Pendidikan
Karakter Bangsa
Mohammad Abduhzen ;
Advisor Institute for Education
Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS, 27 Oktober
2016
Rapat-rapat Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober
1928, lebih banyak membicarakan pendidikan sebagai upaya menanamkan rasa
kebangsaan dan persatuan. Pada rapat pertama (Sabtu, 27 Oktober
1928), Sugondo Djojopuspito-Ketua Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI)-menyampaikan harapan agar kongres dapat (menemukan cara) memperkuat
semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Untuk memperkuat persatuan,
sambut Muhammad Yamin, pembicara berikutnya, pendidikan adalah salah satu
faktor yang sangat penting, selain empat faktor lainnya: sejarah, bahasa,
hukum adat, dan kemauan.
Besoknya, 28 Oktober 1928, rapat kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop (di Jalan
Medan Merdeka Utara, Jakarta), dua pembicara utama, Sarmidi Mangoensarkoro
(dari Perguruan Taman Siswa) dan Poernomowoelan, menekankan keharusan anak
mendapatkan pendidikan kebangsaan dan perlunya keseimbangan antara pendidikan
di sekolah dan pendidikan di rumah. Dalam kedua lingkungan tersebut,
sangatlah penting anak dididik secara demokratis. Selain pentingnya nasionalisme dan jiwa
demokrasi, Sunario Sastrowardoyo
sebagai penasihat kongres, dalam rapat penutup, menekankan perlunya
pendidikan atau gerakan kepanduan sebagai media untuk menumbuhkan
kedisiplinan dan jiwa kemandirian.
Tema-tema pembicaraan dalam Kongres Pemuda II
yang diakhiri dengan pengucapan Sumpah Pemuda itu masih relevan dan jadi agenda pendidikan nasional hingga
hari ini. Bahkan, nasionalisme, rasa kebersamaan dan persatuan, demokrasi dan
sikap demokratis, kedisiplinan, dan kemandirian makin mengkhawatirkan
sehingga Presiden Joko Widodo menekankan perlunya pendidikan kita fokus pada
pembentukan karakter bangsa. Kini,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sedang mematangkan konsep
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai upaya revitalisasi pendidikan karakter yang telah berlangsung
sejak 2010.
Salah kaprah
pendidikan karakter
Ide perlunya pendidikan karakter-dalam UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak disebut "karakter", tapi digunakan kata "watak"
sebagai fungsi pendidikan-sejatinya muncul dari keprihatinan bersama terhadap
berbagai situasi kemanusiaan dan kebangsaan kita yang kian rapuh. Setelah 88
tahun Sumpah Pemuda dan 71 tahun merdeka, bangsa ini-meminjam istilah Rocky
Gerung-bukannya tumbuh jadi kukuh, melainkan membengkak karena
"infeksi" di dalam. Tubuh membesar, tetapi lemah. Merebaknya perilaku korupsi, ketergantungan
ekonomi, beragam laku irasional, penyalahgunaan narkoba/napza, keculasan elite politik dan para pemimpin
merupakan penyakit bangsa yang sehari-hari kita saksikan dan sering kali
dikaitkan dengan pendidikan yang disfungsional.
Dalam Sarasehan Nasional "Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa", 14 Januari 2010, untuk
menghimpun berbagai pendapat tentang pendidikan karakter, berkembang anggapan
bahwa pendidikan kita selama ini hanya
mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan anak. Adapun
pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa dalam diri siswa semakin
terpinggirkan (Kompas, 15/10). Ini suatu non causa pro causa (bukan sebab
dikira sebab) yang merupakan salah kaprah pertama.
Pendidikan kita tidak mengutamakan penguasaan
aspek keilmuan dan juga tidak menekankan pada kecerdasan dalam arti
sesungguhnya. Meskipun ada banyak jenis kecerdasan, basis utama kecerdasan
manusia adalah pada kemampuan atau kecerdasan akal pikiran (intelektual).
Aspek kemampuan berpikir murid-murid kita dalam waktu demikian lama belum
tertangani secara baik. Pendidikan kita lebih menekankan pada
"mengisi" pikiran daripada membangun kemampuan berpikir.
Hasil Programme for International Student
Assessment (PISA) 2012 menunjukkan, murid-murid kita hanya unggul pada
kemampuan berpikir tingkat rendah dan gagal dalam berpikir tingkat tinggi
atau berpikir yang sesungguhnya. Alhasil, pendidikan kita pada akhirnya
menghasilkan orang-orang dewasa (16-65 tahun)
berkemampuan rendah pula, seperti di antaranya ditunjukkan oleh hasil
tes PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies)
2015.
Lemahnya mental dan dekadensi moral yang
berimplikasi pada rendahnya kompetensi
bangsa kiranya berkorelasi dengan rendahnya kemampuan berpikir.
Pendidikan kita sangat kurang membentuk kemampuan scientific reasoning dan
mengembangkan berbagai kecerdasan lainnya. Hal ini karena selain mengejar
muatan kurikulum sebagai bekal ujian, pendidikan kita juga sangat menekankan
ketaatan dan kepatuhan pada berbagai doktrin.
Salah kaprah kedua, mendikotomi antara apa
yang disebut pendidikan "karakter" dan pendidikan "akademis" atau
bersifat keilmuan. Dengan demikian, sejumlah mata pelajaran akademis seperti
sains, matematika, dan bahasa dianggap kurang bermuatan karakter, sementara
di sisi lain pendidikan agama, kewarganegaraan, dan budi pekerti dan
sejenisnya dipandang sarat nilai bagi pembentukan karakter. Dalam Nawacita
bahkan dikotomi itu semakin tampak dengan adanya persentase pembobotan untuk
pendidikan dasar 70 persen substansinya harus berisi tentang budi pekerti dan
pembangunan karakter peserta didik, sedangkan untuk pendidikan menengah dan
tinggi 60 persen.
Kurang apa pendidikan kita selama ini dengan
pengajaran yang disangka menguatkan dan terkait karakter? Sejak kurikulum
pertama (1947) yang masih sederhana hingga Kurikulum 2013 yang dikira
canggih, penekanan pada pendidikan karakter selalu jadi pusat perhatian.
Bahkan pada Kurikulum 1984, muatan pendidikan untuk karakter melimpah dengan
masuknya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan para gurunya disempurnakan
lagi dengan penataran P4. Alhasil, hasil pendidikan kita seperti tergambar
pada situasi kehidupan sosial, kebangsaan, dan kenegaraan yang kita prihatinkan.
Fakta ini menjelaskan bahwa lemahnya karakter
bangsa dewasa ini bukan lantaran ketiadaan ide atau kurangnya penekanan pada
pendidikan karakter di sekolah seperti banyak dipersepsikan, tetapi justru
disebabkan oleh pemahaman dikotomis yang berlanjut pada kekeliruan kebijakan
dan kesalahan didaktik-metodik.
Salah kaprah ketiga merupakan lanjutan dari
sesat-pikir pertama dan kedua. Meskipun tampaknya disadari sebagai sesuatu
yang holistik, tapi dalam kebijakan yang diimplementasikan pemerintah, pembelajaran
dan pendidikan karakter dijadikan "sesuatu" yang dicangkokkan
pada-bukan "seluruh"-program dan proses dalam pendidikan.
Akibatnya, dengan mencangkokkan program pendidikan karakter di
sekolah-sekolah seakan-akan akar permasalahan pendidikan kita yang
disfungsional telah teratasi. Pencangkokan
pendidikan karakter telah menjadikan sekolah-sekolah belakangan ini
makin konservatif dengan menekankan dan perluasan mata pelajaran yang
disangka sarat nilai, selain maraknya berbagai kegiatan artifisial yang tak
menyasar pada pencerdasan, seperti cium tangan, istigasah, berdoa dan
menyanyi sebelum dan sesudah belajar di kelas.
Membangun watak
kebangsaan
Maka, pendidikan karakter jadi semacam
aktivitas ritual yang rutin dan naif. Kenyataan ini kiranya disadari oleh
Mendikbud Muhadjir Effendy, tapi
sayangnya konsep perbaikan yang disusun
sekadar "penguatan". Sebab, untuk redesain menyeluruh agar
pendidikan nasional fungsional yang membentuk watak serta peradaban bangsa,
seperti tuntutan undang-undang, perlu kemauan, kekuatan, dan komitmen yang
melampaui kapasitas departemental.
Bukan bermaksud latah turut berbicara revolusi
mental dan keterhubungannya dengan pendidikan karakter bangsa, tetapi memang
pada mental-khususnya dalam cara berpikir-lah "karakter" atau watak
itu berakar. Peribahasa Melayu sejak lama mengindikasikan hal penting ini:
"Pikir itu pelita hati, sesat pikir binasa diri".
Maka, untuk membangun watak kebangsaan ke
depan sebagai bentuk riil gerakan revolusi mental, pertama-tama pendidikan
perlu dijadikan tempat memberdayakan akal pikiran dan membangun pola pikir
(mindset) sebagai basis perilaku dan budaya. Menurut Mahathir Mohamad (1999),
"modernisasi" pikiran merupakan prasyarat bagi kemajuan bangsa.
Pengutamaan kemampuan berpikir tidaklah
berarti pendidikan nilai diabaikan atau dinomorduakan. Ibarat makanan yang
diolah dalam sistem pencernaan dan jadi energi yang menggerakkan, pengetahuan
dan nilai-nilai akan diolah dalam suatu sistem pemikiran dan diserap oleh
jiwa, yang kemudian melahirkan kesadaran, intensi, dan jadi aksi. Maka,
sistem berpikir yang sehat akan sangat menentukan bagaimana nilai-nilai
itu mewujud.
Sesuai semangat Trisakti dan kondisi masa
kini, nilai-nilai utama yang harus diwujudkan sebagai pilar sikap-dalam
konsep PPK Kemdikbud dirumuskan 18 nilai, di antaranya 5 nilai utama:
religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas-adalah jiwa
mandiri, etos kerja, dan kesalehan.
Seperti tergambar dalam pesan lagu kebangsaan
Indonesia, "Bangunlah jiwanya,... merdeka merdeka..." jiwa mandiri
adalah intisari mentalitas merdeka. Sumpah Pemuda pada dasarnya adalah
pernyataan kemandirian sebagai bangsa yang mengekspresikan rasa kepemilikan,
kebersamaan, dan tanggung jawab. Untuk mewujudkan spirit sumpah pemuda, pendidikan
seyogianya menghapus bilur-bilur keterjajahan, seperti sikap minder, mental
feodal, tidak bertanggung jawab, dan berjiwa korup.
Pendidikan di alam merdeka sekarang ini
hendaknya berorientasi lebih pragmatis dengan membekali murid sikap dan
kecakapan hidup sebagai warga negara yang baik dan produktif. Maka, proses
pembelajaran harus berorientasi pada kerja dan cara pandang terhadap kerja.
Kinerja harus dijadikan sistem nilai yang dianut luas oleh masyarakat.
Selain itu, pendidikan di alam Indonesia merdeka
harus bermuara pada membentuk pribadi yang saleh. "Kesalehan"
merupakan watak kebangsaan yang pas bagi bangsa Indonesia karena
mengekspresikan pandangan dan sikap hidup
duniawi moderat yang rasional, didasarkan keyakinan pada Tuhan sesuai
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang diwahyukan-Nya. Agama harus menjadi
kekuatan dan jalan hidup rasional, obyektif, dan konstruktif, bukan
sebaliknya: menyuburkan praktik-praktik irasional dan destruktif.
Akhirulkalam, watak kebangsaan harus diakarkan
di dalam pikiran. Oleh sebab itu, pembentukan karakter tidak dapat
dilaksanakan dengan sekadar menekankan pada pembiasaan dan doktrin melalui
satu atau sekelompok mata pelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar