Negara Dirgantara
Aprinus Salam ;
Kepala Pusat Studi Kebudayaan
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 18 Oktober
2016
Sistem dan
instrumentasi kelautan (maritim), kenyataannya, hanya cocok untuk mengatasi
persoalan dan hubungan antarpulau (dalam zona regionalnya), tetapi tidak
untuk mengatasi sejumlah masalah nasional.
Kini zaman telah
berubah sehingga sistem dan instrumentasi udara jauh lebih cocok untuk
mengatasi negara yang terdiri atas ribuan pulau dan tersebar sedemikian rupa.
Kita pun harus mengakui bahwa dalam praktiknya, sistem dan instrumentasi
udaralah yang kita pakai, dengan pertimbangan efisiensi, efektivitas, dan
kecepatan.
Dulu, hingga abad
ke-19, teknologi dan sistem laut merupakan andalan utama. Kerajaan-kerajaan
di Nusantara sebagian besar berbasis kelautan (kemaritiman).
Hubungan-hubungan yang jauh diselesaikan lewat laut. Sejumlah ”peperangan”
sebagian besar juga terjadi di laut sebelum akhirnya menguasai daratan.
Sistem dan instrumentasi darat tentu tetap menjadi bagian penting karena
kenyataannya kita hidup di darat.
Historisitas ini
menyebabkan kita menjadi bangsa laut atau bangsa daratan.
Dalamhubungan-hubungan antarpulau, sistem, nilai, dan tradisi laut masih
dipertahankan. Sebagian lain membangun masyarakatnya berbasis daratan, atau
dikenal sebagai bangsa agraris. Dulu, rumah-rumah menghadap laut atau sungai
di satu pihak, dan di dalam hutan di pihak lain.
Negara pinggiran
Ketika Nusantara masih
menguasai laut hingga abad ke-13 (ada yang mengatakan hingga abad ke-9), Nusantara
termasuk salah satu negara pusat. Akan tetapi, ketika di laut anak bangsa
Nusantara mulai kalah, dan terpaksa menjadi bagian dunia kapitalisme,
Nusantara menjadi negara pinggiran. Hingga hari ini, kalau kita berusaha
kembali menjadi negara maritim, dalam persaingan perkembangan teknologi laut,
kita tetap menjadi negara pinggiran.
Kini, penduduk
Nusantara yang terus bertambah itu hidup di daratan sebagai pilihan utama,
bukan laut. Memang sebagian besar hidup di pantai. Sebagian besar kota-kota
penting di Indonesia adalah kota pantai, tetapi tetap saja sebagian besar
hidupnya habis dan berbasis di daratan.
Bahkan, ke mana pun
orang kota pantai itu pergi, pilihan utamanya adalah sistem dan instrumentasi
udara, dan sebagian yang lain sistem dan instrumentasi darat. Sistem dan
instrumentasi laut memang masih dipakai, tetapi itu pilihan ”alternatif”,
atau pilihan bagi mereka yang belum atau tidak mampu mengakses sistem dan
instrumentasi udara atau darat.
Laut memang masih
menjadi sumber ekonomi yang penting, dalam pengertian harfiah. Namun, itu
bukan berarti kita perlu mempertahankan dan membangun ulang negara maritim.
Teknologi dan sistem kemaritiman memang masih perlu terus dikembangkan untuk
mengatasi sejumlah masalah kelautan yang demikian luas, yang di atas kertas
merupakan tiga perempat dari luasNusantara.
Beberapa kelebihan
Hal signifikan yang
mengubah sistem dunia adalah sistem dan instrumentasi udara. Kenyataan pula,
bagian itu negara ini paling lemah. Padahal, begitu banyak solusi dalam
mengatasi masalah, dan beberapa hal yang mempertimbangkan efektivitas,
efisiensi, dan waktu (kecepatan), maka pilihan terhadap sistem dan
instrumentasi udara menjadi pilihan utama.
Kita juga tak bisa
membayangkan banyak pekerjaan nasional yang harus dikerjakan yang berjarak
jauh, antarpulau, dengan mengandalkan sistem dan instrumentasi laut. Untuk
pengamanan laut, dibutuhkan kemampuan untuk menguasai sistem dan
instrumentasi laut. Namun, penguasaan udara tidak kalah efektifnya, baik dari
segi kecepatan maupun jangkauan, dalam mengatasi beberapa masalah keamanan
laut tersebut.
Memang, sistem dan
instrumentasi udara relatif lebih mahal dibandingkan laut dan darat. Akan
tetapi, pengelolaan teknokrasi dan ekonomi yang efektif dan berbagai subsidi
yang dimungkinkan untuk konsentrasi pengembangan negara udara (bisa juga
negara dirgantara) adalah suatu hal yang sangat perlu dipertimbangkan.
Paradigma kemaritiman
Kita pernah bangga
menjadi bangsa pelaut, negara maritim, dan sebagainya. Akan tetapi, terbukti
kita terpinggirkan karena ketidakmampuan dan kekalahan dalam mengembangkan
teknologi laut.
Jika ke depan kita
berhasil (kembali) mengembangkan teknologi maritim, kekuatan, sistem, dan
instrumentasi udara negara luar kembali mengalahkan kita. Juga meminggirkan kita
dari sistem dunia yang secara keseluruhan banyak diatasi sistem dan
instrumentasi udara.
Di samping hidup di
darat, maka di darat jauh lebih mudah mengoordinasi udara yang terhubung
langsung dan terbuka. Kalau kita pergi ke mana pun di Nusantara (Indonesia)
ini, kita memang menyeberangi lautan, tetapi tujuannya adalah darat.
Dalam kaitan ini, laut
tidak lebih sebagai jalan, tetapi udara juga bisa menjadi jalan. Jangkauan
udara, di samping lebih cepat, juga dengan mudah memetakan sumber daya laut.
Dibandingkan dengan darat dan laut, udara tetap yang paling luas.
Tidak ada alasan yang
penting untuk kembali membangun negara—apalagi budaya—kemaritiman. Memang,
sebagian besar masyarakat Indonesia yang tinggal di pantai masih mengandalkan
laut. Akan tetapi, itu relevansinya untuk masyarakat yang bersangkutan.
Sementara bagi sebagian besar yang lain, mereka yang berbasis kota dan
daratan justru selama ini sebenarnya telah mengandalkan udara.
Sayangnya, budaya
keudaraan tenggelam dalam paradigma kemaritiman. Kini sudah waktunya
menguasai sistem dan instrumentasi udara, sekaligus budaya udara
(dirgantara). Kita tahu, salah satu lambang negara kita yang terpenting
adalah Burung Garuda, simbol keudaraan, bukan kelautan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar