Rembuk
Nasional 2016
Budiarto Shambazy ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 29 Oktober
2016
Meskipun persiapan minim, Rembuk Nasional 2016
terbilang sukses sebagai ajang public
hearing untuk menampung berbagai masukan untuk disampaikan kepada
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Semua masukan secara simbolis
diserahkan kepada Menko Polhukam Wiranto. Lebih dari 1.000 peserta menghadiri
Rembuk Nasional 2016. Partisipasi mereka dibagi tujuh ”ruang rembuk” yang
mengategorikan isu/persoalan penting yang dihadapi pemerintahan Jokowi-Kalla
selama dua tahun memerintah dan 2,5 tahun ke depan.
Tujuh ruang rembuk itu berturut-turut ekonomi,
bisnis, dan keuangan; politik, hukum, pertahanan dan keamanan; kemaritiman
dan sumber daya; pembangunan manusia dan pendidikan vokasi; pariwisata dan
pendidikan vokasi; periwisata dan industri kreatif; infrastruktur,
konektivitas dan lingkungan hidup; serta sosial, budaya, kesehatan dan
pencapaian daerah. Lebih dari 1.000 peserta terdiri dari birokrat, aktivis,
akademisi, pengusaha, relawan, bahkan warga biasa. Rata-rata sekitar 200
peserta hadir di tiap ruang rembuk dan mungkin hanya sekitar 50-an yang
kebagian bicara selama 5-15 menit saja berhubung waktu rembuk cuma 3,5 jam.
Tentu saja masih ada kekurangan di sana-sini
dalam eksperimentasi dengan format rembuk yang berskala besar ini. Namun,
ajang ini sudah selayaknya dilanjutkan setiap tahun dengan persiapan yang
lebih matang lagi tanpa politicking yang hanya menghabiskan energi.
Suka atau tidak, ”politik adalah panglima”.
Diskusi di Ruang Rembuk Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan berkisar pada
penilaian prestasi rezim Jokowi-Kalla yang memerintah ”baru” (bisa juga
”sudah”) dua tahun. Nyaris semua panelis, peserta aktif, maupun peserta lain
bersikap optimistis terhadap kinerja pemerintah. Sikap optimistis itu
didasari antara lain oleh keberanian pemerintah mengintrodusir pengampunan
pajak yang terbilang cukup berhasil untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Dalam kalimat pakar politik Mochtar
Pabottingi, ”Pemerintahan Jokowi-Kalla berprestasi karena membangun dari
pinggiran”. Dua peristiwa mutakhir yang memperlihatkan prestasi itu adalah
harga bahan bakar minyak (BBM) di Papua sama dengan di Jawa dan kunjungan
Jokowi ke wilayah perbatasan paling utara kita, Pulau Miangas.
Namun, di lain pihak, muncul pertanyaan,
pemerintah seperti ”penyembah infrastruktur”. Seolah yang penting adalah
jalan tol, bandara, pelabuhan, dan seterusnya? Advokat Todung Mulya Lubis
menyindir, ”Mana pembangunan infrastruktur hukum?” Betul bahwa selama ini
reformasi hukum dianaktirikan. Dari diskusi di Ruang Rembuk Politik, Hukum,
Pertahanan, dan Keamanan ini muncul gugatan terhadap keseriusan pemerintah
menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, terutama korban-korban peristiwa
1965 dan pembunuhan Munir.
Untuk masalah pertahanan terjadi diskusi
menarik mengenai apa yang sudah dan akan kita lakukan terhadap ”poros maritim
dunia”. Sudah tiga orang menduduki posisi Menko Maritim, tetapi sampai saat
ini belum lagi jelas ramifikasi atas ”poros maritim dunia” tersebut.
Pandangan kritis dikemukakan pengamat politik Indria Samego, yang
mempertanyakan kepemimpinan Jokowi-Kalla dalam menghadapi begitu banyak
hadangan. ”Apa mereka bisa, banyak yang skeptis. Sulit menduga apa yang akan
terjadi,” katanya.
Semakin besar optimisme, akan semakin besar
pula ekspektasi publik. Optimisme itu, yang terasa dalam Rembuk Nasional 2016
ini, tecermin dari tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi-Kalla yang
rata-rata berada di atas 60 persen. Jokowi-Kalla tentu saja dapat berpegang
pada tingkat kepuasan publik ini. Banyak pula masukan dari Rembuk Nasional
2016 yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk melangkah sampai masa
pemerintahan berakhir 2019.
Mengumpulkan lebih dari 1.000 orang dalam
Rembuk Nasional bukan pekerjaan seperti membalikkan telapak tangan. Ada
puluhan masukan yang dihasilkan yang setidaknya dapat dijadikan rujukan oleh
semua kementerian serta lembaga. Sekali lagi, Rembuk Nasional layak
dilanjutkan. Sebaiknya dibentuk dulu semacam forum untuk mengelola Rembuk
Nasional tahunan yang bersifat independen, bekerja profesional, dan
menghadirkan seluas-luasnya keterwakilan berbagai kalangan masyarakat yang
sebanyak-banyaknya merepresentasikan kepentingan semua daerah.
Rembuk ajang ngobrol informal oleh, dari, dan
untuk kita semua. Ini bagian dari tradisi lama dan bersejarah, yakni
musyawarah, yang dulu sering dilakukan pendiri bangsa. Musyawarah atau
konsensus berskala nasional selalu menjadi pilihan masuk akal bagi dua
presiden, yakni Soekarno dan Soeharto. Meskipun tak jarang ”konsensus
lonjong” alias tidak bulat, tetapi musyawarah lebih mujarab daripada saling
marah.
Upaya mencapai konsensus atau musyawarah
nasional juga dibutuhkan saat negeri kurang stabil. Itulah yang dilakukan
Soekarno saat ingin merumuskan ”konsepsi” atau ketika Soeharto ingin memilih
berapa jumlah partai yang layak untuk demokrasi ala Orde Baru.
Mungkin karena merasa sudah mencapai
”demokrasi” yang utuh ala Barat, tidak begitu tampak ada upaya untuk kembali
ke asas musyawarah. Kita cukup merasa puas dengan konsolidasi demokrasi
selama sistem politik berjalan sesuai teori dan stabilitas politik terjamin.
Ternyata sistem dan stabilitas politik belum cukup bagi negeri yang kaya dan
bineka ini. Rupanya kita merindukan kembali musyawarah, konsensus, rembuk,
atau apalah namanya.
Kita mau sebanyak-banyaknya kalangan, profesi,
ataupun rakyat berbicara apa adanya dalam rembuk nasional. Mungkin untuk
selanjutnya, rembuk nasional juga menghadirkan lebih banyak menteri atau
pejabat tinggi. Format Rembuk Nasional 2016 layak dipertahankan dengan
perbaikan di sana-sini. Juga tak perlu menunggu stempel persetujuan
pemerintah agar independensinya terjaga. Rembuk nasional semestinya menjadi
obrolan yang memperbaiki nasib bangsa dan negara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar