Tokoh
Halus, Tokoh Urakan
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 27 Oktober
2016
Binar lampu Jakarta tampak sangat benderang.
Silaunya meredupkan lampu-lampu di daerah lain. Pilkada DKI Jakarta saja,
gaungnya mirip-mirip Pilpres tahun 2014. Padahal, pada pilkada serentak tahun
2017, ada 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota yang menggelar pesta demokrasi
itu. Namun, begitulah Jakarta. Selalu menjadi magnet luar biasa. Secara
geopolitik, Jakarta memang inti pusaran: ibu kota negara, pusat pemerintahan,
pusat ekonomi. Pendek kata, Jakarta adalah pusat kekuasaan.
Maka, saat pasangan calon gubernur-wakil
gubernur Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (nomor urut 1), Basuki
Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (2), dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno
(3) berdiri satu panggung, Selasa (25/10) malam, terasa sekali
ingar-bingarnya. Mereka adalah aktor-aktor utama dalam panggung Pilkada DKI
Jakarta 2017.
Semua pasangan, terutama "dalang" di
balik ketiganya, sudah pasti pasang kuda-kuda. Di balik Agus-Sylvi ada Partai
Demokrat, PAN, PKB, PPP (28 kursi di DPRD). Di balik Basuki-Djarot ada PDI-P,
Nasdem, Hanura, Golkar (52 kursi). Di balik Anies-Sandiaga ada Gerindra dan
PKS (26 kursi). Namun, pada era pemilihan langsung, mesin partai tak menjamin
100 persen.
Dan, Jumat (28/10) lusa, kampanye pun dimulai.
Tampaknya kegaduhan politik Jakarta siap-siap semakin mendidih, setidaknya
dalam empat bulan ke depan. Sebab, pada era media sosial sekarang ini,
kebebasan sering kali menafikkan etika, kesantunan, toleransi, kohesi; justru
melumrahkan asal bunyi (asbun) dan caci-maki. Terutama sejak Pilpres 2014,
pesta demok- rasi lokal ini kerap membuat masyarakat terbelah. Kegaduhan
Pilkada DKI tak lepas dari sosok Basuki alias Ahok, yang kini disaingi Anies
dan Agus. Ibarat drama, setiap pemilih bisa melihat tokoh protagonis atau
tokoh antagonis.
Soal tokoh, penyair "Si Burung
Merak" Rendra pernah menulis artikel tentang "gerakan mahasiswa dan
ludruk" di Harian Kompas, 19 Agustus 1970. Mengawali tulisannya, Rendra
mengutip buku antropolog James Peacock (1968) tentang ludruk, seni
tradisional kocak khas Jawa Timur (Surabaya). Menurut Peacock, ludruk adalah
sejenis kekasaran di dalam kesenian Jawa yang memang diberikan tempat di
dalam masyarakat. Kekasaran termasuk cara kebudayaan memperbarui dirinya.
Kekasaran atau kurang ajar disebut sebagai unsur urakan.
Di dalam kebudayaan Jawa yang halus, unsur
urakan juga mendapat tempat penting. Bahkan, pembaru-pembaru yang
mengonsolidasikan tenaga dalam masyarakat di dalam sejarah Indonesia adalah
orang-orang urakan: Ken Arok, Gajah Mada, Joko Tingkir, Soekarno, Ali
Sadikin. Orang-orang urakan itu bersikap kurang ajar pada tradisi. Namun,
bukan asal membangkang melainkan pembangkangan otentik, yaitu untuk
kepentingan kemajuan bagi pribadi-pribadi di masyarakat. Apabila mereka
memiliki kepribadian yang kuat, akan dengan mudah memancarkan karisma.
Jadi, di dalam cerita ataupun sejarah,
ternyata bukan saja tokoh-tokoh halus yang memancarkan karisma, seperti
Yudistira, Rama, Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, Ki Hajar Dewantara, tetapi
juga tokoh-tokoh urakan semisal Semar, Petruk, Bima, Ki Ageng Suryomentaram,
Ali Sadikin.
Jadi, pada Pilkada Jakarta (juga daerah
lainnya), tokoh seperti apa pilihan Anda? Pilkada adalah pesta demokrasi.
Tentu saja hati nurani akan membimbing menuju kemaslahatan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar