Mempercepat Agenda Hukum
Saldi Isra ;
Profesor Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS, 21 Oktober
2016
Tanggal 20 Oktober
2016 kemarin, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla genap berusia dua
tahun. Dalam kurun waktu tersebut, banyak kemajuan yang telah diraih khusus
dalam upaya melakukan konsolidasi politik di lembaga perwakilan dan
pembangunan di bidang ekonomi. Tanpa harus dikuantifikasi, capaian kedua
agenda ini paling tidak berada di atas level memuaskan.
Bilamana dilacak
perjalanan dua tahun masa pemerintahan, hampir sepanjang tahun pertama, Joko
Widodo-Jusuf Kalla lebih banyak berkonsentrasi pada relasi dengan
kekuatan-kekuatan politik di DPR. Dalam batas penalaran yang wajar, pilihan
ini menjadi masuk akal karena polarisasi kekuatan politik selama Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2014 mengharuskan Jokowi-Kalla mampu mengelola
dan memperbesar dukungan parpol. Berkaca dari desain konstitusi hubungan
presiden-DPR, kegagalan mengelola kekuatan partai politik di lembaga
perwakilan akan berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan agenda presiden.
Selain soal legislasi, misalnya, presiden tidak mungkin menghasilkan anggaran
yang bisa mendukung realisasi janji dalam Nawacita jika rancangan APBN tidak
dapat dukungan mayoritas kekuatan politik di DPR. Apalagi, semua agenda
strategis presiden hampir selalu bersentuhan dengan DPR.
Dengan segala catatan
dan plus-minus, Jokowi-Kalla berhasil menambah jumlah dukungan partai politik
DPR. Sebagian partai politik yang sebelumnya berada dalam barisan pendukung
Koalisi Merah Putih memindahkan dukungan kepada pemerintah. Artinya,
sekalipun bekas pembelahan polarisasi kekuatan politik belum sepenuhnya
hilang, pemerintah kian bisa bergerak lebih nyaman untuk setiap agenda yang
terkait dengan DPR. Tanpa keberhasilan tersebut, dapat dipastikan relasi
DPR-presiden akan terancam menemui jalan buntu (deadlock).
Berbarengan dengan
kian kuatnya penetrasi Jokowi-Kalla di lembaga perwakilan, pemerintah
bergerak cepat dalam pembangunan bidang ekonomi. Tidak hanya memberikan
perhatian soal infrastruktur, pemerintah telah menerbitkan lebih dari satu
lusin paket bidang ekonomi. Salah satu keberhasilan yang terbilang luar biasa
adalah pencapaian program pengampunan pajak selama periode pertama,
Juli-September 2016. Capaian program pengampunan pajak dapat dinilai salah
satu prestasi terbaik Jokowi-Kalla.
Agenda hukum
Di tengah capaian
konsolidasi politik dan agenda ekonomi ini, agenda di bidang hukum sepertinya
berjalan tertatih-tatih dan tertinggal jauh. Padahal, selama proses menuju
panggung RI-1 dan RI-2, untaian janji bidang hukum dalam Nawacita menjadi
salah satu primadona Jokowi-Kalla. Ihwal agenda hukum dengan tegas dijanjikan
akan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi hukum dan
penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
Melacak untaian dalam
Nawacita, agenda hukum diuraikan menjadi 11 komitmen, di antaranya membangun
politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan
korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi lembaga
penegak hukum. Terkhusus pemberantasan korupsi akan dilaksanakan secara
konsisten dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi. Jokowi-Kalla juga
berjanji memberantas mafia peradilan yang sejak lama menjadi penyakit kronis
penegakan hukum.
Selain soal di atas,
Jokowi-Kalla menegaskan komitmen untuk penegakan hukum lingkungan,
pemberantasan narkoba dan psikotropika; kepastian hukum kepemilikan tanah dan
penyelesaian sengketa tanah; pemberantasan tindak pidana perbankan dan
pencucian uang; serta melindungi anak, perempuan, dan kelompok marjinal. Tak
hanya itu, mereka juga berkomitmen menghormati HAM dan penyelesaian secara
berkeadilan terhadap kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
Membaca secara detail
janji dan komitmen di bidang hukum, Jokowi-Kalla lebih banyak memberikan
fokus pada dua isu mendasar sistem hukum dan penegakan hukum, yaitu soal
substansi hukum dan struktur hukum, terutama aparatur penegak hukum.
Sementara itu, soal budaya hukum masyarakat dan pendidikan hukum tidak
menjadi fokus utama. Fokus terhadap substansi hukum (legal substance)
danstruktur hukum (legal structure) tentunya berdasarkan pertimbangan:
apabila kedua soal ini diperbaiki, sebagian persoalan hukum dan penegakan
hukum bisa diselesaikan.
Selama dua tahun
memerintah, komitmen melakukan reformasi legislasi belum begitu terlihat.
Pembentukan UU masih berjalan lazimnya sebagaimana sebelum Jokowi-Kalla
memerintah. Jikalau sekarang dipertanyakan apakah sudah dapat dibuktikan satu
UU yang dilahirkan dengan politik legislasi yang berbeda dari era sebelumnya,
pasti tak mudah untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Jangankan perubahan
paradigma legislasi, pencapaian UU selalu berada jauh di bawah program
legislasi nasional.
Ihwal politik
legislasi, dalam ”Hukum yang Terabaikan” (Kompas, 22/7) saya kemukakan,
banyak fakta membuktikan bahwa pembentukan UU belum sepenuhnya dalam kendali
presiden. Misalnya, terkait revisi UU KPK, meski presiden berulang kali
menyatakan tak akan melakukan revisi, manuver ke arah ini belum berhenti sama
sekali. Buktinya, sampai sejauh ini belum terlihat langkah nyata mencabut
revisi UU KPK dari daftar program legislasi nasional. Padahal, melihat sentimen
negatif sebagian kekuatan parpol DPR terhadap KPK, melanjutkan revisi sangat
mungkin melemahkan KPK.
Seandainya revisi UU
KPK terjadi, sulit menjaga dan mempertahankan kendali presiden dalam politik
legislasi. Paling tidak, revisi potensial menenggelamkan salah mahkota dalam
Nawacita Jokowi-Kalla: memprioritaskan pemberantasan korupsi secara konsisten
dan tepercaya dengan memperkuat KPK. Mengapa mesti nyinyir menyebut,
mengulang, dan mengingatkan soal ini kepada Jokowi-Kalla? Jawabnya sangat
sederhana: selama 2015, KPK porak poranda, terancam lumpuh total, dan nyaris
jadi barang rongsokan. Artinya, jika revisi diteruskan, sama dengan
menyediakan peti mati bagi masa depan KPK.
Selain kedua politik
legislasi dan KPK, soal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masalah
HAM. Sebagaimana dinukilkan Todung Mulya Lubis ketika diundang Presiden
Jokowi di Istana (22/9), meski indeks negara hukum menaik (tipis) dari 5,18
menjadi 5,32 (skala 1-10),HAM menempati nilai terendah: yaitu 3,82. Parameter
yang digunakan menilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 bidang HAM, yaitu
jaminan hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual, hak
untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan, serta hak atas
kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan.
Begitu pula dengan
pemberantasan narkoba dan psikotropika, sampai sejauh ini, upaya yang
dilakukan masih seperti menghadapi tembok besar. Padahal ancaman bahaya yang
ditimbulkan benar-benar menjadi ancaman nyata masa depan generasi muda dan
sekaligus masa depan negeri ini. Banyak kalangan menilai, selama langkah
penegakan hukum gagal menyentuh pihak-pihak yang mengambil keuntungan, jangan
pernah berpikir penyebaran narkoba dan psikotropika bisa dihentikan. Caranya,
harus dipastikan penegak hukum tidak terperosok dan bersih dari bisnis barang
haram ini.
Percepatan
Merujuk catatan di
atas, tak berarti selama dua tahun pemerintahan Jokowi- Kalla agenda hukum
tak dilakukan sama sekali. Salah satu contohnya, ihwal komitmen penegakan
hukum lingkungan. Banyak kalangan mengakui, pemerintahan Jokowi-Kalla
menunjukkan usaha serius menghentikan pembakaran hutan dan lahan. Rasanya,
belum ada pemerintahan sebelumnya yang melakukan upaya begini serius. Namun,
usaha keras yang dilakukan tak sebanding dengan jumlah pembakar yang
diselesaikan melalui pengadilan. Bahkan, di beberapa daerah, kasus pembakaran
hutan dan lahan ditutup tanpa memilih langkah melimpahkan ke pengadilan.
Akhirnya, penegakan hukum bagi pembakar hutan dan lahan, terutama pemodal
raksasa, mengalami mati suri.
Sementara itu, soal
banyak produk hukum daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, upaya pemerintah membatalkan 3.000-an produk hukum daerah mendapat apresiasi
khusus sebagian kalangan. Namun, langkah tersebut belum dibuat dalam desain
penyelesaian karut-marut produk hukum secara komprehensif, terutama antara
pemerintah pusat dan daerah. Keluhan daerah, tak mungkin produk hukum daerah
sinkron selama produk hukum yang dihasilkan pemerintah pusat tidak sinkron.
Kondisi kian rumit karena UU sektoral juga menambah belenggu bagi daerah.
Perkembangan terbaru,
Presiden Jokowi memberikan perhatian terhadap soal pungutan liar. Sebagai
bagian dari strategi keluar dari jeratan pungutan liar, Presiden membentuk
satuan tugas pemberantasan pungutan liar bernama Sapu Bersih Pungli (Saber
Pungli). Sekalipun mendapat sambutan positif, langkah ini belum bisa menjadi
gambaran lengkap langkah strategis penegakan hukum sebagaimana tertuang dalam
Nawacita. Pengalaman pembentukan satuan tugas sebelumnya, langkah besar hanya
terasa di awal dan perjalanan waktu menenggelamkannya dalam desain penegakan
hukum. Ihwal ini, mari berkaca pada pengalaman satuan tugas pemberantasan
mafia hukum era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Karena itu, gebrakan
Presiden Jokowi dalam agenda Saber Pungli harus dilihat dan dimaknai sebagai
pemanasan menuju pemenuhan janji dan komitmen penegakan hukum dalam Nawacita.
Misalnya, dengan menggunakan janji dalam politik legislasi, Jokowi-Kalla
harus memulai langkah sistematis dan komprehensif untuk memperbaiki substansi
hukum yang memberikan sumbangan penting terhadap karut-marut wajah penegakan
hukum. Caranya, kantor presiden harus memiliki rentang kendali terukur
terhadap materi hukum yang berada di wilayah eksekutif.
Langkah nyata yang
perlu dilakukan, menginventarisasi UU yang masih berlaku untuk ditemukan
substansi yang bertentangan. Kemudian, apabila akan membahas rancangan UU,
dipastikan tidak terjadi tumpang tindih dengan UU yang masih berlaku. Faktor
kunci yang perlu diperhatikan, menghilangkan egosektoral antarinstansi
pemerintah. Tak berhenti sampai UU, upaya yang sama juga dilakukan terhadap
produk hukum yang berada di wilayah eksekutif, seperti peraturan pemerintah,
peraturan presiden, dan peraturan menteri. Kemudian, langkah serupa dilakukan
pula terhadap produk-produk hukum di daerah.
Selain substansi
hukum, Jokowi-Kalla mesti memberikan perhatian lebih terhadap lembaga-lembaga
penegak hukum, terutama yang berada di bawah institusi presiden.
Bagaimanapun, sampai sejauh ini, pergerakan reformasi di kepolisian dan
kejaksaan masih berjalan lamban. Bukti yang sulit dibantah, masih ada di
antara penegak hukum yang memanfaatkan otoritas penegakan hukum guna
mendapatkan keuntungan di luar hukum. Seandainya Presiden akan mengeluarkan
paket kebijakan di bidang hukum, paket bagi kepolisian dan kejaksaan
sebaiknya dibuat lebih detail sehingga bermuara pada reformasi internal yang
mendasar. Apabila penegakan hukum di hulu (kepolisian dan kejaksaan) bisa
diperbaiki, proses berikutnya akan mengikutinya.
Namun yang jauh lebih
penting, setelah nyaris terpinggirkan selama dua tahun, agenda hukum harus
dilakukan dengan langkah percepatan. Tanpa itu, agenda hukum akan tetap
tertinggal dari kebutuhan politik dan agenda di bidang ekonomi. Apabila terus
tertinggal, konsolidasi politik dan agenda ekonomi akan bergerak liar tanpa
fondasi hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar