ia ke Cibubur. Di tempat ini Daud tidur di kios Abun atau warung kopi—seperti akan disinggung—milik adiknya.

Modal Daud hanya tiga: dua kaki yang senantiasa berdebu, peralatan sederhana, dan keterampilan membuat gorden. Untuk keperluan membeli bahan gorden, Daud harus meminjam dana kepada orang lain. Abun tiga kali jadi ”kreditor” Daud: Rp 500.000, Rp 200.000, Rp 700.000—tanpa bunga. Belakangan Daud menolak tawaran tanpa dana tanda jadi sebab pernah tertipu pelanggan yang menolak membayar setelah pekerjaannya selesai.

Daud punya empat anak. Putra tertua bekerja sebagai pencuci piring sebuah restoran di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Adiknya, dalam rush penerbitan kurikulum baru 2013, sementara terekrut jadi buruh sebuah percetakan. Dua anak perempuannya—masih di SMA dan SD— tinggal di Tasikmalaya. Kepada kedua gadis kecil inilah saya menitipkan sesuatu melalui Abun sebab ibu mereka, istri Da- ud, telah meninggal pada 27 Januari 2012. Dan, pada 27 Desember 2013, Daud menyusul sang istri ke alam baka. Sejak ia memulai pertarungan hidup pada 1980-an hingga meninggal, Daud bukan saja homeless, melainkan tak mampu mengontrak bilik termurah sekalipun.

Surya, juga nama samaran, pedagang rokok asongan sekampung dengan Daud, telah bertarung di Jakarta sejak 1990-an. Kamis, 20 November 2014, Abun bercerita bahwa Surya tak berjualan pada Rabu, 19 November 2014.”Pasar” rokok Surya adalah para sopir angkot rute Cililitan-Munjul yang melintasi Jalan Lapangan Tembak, Cibubur, Jakarta Timur. Hari itu bertepatan rencana mogok Organda sebagai protes kenaikan harga BBM diumumkan pemerintah sehari sebelumnya, yang membuat dagangan Surya praktis tanpa ”pasar”. Namun, dia punya kompensasi lain, jadi buruh bangunan pengecoran tiang rumah ketua rukun warga (RW) setempat.

Surya, yang selalu mengucapkan bismillah tiap memulai kerja pukul 06.30, memang cenderung meninggalkan kotak rokok tiap pintu kesempatan kerja bangunan terbuka. Ini strategi sintas. Dibantu ibunya, Nai (nama samaran), istri Surya asal Betawi memang berusaha membuat kue pesanan arisan, pengajian, atau hajatan. Dua atau tiga kali sepekan keduanya menerima pesanan 100 atau 200 kue untuk keperluan itu dengan harga Rp 2.000 atau Rp 3.000 per satuan, kisah Abun, Ahad, 15 Maret 2015. Namun, semua ini tak cukup membiayai pendidikan anak laki-lakinya yang kelas V SD. Sementara anak perempuannya bersiap masuk SD tahun ini. Apalagi, istrinya sedang mengandung lima bulan. Inilah yang mendorong Surya memilih kerja bangunan tiap ada kesempatan untuk mendapat uang tunai lebih besar daripada menjual rokok secara asongan dalam sehari.

Strategi yang sama dikenakan tokoh ekonomi akar rumput lain: Dullah (juga nama samaran), asal Betawi, yang menjajakan sarapan pagi seperti nasi kuning, nasi uduk, dan aneka gorengan dengan harga rata-rata Rp 3.000. Abun langganan potensialnya. Mengapa? Karena tiap belanja sarapan itu, Surya, pedagang asongan di atas, dan Tarli (nama samaran), buruh layanan pompa air dekat kios Abun, turut bergabung. Karena itu, Dullah suatu pagi pernah berteriak kecewa menemukan Abun justru di rumah Hasan (nama samaran), pemilik grosir perlengkapan tamia, sedang bermain pingpong. ”Pantesan! Di sini,” seru Dullah, seperti dikisahkan Abun. Di tempat pingpong itu tuan rumah telah menyediakan goreng-gorengan untuk sarapan. Tentu saja Abun tak perlu membeli makanan dari Dullah pagi itu.

Namun, kisah Abun, Dullah baru berjualan lagi 4 Maret 2015 setelah absen sejak 28 Februari. Ini terjadi berkali-kali sebab beberapa hari sampai dengan 25 Februari itu Dullah ”terekrut” jadi buruh bangunan pemasangan bata dan penyemenan tembok sebuah rumah di daerah itu. Sebelumnya ia juga absen berjualan karena ada pekerjaan membuang puing bangunan dengan gerobak. Tugas ini mengandung untung berganda: mendapat upah membuang, sementara puing bangunan itu dibeli orang.

Abun menjelaskan, Dullah baru memulai menjual makanan sarapan ini pada 2014. Sebelumnya ia berjualan camilan, seperti keripik, kacang, kue kering, kacang ijo, dan sukro, masing-masing Rp 2.000. Untuk ini Dullah harus berkeliling sejak pukul 08.00 hingga pukul 12.00, dan sore hari mulai 16.00 hingga 18.30. Itulah pergeseran pekerjaan Dullah yang kedua sebab pada 2001 Dullah bekerja sebagai buruh usaha bakso dan tahu goreng (batagor) milik Haji Fulan (nama samaran), asal Karawang di Cibubur. Usaha yang diberi nama ”Batagor Cipayung” ini sangat maju sampai terpaksa berhenti ketika nilai sewa tanah untuk usaha itu dinaikkan. Karena Haji Fulan memindahkan usahanya ke tempat lain, Dullah memutuskan berjualan camilan—sebelum beralih menjual makanan sarapan pagi.

Berbeda dengan Daud, dua tokoh ekonomi akar rumput terakhir ini relatif beruntung. Melalui perkawinan dengan perempuan Betawi, Surya tak perlu menyewa tempat tinggal karena mertuanya, pemilik tiga petak kontrakan, memberikan salah satu pintu kepadanya untuk dihuni. Dullah, dengan anak tunggal kelas III SD hasil perkawinan dengan perempuan asal Jawa yang ditemuinya ketika bekerja di ”Batagor Cipayung”, mampu membayar kontrakan Rp 350.000 per bulan.

Mobilitas vertikal akar rumput?

Sabtu sore, 30 Januari 2015, saya melihat perempuan setengah baya duduk termenung di depan Pasar Cibubur. Di depannya tegak sebuah gerobak es buah. Abun berbisik, ”Itu Bude.” Perempuan ini sudah enam bulan aktif kembali berjualan. Sebelumnya, di suatu siang, ia pernah digotong orang ke sebuah kontrakan di depan kios Abun dalam keadaan pingsan. Pasalnya, uang hasil jualannya dicuri orang ketika ditinggal mengambil air. Sabtu, 24 Januari 2015, Abun bercerita, usaha ”Bude” agak tersendat sebab sesuai Perda Nomor 8 Tahun 2007, sejak Januari lalu, lurah baru melancarkan pendisiplinan melarang penggunaan trotoar untuk berdagang. ”Bude”, bersama pedagang kaki lima lain, sejak saat itu bermain kucing-kucingan dengan petugas penertiban kelurahan.

Datang ke Jakarta awal 2000-an dari Jawa, ”Bude” berjualan buah di pinggir jalan, dekat Pasar Cibubur. Untuk itu, ia hanya jadi penghuni sebuah gubuk supersederhana dengan harga Rp 25.000 per bulan. Kendati dibantu putranya, usaha ini tak berkembang. Seperti dikisahkan Abun, Kamis, 11 Desember 2014, perubahan bisnis ”Bude” ke penjualan gorengan dan kopi di dalam pasar juga tak berhasil. Titik terang tampak ketika ”Bude” kedatangan mantu laki-laki beserta istrinya yang mengkhususkan diri berjualan es buah. Dengan strategi menekan harga ”belanja barang”, yaitu hanya membeli buah-buahan ”afkir”, dagangan pasangan suami-istri ini lebih ”kompetitif”. Ketika menantu laki-lakinya pindah ke usaha lain, bersama anak perempuannya, ”Bude” mengambil alih penjualan es buah itu hingga kini. Belakangan, di samping es buah, menantunya juga menjajakan rempeyek ke kios-kios di pasar dan perorangan.

Setelah berjuang 10 tahun, usaha ulet mertua, menantu, dan anak perempuannya ini membawa hasil. Pada 2012, ”Bude” mampu menanggalkan status penghuni gubuk Rp 25.000 per bulan yang, menggunakan deskripsi Abun, seperti ”kandang kambing” itu. Sayang, ketika berkunjung ke sana, saya tak lagi sempat melihat gubuk-gubuk itu karena telah dibongkar Pemda DKI untuk serapan air. Yang jelas, bersama anak dan menantunya, ”Bude” kini tinggal lebih ”nyaman” di kontrakan Rp 350.000 per bulan.

”Kemajuan” sama dialami Usman (nama samaran), adik Daud, tukang gorden, yang telah disebut. Sejak 1980-an dan 1990-an Usman aktif sebagai tukang kredit di sekitar Cibubur. Usaha ini tenggelam akibat krisis finansial 1997-1998. Agar bertahan, ia bekerja di sebuah warung kopi milik Aka (nama samaran), juga asal Tasikmalaya. Usman, seperti dikisahkan Abun, menyewa gubuk dekat ”Bude” seharga Rp 35.000 per bulan. Ketika Pasar Cibubur direnovasi pada 2004, Aka memutuskan pulang kampung. Usman melanjutkan usaha warung kopi itu dengan membukanya mulai pukul 03.00 hingga pukul 15.00 esok harinya sepanjang Sabtu hingga Kamis dalam sepekan. Baru pada Jumat pagi ia menutup warung itu dan pulang ke rumah istrinya di Cibinong.

Usaha Usman ini cukup ”berhasil”. Ini terbukti, seperti halnya dengan “Bude”, sejak 2010 ia mampu mengontrak rumah petak seharga Rp 150.000 per bulan, meninggalkan masa lalu sebagai penghuni gubuk supersederhananya.Pada 1990, di depan kios Abun terdapat petak-petak kontrakan kumuh, setengah tembok setengah bilik. Di salah satu petak itu tinggal suami-istri Trisno (nama samaran) asal Jawa. Dengan ”gerobak mati”, istri Trisno berjualan nasi di depan kontrakannya. Sambil menjual soto dengan gerobak dorong, Trisno jadi kenek bangunan. Akhir 1990-an, jerih payah suami-istri—yang hanya punya anak tunggal--ini berbuah kemampuan membeli rumah di seberang jalan arah selatan kios Abun.

Maka, periode warung nasi ”gerobak mati” sang istri berakhir karena kini dipindahkan ke rumah itu, sementara Trisno sejak 2005-2006, berbekal pengalaman sebagai kenek bangunan ”nekat” bertindak jadi pemborong bangunan. Dengan merekrut tenaga dari kampungnya atau sekitar Cibubur, ia berhasil merenovasi lebih dari 10 rumah. Status pemborong ini krusial baginya sebab pada 2013 ia dapat kepercayaan bank meminjamkan dana merenovasi rumah yang dibeli akhir 1990-an berbentuk bangunan bertingkat. Sabtu, 4 April 2015, Abun berkisah, warung nasi istri Trisno di lantai dasar rumah ”baru” itu berkembang lebih mapan.

Akhir Maret lalu, seperti saya saksikan, rumah Trisno telah memperlihatkan dinamika baru. Sekitar 15 orang terlihat sibuk bekerja, sementara Trisno melayani dan bercakap-cakap dengan beberapa orang di sebuah kios sebelah kanan depan rumahnya. Ini terjadi karena sejak akhir 2014, Trisno mengalihkan usahanya kepada pemotongan batu akik. Sebagaimana dijelaskan Abun, Trisno menginvestasikan Rp 4 juta pada 2014 ke mesin pemotong batu akik itu. Di tengah-tengah booming bisnis batu akik, menjadi satu-satunya jasa pemotongan batu akik di daerah itu, membuat usaha Trisno berkembang pesat dengan penghasilan Rp 600.000 per hari. Tak mengherankan, sampai Maret lalu, Trisno bukan saja telah menggunakan dua mesin potong untuk melayani langganannya, melainkan juga telah menjual empat set mesin potong batu yang dipajangbersama dengan bebatuan hasil pemotongannya.

Dalam keheningan sore, tokoh utama film Forrest Gump (diputar kembali oleh HBO Signature, 18 Oktober 2014), berpidato seorang diri di depan makam istrinya: ”Entah ibu atau Komandan Dan yang benar bahwa kita punya takdir sendiri-sendiri atau bagai daun gugur yang melayang-layang terbawa angin.” Film itu memang diakhiri jatuhnya sehelai daun yang tertiup angin melayang ke angkasa.

Daud, tukang gorden, mirip ”daun yang melayang terbawa angin” di dalam pertarungan ekonomi akar rumput. Surya dan Dullah masih berusaha bertahan dari embusan angin di atas permukaan ”rumput” tempat mereka berartikulasi. Berjuang selama lebih dari 10 tahun, ”Bude” dan Usman hanya secara minimal mampu ”mengangkat diri”: berhasil meninggalkan status sebagai penghuni gubuk seharga Rp 25.000 dan Rp 35.000 per bulan menjadi penghuni kontrakan Rp 350.000 dan Rp 150.000 per bulan. Satunya-satunya yang memiliki prospek cerah keluarga Trisno yang mampu mengangkat diri ke ambang batas ”ekonomi resmi”, ketika eksistensi dirinya diakui sistem perbankan, yang rela meminjamkan uang renovasi rumahnya.

Di balik kisah ini, puluhan juta aktor ekonomi akar rumput seperti mereka diam-diam sedang bertarung mempertahankan diri. Sering tanpa diketahui elite politik, yang sibuk dengan permainan mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar